Uni Puan Tak Perlu Pulang Kampung

Oleh: Dian Ihkwan (Anak Kemenakan orang Minangkabau)

Uni tak perlu pulang ke kampung, untuk apa…? Himbauan dan harapan uni agar orang di kampung halaman tetap konsisten merawat nilai-nilai Pancasila sudah benar, dan sudah pada tempatnya. Sehingga tidak ada yang perlu dipertentangkan, diperdebatkan atau yang perlu disalah-benarkan terkait persoalan itu. Uni pun tak perlu cemas, kami sudah paham niat baik uni tersebut.

Uni Puan pun tidak perlu pulang ke kampung, untuk apa..? Pulang ke kampung hanya untuk menemui orang-orang yang bermuka sinis nan masam, atau untuk menemui orang-orang yang hanya mengambil manfaat sementara dari status uni di rantau, apa gunanya…? Uni toh belum tentu akan menemukan sesuatu hal yang menarik di kampung saat ini. Dan memang sudah sejak lama tidak lagi ada hal yang menarik di kampung. Bukankah itu yang menjadi alasan orang Minang selalu meninggalkan kampung halaman untuk pergi merantau sejak dahulu kala, dan barangkali itu pula yang menjadi alasan nenek moyang uni dulu merantau ke Bengkulu, karena memang tak ada yang bisa diharapkan lagi di kampung.

Uni tidak akan menemukan lagi diskusi-diskusi brilian dan canda tawa renyah penuh suka di lapau yang dahulu kala menjadi tempat berkumpul anak kemenakan sepulang dari aktifitas mereka. Lapau jaman sekarang ini hanya diisi wacana-wacana yang tidak produktif, penuh narasi-narasi yang bikin gerah, sentra pergunjingan yang bikin panas telinga, dan menjadi “muara” segala letupan-letupan kemarahan atas ketidakpuasan pengunjung lapau atas keadaan yang sedang menimpa mereka.

Uni pun tidak akan menemukan aktifitas-aktifitas produktif anak kemenakan di surau saat ini. Tak ada lagi sasaran silat yang ramai dan bersemangat, tak ada lagi pemandangan anak murid yang belajar adab, adat dan kesenian Minangkabau di dalam surau, karena memang surau kaum sudah sangat sulit ditemui saat ini. Kalaupun ada sudah ditinggalkan oleh penghuninya, atau hanya semata-mata menjadi tempat belajar ngaji tanpa ada benefit-benefit lainnya seperti surau jaman dahulu kala. Uni takkan menemukan lagi anak kemenakan “jolong gadang” di surau-surau tua yang tersisa di Minangkabau. Uni justru akan menemui mereka di jalanan. Uni akan menemukan mereka sedang tawuran, kebut-kebutan menggunakan motor yang knalpotnya memekakkan telinga, atau barangkali uni akan menemukan nereka sedang tersandar dalam keadaan mabuk paska mengkonsumsi Narkoba, atau pulang ke rumah saat pagi dalam keadaan yang sudah berbadan dua akibat pergaulan yang salah, semua akan uni temukan di jalanan di kampung halaman uni saat ini.

Baca Juga :  Bupati Tanah Datar Dukung Program Literasi Ekonomi Syariah

Uni juga akan menemukan rumah gadang yang mulai ringkih, kosong ditinggal penghuni yang tak lagi peduli dengan pusaka, dan rapuh dimakan rayap. Tak ada lagi kemesraan dan keramah-tamahan penghuni di dalamnya, yang ada hanya keributan-keributan persoalan perebutan hak atas tanah ulayat yang luasnya tak lagi seberapa. Rumah gadang saat ini tak lagi dihuni oleh Limpapeh-Limpapeh yang menatap dengan senyuman bangga kepada anak kemenakan yang pulang dari rantau, melainkan tatapan penuh selidik dan curiga karena takut dan khawatir anak kemenakan di rantau akan menuntut “Hak Ulayat” nya.

Dangau saat ini pun sudah lengang, uni. Tidak seperti dulu ketika gubuk di tengah hamparan sawah tersebut masih menjadi tempat anak kemenakan menjemput Tuah dari mamaknya soal bagaimana hidup penuh berkah di atas dunia di sela aktifitas membajak sawah milik kaum mereka. Di dangau saat ini uni hanya akan menemukan mamak yang bertengkar dengan kemenakannya soal hak pusaka, terkadang mereka berkelahi hebat dikarenakannya. Tak ada lagi padi yang menguning karena kerja keras kaum menanamnya. Kuningnya padi saat ini selalu diiringi oleh bibit-bibit permusuhan di dalam kaum-kaum resah yang sedang menunggu jadwal memanennya.

Mungkin uni bertanya, kenapa kampung halaman uni menjadi sedemikian lupa. Jujur, saya sendiri tidak pula mengerti, barangkali orang di kampung halaman uni saat ini sudah terjebak dengan kejayaan masa lalunya, ketika nenek moyang orang Minangkabau menjadi peletak dasar-dasar negara Indonesia sehingga lupa bercermin dan melihat keadaan mereka saat ini, detik ini. Dan mereka tetap saja merasa tidak ada masalah apapun dengan pemandangan mereka saat ini, padahal segala hal tragis yang terhampar di atas terjadi di depan halaman rumah gadang mereka sendiri, saat ini. Daripada uni pulang dan menghadap mereka, saya rasa akan lebih baik uni mengirim cermin-cermin berukuran besar ke kampung, agar orang-orang di kampung halaman uni bisa berkaca, dan melihat keadaan mereka lebih sering dan lebih dalam lagi sebelum mereka menghina dan mencaci maki anak kemenakan mereka yang sedang berjuang di Rantau.

Baca Juga :  Noviandri, ST, Caleg Partai Nasdem Tanah Datar Dapil I Kampanye Kepada Pemilih Pemula di Padang Ganting, Masyarakat Antusias

Jadi…,
Tetaplah uni di rantau. Rumah gadang uni sudah sangat megah disana saat ini. Ujung gonjong yang satu menukik di Sabang sedangkan ujung yang satunya lagi menukik di Merauke. Uni adalah Limpapeh Rumah Gadang Republik, dan uni sudah membuat kami bangga sebagai orang Minangkabau dengan kepiawaian uni memimpin dari Rumah Gadang beratap hijau di Senayan tersebut.

Tetaplah berkarya di rantau, tetaplah menjaga kesatuan dan persatuan dari Rantau. Kami seluruh anak kemenakan di Ranah sudah memaklumi uni dan akan tetap mendukung apapun derap langkah yang uni lakukan selama itu demi menjaga keutuhan dan kemakmuran negara dan rakyatnya. Uni tak perlu pulang kampung hanya untuk menemui himbauan segelintir orang yang nyatanya gagal menjaga dan memakmurkan rumah gadang mereka sendiri. Takdir uni di rantau, maka tetaplah uni di rantau.

Tak lupa, kirimkan salam kami kepada Mandeh Megawati Puti Reno Nilam, semoga beliau dilimpahkan berkah kesehatan dari Tuhan Allah. Semoga suatu saat kami bisa bertandang dan makan bajamba di rumah beliau, di rantau.