Pengaruh Gerakan #MeToo Terhadap Kesadaran Publik Mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan

Oleh: Hasrat Setianingsih Gulo (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas Padang)

Penggunaan media sosial pada masyarakat global saat ini mencapai angka yang sangat besar. Per April 2024 jumlah pengguna media sosial di seluruh dunia mencapai 5,07 miliar atau 62,6% dari total populasi global. Masifnya penggunaan media sosial saat ini memberi pengaruh pada bagaimana seseorang atau individu mengambil perspektif atau tindakan terhadap informasi apa yang beredar di media sosial.

Beragamnya informasi yang terdapat di media sosial memberi banyak pengetahuan bagi penggunanya terhadap apa yang sedang terjadi tanpa harus menyaksikan langsung. Ini membuktikan bahwa kehadiran media sosial mampu memberikan dampak yang positif bagi penggunanya untuk mendapatkan informasi dengan mudah dan cepat Kembali pada fenomena yang pernah terjadi di media sosial, khususnya di Twitter pada tahun 2017 lalu.

Gerakan #MeToo yang kala itu telah dibentuk sejak tahun 2006 untuk mendukung penyintas kekerasan seksual terkhusus pada perempuan menjadi viral setelah seorang aktris menggunakan hastag #MeToo pada media sosialnya.

Dalam akunnya Alyssa Milano seorang aktris Amerika yang menjadi korban pelecehan menceritakan pengalamannya dilecehkan oleh seorang produser film Amerika. Dalam hitungan hari banyak orang-orang menanggapi pernyataan tersebut dengan turut mengisahkan di media sosial pengalaman mereka saat dilecehkan. Tagar #MeToo pada saat itu akhirnya telah digunakan sebanyak 4,7 juta orang di seluruh dunia yang terlibat dalam interaksi tagar tersebut.

Dari kasus ini dapat dilihat bahwa media sosial mampu memberi pengaruh yang besar terutama dalam penyebaran informasi. Isu tagar #MeToo yang terjadi pada 2017 lalu merupakan sebuah gerakan sosial yang timbul dari keinginan kelompok perempuan-perempuan muda agar dapat bersuara atas tindakan kekerasan seksual yang terjadi pada mereka.

Banyaknya penggunaan hastag tersebut memunculkan asumsi bahwa korban dari kekerasan seksual cenderung diam dan bersuara atau melaporkan kejadian yang terjadi pada dirinya. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ketakutan akan stigma negatif orang lain, trauma, dan juga ancaman yang diterima korban dari pelaku kejahatan seksual. Hadirnya tagar #MeToo di media sosial akhirnya mampu mewadahi korban tanpa harus merasa cemas dan takut.

Dengan demikian isu yang terjadi dapat menjadi perhatian bagi aparat dan lembaga terkait agar dapat menanggulangi kekerasan seksual yang terjadi dengan membuat sebuah kebijakan yang lebih ketat terkait perlindungan perempuan. Aksi gerakan sosial yang sempat menjadi trend global ini dapat kita lihat juga dalam penerapannya di Indonesia.

Jauh sebelum adanya media sosial gerakan sosial oleh perempuan di Indonesia sempat terjadi pada era reformasi, salah satunya ialah gerakan Suara Ibu Peduli pada tahun 1998. Gerakan ini dipicu oleh gejolak sosial, kekerasan, dan kenaikan harga yang terjadi di masyarakat pada masa pemerintahan orde baru.

Beberapa gerakan sosial yang dilakukan oleh perempuan pada kala itu akhirnya melahirkan sebuah gagasan untuk membentuk sebuah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) yang dinaungi oleh lembaga nasional pada 15 Oktober 1998 untuk melindungi hak, serta mencegah dan mengurangi kekerasan terhadap perempuan.

Lalu bagaimana kelanjutan lembaga tersebut? Apakah sudah mampu menekan angka kekerasan yang terjadi pada perempuan di Indonesia? Jika kita melihat kembali gerakan #MeToo yang terjadi seluruh dunia, aksi melawan kekerasan seksual di Indonesia dapat dilihat dari adanya komunitas relawan Indoneia ”Lentera Sintas Indonesia” yang didirikan tahun 2011. Sama seperti hastag #MeToo, Lentera Sintas Indonesia menjalankan kampanye anti kekerasan seksual lewat tagar #MulaiBicara untuk memulai pembicaraan di seluruh lapisan masyarakat tentang kekerasan seksual.

Program telah dijalankan oleh organisasi ini adalah mengadakan roadshow sosialisasi kekerasan seksual ke sekolah-sekolah. Namun tampaknya keberlanjutan organisasi ini terhenti pada tahun 2023, yang setelahnya akun media sosial dari Lentera Sintas Indonesia tidak lagi mengunggah informasi apapun.

Menariknya, gerakan sosial ini sepertinya menarik simpatisan perempuan di daerah untuk satu suara menyuarakan hak yang sama. Di Sumatera Barat gerakan sosial perempuan ditandai dengan adanya Jaringan Peduli Perempuan atau JPP Sumatera Barat. Gerakan ini adalah gerakan sosial dengan pergerakan yang consent terhadap isu perempuan, dimana terdapat di masyarakat kita adanya temuan diskriminasi yang menimpa perempuan baik dari berbagai kondisi kehidupannya, terkhusus fakta tentang kekerasan menimpa perempuan di kehidupan masyarakat Minangkabau.

WCC Nurani Perempuan sebagai pelaku yang tergabung dalam JPP Sumatera Barat memfokuskan diri untuk melakukan advokasi kepada perempuan. Dengan meminta dukungan dari DPRD Sumatera Barat, gerakan ini mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan. Hingga pada 2022 lalu, RUU ini akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Perjalanan gerakan sosial diatas tentu ditengarai oleh adanya satu kesamaan tujuan yang diinginkan oleh individu-individu yang akhirnya membentuk sebuah kelompok untuk mencapai tujuan tersebut. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Anthony Giddens seorang sosiolog Inggris yang menyatakan bahwa gerakan sosial merupakan upaya kolektif dari pihak yang memiliki kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan bersama diluar dari lingkup kelembagaan.

Selain dalam konteks global, eksistensi gerakan #MeToo di Sumatera Barat menyiratkan pentingnya kolaborasi antara berbagai sektor. Lembaga swadaya masyarakat, akademisi, pemerintah, dan sektor swasta perlu bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perempuan. Melalui kolaborasi ini, diharapkan dapat tercipta program-program yang lebih efektif dalam mendukung perempuan dan mengatasi isu-isu kekerasan seksual.

Dalam konteks yang lebih luas, gerakan #MeToo di Sumatera Barat dapat menjadi bagian dari perjuangan perempuan untuk mencapai kesetaraan gender. Kesadaran akan hak-hak perempuan dan perlunya perlindungan dari kekerasan seksual bukan hanya tanggung jawab perempuan, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Setiap individu memiliki peran dalam menciptakan budaya yang menghormati dan melindungi hak-hak perempuan. (*)

Baca Juga :  Wagub Sumbar Audy Joinaldy Kunjungan Kerja ke Barulak, Tanjung Alam Kab. Tanah Datar

Sumber gambar: Kolom Sosiologi. Diakses dari google free access