Wajah DPRD Tak Seburam Kata Pengamat

Oleh: Novi Budiman, M.Si. Dosen Ilmu Politik IAIN Batusangkar

Tulisan ini bukanlah sebuah kounter opini semata terhadap tulisan tulisan yang pernah terbit di berbagai media online dan cetak tentang kondisi DPRD di Tanah Datar. Namun tujuan saya membuat tulisan ini adalah untuk sedikit meluruskan pola pikir pengamat dan pemerhati DPRD yang mungkin kurang berimbang sehingga lebih dominan subjektivitas dan ketidakpuasan terhadap DPRD baik secara lembaga maupun terhadap anggota DPRD secara individu maupun kelompok.

Yang perlu kita pahami bahwa lembaga DPRD adalah kumpulan para politisi yang memiliki berbagai kepentingan kelompok. Sulit rasanya mengatakan kalau Anggota DPRD memiliki kepentingan pribadi saja. Sebab, pengertian politik itu adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non-konstitusional. Politik tidak bisa secara pribadi pribadi. Politik itu penyelesaian akhirnya adalah kompromi dan kesepakatan.

Kalau mau jujur, anggota DPRD Tanah Datar tentu pernah berbuat, misalnya, membagikan dana pokir (pokok pikiran) mereka sesuai dengan masukan dari masyarakat di daerah pemilihannya. Ada juga produk hukum berupa Perda yang sudah mereka sahkan. Ada juga usulan anggaran yang sudah mereka sepakati sehingga anggaran kab. Tanah Datar bisa terealisasi dan pemerintahan daerah bisa berjalan.

Bisa kita bayangkan jika DPRD menolak APBD, tidak membuat Perda, menolak LKPJ Bupati, dll. Apa yang akan terjadi? Tentu situasi pemerintah daerah tidak berjalan dengan semestinya. Masyarakat pasti dirugikan.

Menurut pengamatan saya, beberapa pemerhati kebijakan DPRD di Tanah Datar baik pribadi maupun berupa ormas seolah olah hanya melihat kekurangan Anggota DPRD saja. Mungkin mereka tidak memahami filosofisnya sebuah lembaga DPRD tersebut. Banyak pemerhati yang mempermasalahkan ketidakhadiran anggota DPRD tepat waktu. Ada juga yang mempermasalahkan ketidakadilan alokasi dana pokir, masalah baju anggota DPRD, masalah mobil dinasnya, dll.

Baca Juga :  Nilai Religius pada Teks Naskah Cerita Nabi Nuh AS

Harus diketahui bahwa anggota DPRD tidak memiliki jam masuk kerja layaknya seperti ASN maupun karyawan kantor swasta. Pembagian dana pokir adalah hak mereka untuk mengalokasikan nya. Harus jujur kita akui, tentu pembagian pokir diutamakan ke daerah basis pemilihnya. Meskipun ada satu dua pokir “basa basi” untuk daerah yang bukan basis namun porsinya jelas berbeda.

Untuk meluruskan pola pikir dan pemahaman pengamat yang tidak fair tersebut tidak perlu pula kita berteori sebanyak mungkin. Cukuplah dengan akal sehat, didukung dengan ‘raso dan pareso’ sebagai orang Minang.

Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan anggota DPRD tersebut, yakinlah bahwa mereka yang duduk di DPRD sekarang merupakan pilihan dominan masyarakat Tanah Datar pada pileg th 2019 yang lalu meskipun Anda sendiri tidak ikut memilih salah satu diantara mereka. Itulah konsekuensi dari sebuah perwakilan yang tidak akan pernah mewakili semua pihak.

Kontrol sosial perlu, tapi harus berimbang. Setidaknya kontrol sosial itu menjadi rambu rambu bagi anggota DPRD untuk tidak berbuat sesuka hati. Ketika mereka berbuat sesuai dengan undang-undang, harus dihormati. Ketika mereka keluar jalur, saatnya kita kritisi.

Politisi pun tidak perlu merasa resah ketika dikritik maupun dicaci. Sebab, hal ini sudah diramalkan oleh seorang filosof hebat di zaman Ibnu Batuta; jadilah artis niscaya kamu akan terkenal, jadilah guru niscaya kamu akan dihormati, jadilah politisi niscaya kamu akan dicaci maki meskipun berkuasa.

Kalau kita mau jujur mengakui, melihat apa yang pernah mereka perbuat, tentu wajah DPRD tidak seburam kata pengamat. Untuk sampai pada sebuah kesimpulan maka harus “mangaruak sahabih gauang, maawai sahabih raso. (*)