Purifikasi Teologi Islam di Minangkabau Menggunakan Pemahaman Wahabi Salafiyah

Opini Oleh : Hendri Pratama
(Mahasiswa jurusan sastra Minangkabau
Fakultas ilmu budaya
Universitas Andalas Padang (Unand)

Pembaharuan atau purifikasi Islam di Indonesia bahkan sampai di Asia Tenggara pertama kali dilakukan di Indonesia tepatnya di daerah Minangkabau provinsi sumatera Barat, yang mana di dalam rangka membangkitkan dunia Islam. Minangkabau merupakan salah Satu daerah yang melakukan gerakan purifikasi Islam. Gerakan purifikasi teologi dalam Islam atau disebut dengan teologi pemurnian di daerah Minangkabau.

Hal itu Dimulai pada saat kembalinya tiga tokoh haji yang terkenal di Minangkabau yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada tahun 1803 M. Gerakan tiga tokoh haji ini dipengaruhi Oleh gerakan Wahabi selama melaksanakan ibadah haji di Mekah. Berawal Dari gerakan purifikasi yang dibawa oleh tiga tokoh haji awal mula terbentuknya gerakan Padri di Minangkabau.

Gerakan Padri yang terjadi pada tahun 1821-1838 atau bisa disebut dengan istilah “kaum putih” yang diambil melalui gerakan Islam mazhab Hambali atau dikenal dengan gerakan Wahhabi. Di Minangkabau gerakan Wahabi berkembang pada tahun sebelum 1803-1807 di bawah kepemimpinan Tuantu Nan Rentjeh, kemudian disusul dengan tokoh tokoh lainnya seperti haji Miskin, haji Piobang, haji Sumanik, Tuanku Imam Bonjol dan Tuantu Rao.

Tokoh tokoh inilah yang menggerakkan keagamaan maupun gerakan rakyat yang memiliki watak yang puritan. Puritanisme dalam Islam dalam hal umumnya selalu saja berkaitan dengan paham praktik keagamaan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah nabi tanpa mencampur baurkan dengan hal apapun seperti contohnya syirik, bid'ah dan khurafat. Kelompok purifikasi seringkali mendeskripsikan atau mengkaitkan dengan istilah istilah seperti fundamentalis, militan, ekstrimis, radikal fanatik bahkan islamis.

Purifikasi teologi agama Islam yang berada di Minangkabau maupun di luar Minangkabau pada umumnya pasti berhadapan dengan tradisi -tradisi serta adat istiadat yang dilakukan oleh kalangan tradisional yang bermuatan lokal dengan ajaran Islam di daerah mereka tersebut. Gerakan purifikasi yang melekat dengan gerakan perjuangan Padri di Minangkabau memiliki keterkaitan dengan pemahaman Wahabi yang cukup kuat di wilayah Minangkabau. Sebagaimana yang telah dicatat oleh Hamka bahwa haji Miskin, haji Piobang dan haji Sumanik merupakan pelopor paham Wahabi menjadi gerakan Padri di Minangkabau. Gerakan Wahabi di Minangkabau dikaitkan dengan pemahaman Salafiyah.

Pemahaman Salafiyah ini meyakini pemahaman orang- orang yang mengindentifikasikan pemikiran mereka dengan pemikiran para salaf. Gerakan ini juga ingin mengembalikan agama Islam kepada sumbernya yang murni yaitu yang bersumber pada kitab suci Alquran dan sunah nabi dengan meninggalkan pertengkaran mazhab dan segala bid'ah yang disisipkan orang kedalamnya. Dengan demikian gerakan Wahabi ini cenderung memiliki karakter purifikasi yang keras. Munculnya pemahaman Wahabi, hal tersebut telah mempengaruhi gerakan Islam Padri di Minangkabau.

Tentunya itu akan menjadi tantangan juga bagi masyarakat Minangkabau. Mengapa demikian menjadi suatu Tantangan, dikarena gerakan pemahaman Wahabi ini merupakan suatu gerakan yang dikatakan keras sehingga di dalam pelaksanaanya tersebut menimbulkan pertentangan yang amat hebat, bahkan pertumpahan darah pun bisa terjadi. Maka dari hal ini tentu sudah dapat jelas yang menjadi suatu tantangan, bagaimanapun gerakan yang dilakukan dengan keras tidak dibenarkan dalam Islam dan hal itu juga tidak diinginkan terjadi. Gerakan ini ditujukan bagi masyarakat adat Minangkabau. Padahal misi gerakan yang dibawa adalah memurnikan ajaran Islam sesuai Al-Qur’an dan Sunnah ini tidak sesuai dengan misi gerakan Islam yang dijalankan Nabi Muhammad yaitu dengan jalan yang damai.

Di daerah Minang gerakan Padri yang memiliki orientasi pemahaman tentang Wahabi, boleh memiliki akar kesejarahan dengan menggerakkan kembali pada syariat Islam pada tahun 1784-1790, yang sebagaimana dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo dari Ampek Angkek dengan menggunakan orientasi pada ortodoksi fikih dalam rangkaian corak islami pada abad ke 18. Watak keras dalam keagamaan dalam purifikasi Islam dalam perang Padri yang sudah dikaitkan dengan purifikasi ala Wahabi, tentu saja hal tersebut merupakan sebuah faktor tunggal. Dalam konteks gerakan Wahabiyah dalam gerakan Padri yang terjadi di Minangkabau selalu berkaitan dengan relasi sosial politik keagamaan yang tumbuh dan berkembang ketika gerakan tersebut lahir. Maka hal tersebut termasuk kedalam konflik paham oleh kalangan adat yang menunjukkan orientasi baru dalam tatanan kemasyarakatan setempat yang mana ke islaman jauh melampaui keminangkabauan.

Selain membahas tentang purifikasi teologi Islam dalam perang Padri di Minangkabau menggunakan pemahaman Wahabi Salafiyah, ada juga terdapat oleh penulis topik yang sama yang mana terdapat di daerah Buton yang ditulis oleh Sultan Muhammad Aydrus. Yang mana di artikel yang terdapat di jurnal Manasa Manuskripta, yang membahas salah seorang di kerajaan Buton yang bernama Muhammad Sydrus di artikel ini ia menjelaskan tentang peran – peran dalam warisan’ mengenai reinkarnasi roh orang mati di Buton. Tetapi hal tersebut terdapat perbedaannya dimana perbedaan purifikasi yang dilakukan oleh Muhammad Aydrus sangat berbeda dengan gerakan Paderi di Minangkabau yang terkesan sangat prufitan.

Purifikasi yang diajarkan serta di bawakan oleh Muhammad ‘Aydrus lebih ke arah bersifat santun, di karenakan Muhammad aydrus menjadikan proses edukasi tersebut terbilang elegan sebagai saran. Namun, purifikasi yang dilakukan Muhammad aydrus sangat berbeda dengan gerakan Paderi di Minangkabau yang terkesan purifitan Dan Teks Hadiyat al-Baṣīr merupakan salah satu teks yang digunakan sebagai bahan ajar dalam proses permasalahan mengenai purifikasi teologi Islam mengenai reinkarnasi roh orang mati di daerah Buton.

Berdasarkan pemaparan dari tulisan opini yang penulis buat dapat penulis ambil kesimpulan yang mana bahwa didalam purifikasi teologi Islam di Minangkabau dengan purifikasi teologi Islam di Buton hampir mendekati, yang mana sama sama membahas tentang purifikasi. Namun terdapat juga perbedaan, kalau di Buton mempurifikasi teologi Islam di kerajaan buton mengunakan naskah hadiyat Al Basir yang membahas tentang reinkarnasi roh orang mati di daerah Buton yang dibawakan oleh Muhammad aydrus, sedangkan di Minangkabau membahas purifikasi melalui gerakan padri yang mana menggunakan pemahaman Wahabi salafiyah yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan sumber hadis. Dan dibawakan oleh tokoh tokoh Minang seperti haji Miskin, haji Piobang , haji Sumanik, Tuanku Imam Bonjol dan Tuantu Rao .

Baca Juga :  Membangun Sinergi antara Pemerintah dan Masyarakat dalam Pengelolaan Birokrasi di Sumatera Barat