Palestina: Dari Penindasan Menuju Simbol Perlawanan Global

Oleh: Rian Efirmansyah (Mahasiswa Ilmi Politik Universitas Andalas Padang)

Palestina kini bukan hanya sekedar sebuah tanah yang diperebutkan, melainkan simbol sebuah perlawanan global atas ketidakadilan yang mengakar dalam dunia internasional. Setiap hari, penduduk Palestina terus dihujani ketidakadilan sistemik yang tidak hanya menyasar mereka sebagai individu, tetapi juga identitas kolektif mereka sebagai sebuah bangsa.

Apa yang telah terjadi di Palestina adalah sebuah proses ethnic cleansing yang terus dilakukan di bawah bayang-bayang kolonialisme modern, yang bertujuan mencabut hak-hak asasi yang paling mendasar: hak untuk hidup, hak untuk memiliki tanah, dan hak untuk menentukan nasib sendiri.

Namun, apa yang lebih mencengangkan dari semua itu adalah bagaimana dunia internasional tetap terjebak dalam real politik, dimana kepentingan ekonomi dan geopolitik mengalihkan pandangan mereka terhadap ketidakadilan yang nyata ini. Pemerintah-pemerintah dunia, yang sering kali dengan lantang mempromosikan demokrasi dan HAM, mendadak bungkam saat harus mengambil sebuah tindakan tegas terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Palestina.

Negara-negara adidaya dan superpower, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, terus memberikan dukungan ekonomi dan militer terhadap Israel, sementara suara rakyat Palestina tenggelam dalam diplomasi kosong.

Kendati demikian, kebungkaman institusional tidak sepenuhnya diikuti oleh masyarakat sipil. Di tengah kebisuan beberapa pemerintahan negara, kita semua menyaksikan munculnya gerakan-gerakan akar rumput yang mulai berjuang melalui jalur lebih langsung. Boycott, Divestment, Sanctions (DBS) menjadi salah satu aksi nyata masyarakat internasional untuk melawan penjajahan dan genosida yang dilakukan Israel atas Palestina.

Gerakan ini menunut keadilan rakyat Palestina dengan cara memboikot produk-produk Israel, menuntut perusahaan-perusahaan global untuk menghentikan investasi di Israel, dan mendesak sanksi internasional terhadap negara tersebut hingga Israel menghentikan pendudukan dan mematuhi hukum internasional.

Baca Juga :  Rutan Kelas IIB Batusangkar Dukung Akselerasi Mentri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Benahi Fasilitas

Gerakan ini didukung oleh berbagai lembaga akademik di dunia. Ini adalah bentuk perlawanan intelektual yang sangat kuat, karena menunjukkan bahwa keterlibatan dalam sistem apartheid modern tidak lagi bisa diterima oleh masyarakat yang menjunjung tinggi kebebasan dan keadilan.

Boikot terhadap produk Israel adalah salah satu bentuk perlawanan damai yang paling efektif dalam kasus ini. Banyak perusahaan besar yang memiliki keterlibatan langsung dalam pendudukan Israel telah menjadi sasaran aksi boikot internasional. Misalnya, perusahaan seperti HP, yang berkontribusi pada sistem keamanan Israel di Tepi Barat, menjadi target utama aksi-aksi boikot ini.

Aksi ini bukan hanya soal menghentikan pembelian barang, tetapi juga sebuah strategi untuk menciptakan tekanan ekonomi yang mengingatkan dunia bahwa partisipasi dalam sistem penindasan harus memiliki konsekuensi nyata.

Selain itu, solidaritas internasional juga terlihat dalam aksi-aksi protes yang dilakukan di berbagai penjuru dunia. Di Eropa, Australia, hingga Amerika Latin, ribuan orang turun ke jalan untuk menuntut diakhirinya pendudukan Israel dan mengembalikan hak-hak rakyat oleh narasi media arus utama yang sering kali berusaha menyeimbangkan posisi antara penindas dan yang tertindas. Dalam konflik Palestina, tidak ada keseimbangan. Ini adalah perjuangan antara kekuatan yang menduduki dengan rakyat yang terjajah.

Namun, gerakan boikot bukanlah satu-satunya bentuk perlawanan. Banyak organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia yang berupaya memberikan bantuan langsung kepada rakyat Palestina di tengah krisis yang mereka hadapi. Mulai dari lembaga seperti UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees), hingga organisasi-organisasi lokal yang menawarkan bantuan medis, pangan, dan pendidikan di wilayah-wilayah yang paling terdampak. Meskipun upaya ini penting, kita harus mengakui bahwa bantuan kemanusiaan hanyalah solusi sementara. Yang lebih dibutuhkan adalah penyelesaian struktural terhadap akar masalah: pendudukan dan diskriminasi.

Baca Juga :  Luar Biasa, Jurnal Ilmiah Syariah UIN Batusangkar Raih Q1 Scopus

Sebagai masyarakat global, kita harus menyadari bahwa perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan kita juga. Saat dunia diam, kita menyaksikan genosida modern terselubung dalam retorika keamanan nasional. Netralitas bukanlah sebuah pilihan. Seperti kata Desmod Tutu, “Jika anda netral dalam situasi ketidakadilan, Anda berpihak pada penindas.” Palestina butuh solidaritas aktif, bukan sekedar simpati, setiap aksi kecil membentuk perlawanan global yang suatu hari akan mengakhiri apartheid modern ini kita harus bersuara, karena diam adalah kejahatan. (*)

Sumber gambar: diambil dari google free access