Angku Baanjuang dan Puluhan Naskah yang Tersisa

Oleh: Pramono
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
dan Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA)
Komisariat Sumatera Barat)

Lebih sebulan, pada empat tahun yang lalu, tim yang terdiri dari tujuh orang yang berasal dari tiga perguruan tinggi di Sumatera Barat yang terdiri dari Pramono, M. Yusuf, Surya Selfika, dan Adit Dermawan (Universitas Andalas); Ahmad Taufik Hidayat dan Chairullah (UIN Imam Bonjol). berhasil mendeskripsikan dan mendigitalkan khazanah naskah koleksi tiga surau di Kabupaten Solok dan Kota Solok.

Tiga surau tersebut di antaranya dua surau di Kabupaten Solok (Surau Parang Pisang dan Surau Cupak) dan satu surau di Kota Solok (Surau Latiah). Dari tiga surau ini ditemukan 106 manuskrip (naskah) keislaman dengan total halaman berjumlah 26.414 halaman dan lebih dari 200 teks (kandungan isi naskah); meliputi sejarah, sastra, fikih, tasawuf, nahu saraf, pengobatan tradisional, dan lain-lain. Sayangnya, sebagian manuskrip tidak dapat didigitalkan karena kondisi fisiknya yang sudah rusak.

Kegiatan ini merupakan kegiatan kali kedua di Sumatera Barat dari program Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA). DREAMSEA merupakan program yang dilaksanakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah, Indonesia bekerja sama dengan Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC), Universitas Hamburg, Jerman.

Program ini didukung oleh Arcadia Fund, lembaga filantropi asal London, Inggris, yang diinisiasi oleh Lisbet Rausing dan Peter Baldwin untuk mendukung pelestarian warisan budaya, lingkungan, dan peradaban dunia.

Salah satu surau yang penting untuk dikemukakan di sini adalah Surau Cupak. Surau terletak di Jorong Lemang Jao, Jorong Panyalaian Cupak, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok. Di surau ini ditemukan lebih dari 40 naskah, namun hanya 27 naskah (8.756 halaman) yang bisa didigitalkan karena beberapa naskah kondisinya rusak parah.

Baca Juga :  Pemahaman Bahasa Minang "Cadiak Buruak"
Manuskrip kuno

Cupak merupakan sebuah daerah di Kabupaten Solok yang dahulunya sangat terkenal akan sejarah intelektual Islam. Hal ini juga dapat ditemui dalam beberapa kolofon naskah di Surau Simaung Sijunjung yang juga memiliki genealogi intelektual dengan daerah Cupak, seperti:
“Telah disalin sebuah kitab pada hari Jumat bulan Muharam fî baladi (di negeri) Cupak pada masa terbakar negeri Batu Banyak dan Limau Lunggo setengah daripada kota itu.”
Kemudian:
“Tamatlah kitab ini pada waktu duha pada hari isnain pada pertama hari bulan haji pada masa diam dalam negeri Cupak pada masa hiru hara negeri Kubung nan Tiga Belas oleh karena orang Kompeni masuk luak itu serta Tuanku Rikin nan di Batipuh pada masa turun raja di Padang ke dalam negeri Kubung itu jua adanya.”

Titik kesejarahan intelektual Islam di Kabupatan Solok mungkin dimulai sejak berangkatnya Syekh Kubuang Tigo Baleh ke Aceh bersama Syekh Burhanuddin, namun genealogi intelektual Syekh Kubuang Tigo Baleh terselubung dalam kabut sejarah hingga saat sekarang ini.

Iluminasi manuskrip

Sejauh ini silsilah Tarekat Syattariyah yang menyebut nama Syekh Cupak baru ditemukan dalam dua buah manuskrip dan silsilah tarekat Syattariyah di Surau Simaung. Namun posisi genealogi Syekh Cupak antara yang diinformasikan dalam manuskrip dengan yang terdapat di Surau Simaung berbeda, pada manuskrip silsilah nama Syekh Cupak berada pada no 3 (tiga) setelah Syekh Qadi Padang Ganting, hal ini seperti:
“………….Syekh Cupak (3), dan mengambil daripada (2) Syekh Qadi Padang Gantiang, dan ia mengambil daripada (i) Burhanuddin Pariaman Ulakan……………”

“Syekh Cupak (3) dan ia mengambil daripada (2) Syekh Qadi Padang Ganting, dan ia mengambil daripada (1) Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman……”

Baca Juga :  Wabup Richi Aprian Tutup Secara Resmi Even Limo Kaum Malomang

Akan tetapi, pada silsilah di Surau Simaung sebelum nama Syekh Cupak bukanlah Qadi Padang Ganting, akan tetapi ada beberapa ulama lagi sebelumnya, sehingga posisi Syekh Cupak dalam silsilah di Surau Simaung tidak berada pada nomor tiga. Perbedaan posisi pada manuskrip dan silsilah tarekat di Surau Simaung agaknya merujuk kepada dua orang yang berbeda. Setelah ditelusuri ternyata ada dua ulama yang dikenal sebagai Syekh Cupak.

Ulama pertama bermakam di dekat pohon beringin daerah Cupak, jejak intelektualnya hanya ditemukan berupa makam saat ini, bangunan suraunya sudah tidak ditemukan lagi.
Masyarakat Cupak menyebutnya dengan Syekh Cupak nan Tuo. Satu lagi ulama yang dikenal dengan Syekh Cupak tepatnya di Dusun Lemang Jao Jorong Panyalaian Cupak. Selain dikenal dengan Syekh Cupak ia juga dikenal dengan Anku Baanjuang karena bentuk suraunya yang memiliki anjung yang tinggi.

Bisa jadi Syekh Cupak yang terdapat dalam silsilah yang pada manuskrip adalah Syekh Cupak Nan Tuo dan Syekh Cupak dalam silsilah tarekat Syattariyah di Surau Simaunag adalah Syekh Cupak yang dikenal juga dengan Angku Baanjuang.

Selain surau yang telah direnovasi dan makam, Angku Baanjuang juga meninggalkan puluhan manuskrip yang terletak dalam peti besi di atas makamnya. Makan Anku Baanjuang memiliki rongga ruangan yang ditutup dengan papan, dimana rongga itu menuju langsung kepada jenazah Anku Baanjuang. Tidak diketahui kapan Anku Baanjuang meninggal, namun hingga tahun 1950-an tulang benulang Anku Baanjuang masih dicuci dan dibersihkan oleh penziarah dan warga setempat. Akan tetapi, kini tidak banyak lagi yang datang untuk menziarahinya, bahkan beberpa masyarakat Cupak tidak mengetahui bahwa ada ulama di daerah Cupak tersebut.

Baca Juga :  Menghitung Partisipasi Lansia dalam Pemilu Indonesia: Sebuah Kekuatan yang Terlupakan?

Melihat koleksi dari manuskrip yang ditinggalkan oleh Anku Baanjuang yang secara umum adalah fikih dan tafsir, dapat diasumsikan bahwa Anku Baanjuang adalah ulama ahli fikih dan tafsir, selain itu ia juga pernah membagi-bagikan manuskrip fikih kepada murid-murid yang belajar di surau tersebut, informasi ini terdapat dalam manuskrip koleksi Surau Cupak. (*)