Menyikapi Surat Edaran Bupati Tanah Datar yang Berpotensi “Mengkerdilkan” Kewenangan Wabup

Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
(Advokat & Pengamat Sosial Politik)

Kabar kisruh kurang harmonisnya hubungan pasangan Era Baru, Bupati Eka Putra, SE, MM dengan Wakil Bupati Richi Aprian, SH, MH agaknya sudah menjadi rahasia umum dan bukan sekedar rumor semata, walaupun ada pihak pihak yang masih mencoba mengatakan bahwa Eka-Richi baik baik saja.

Indikator kurang / tidak harmonisnya hubungan mereka tersebut sudah dapat dirasakan oleh publik yang selama ini rajin memberi atensi atas dinamika politik di Tanah Datar ini. Setidaknya tercatat indikator “pacah kongsi” tersebut sebagai berikut:

  1. Jarangnya Bupati dan Wakilnya jalan berdampingan dalam acara acara yang seharusnya patut kehadiran mereka berdua dihadapan publik.
  2. Wakil Bupati sepertinya tidak diberi tempat dalam agenda Pemkab Tanah Datar berdasarkan surat yang masuk ke Sekretaris Pribadi Bupati, dan hanya kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremonial saja ditugaskan semisal mengikuti upacara, Rapat-rapat Virtual, dan pertemuan lainnya yang hanya bersifat seremonial.
  3. Menghilangkan jasa pengawalan Polri untuk Wakil Bupati per Juni 2023,
  4. Merubah komposisi Biaya Operasional Pimpinan (BOP) dari semula 60 Bupati : 40 Wakil Bupati menjadi 70:30. 30% untuk Wakil Bupati,
  5. Menghilangkan biaya pertemuan dengan masyarakat 100%, dan
  6. Belakangan ini di dalam internal pemerintahan, Bupati mengeluarkan Surat Edaran Bupati No. 100.3.4.2/885/ORG-2023 tentang Pelaksanaan Pedoman Tata Naskah Dinas Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar tertanggal 29 Agustus 2023 yang isinya akan penulis bahas dalam tulisan kali ini.

“Secara bertahap terbaca Bupati terkesan mempreteli kewenangan Wakil Bupatinya sendiri” ujar Wan Labai yang senantiasa mengamati kurenah Bupati dan Wakilnya.

Poin ke 3 Surat Edaran Bupati tersebut berbunyi: “Untuk pemarafan Naskah Dinas yang akan ditandatangani oleh Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Sekretaris Daerah, asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas, kepala badan, inspektur, dan direktur rumah sakit umum, berdasarkan pasal 40 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2023 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Daerah dilakukan maksimal 3 (tiga) orang pejabat secara berjenjang, dimana salah satunya adalah pimpinan perangkat daerah pemrakarsa naskah dinas;”

Sedangkan Pasal 40 Ayat (2) Permendagri Nomor 1 Tahun 2023 itu sendiri berbunyi sebagai berikut: “Pembubuhan paraf hierarki pada Naskah Dinas yang ditandatangani oleh Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas, kepala badan, inspektur, dan direktur rumah sakit umum harus diparaf terlebih dahulu oleh maksimal 3 orang pejabat secara berjenjang”.

Baca Juga :  Kasat Samapta Polres Padang Pariaman Pimpin Anggota Patroli di Objek Vital dan Pusat Perbelanjaan

Secara sekilas, dimata orang awam Surat Edaran Bupati (SE Bupati) tersebut sudah mengadopsi peraturan yang lebih tinggi (Permendagri No. 1 Tahun 2023), namun dimata orang hukum, ada hal krusial yang terbaca justru mengaburkan / bahkan menghilang makna tertulis dalam Permendagri itu sendiri, dimana SE Bupati MENGHILANGKAN kata “HARUS diparaf terlebih dahulu”. Selain itu SE Bupati ada penambahan kata “dimana salah satunya adalah pimpinan perangkat daerah pemrakarsa naskah dinas”.

Jadi SE Bupati tersebut dipandang BERTENTANGAN karena telah MEMODIFIKASI Pasal 40 Ayat (2) Permendagri No. 1 Tahun 2023 dengan cara menghilangkan frasa dan menambahkan frasa sesuai kepentingan pejabat Pemkab Tanah Datar.

Dari perspektif penulis, menghilangkan kata / frasa tertentu dari sebuah ayat sudah merubah makna dan tujuan ayat itu sendiri, apalagi ada penambahan kata / frasa lain yang bisa dianggap sebagai MODIFIKASI SEPIHAK yang justru merubah isi Pasal 40 Ayat (2) Permendagri No. 1 Tahun 2023 itu sendiri. Konsekwensi hukumnya, tentu BERTENTANGAN dengan isi peraturan yang lebih tinggi dari SE Bupati itu.

Padahal dalam teori hukum dikenal Azas Lex Superior Derogate Legi Inferiori yang dapat diartikan bahwa Peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki perundang-undangan TIDAK BOLEH bertentangan dengan yang lebih tinggi.

Lantas dimana masalah bertentangannya? Jadi gini, dengan penghilangan frasa “harus diparaf terlebih dahulu” oleh maksimal 3 orang pejabat secara berjenjang, menjadi kalimat: “dilakukan maksimal 3 (tiga) orang pejabat secara berjenjang, dimana salah satunya adalah pimpinan perangkat daerah pemrakarsa naskah dinas”, maka makna KEHARUSAN sebagaimana tertuang dalam Permendagri itu DIABAIKAN oleh SE Bupati menjadi sebuah KETIDAK HARUSAN selama tetap melaksanakan paraf untuk maksimal 3 pejabat secara berjenjang, dan ditambah dengan kalimat: “dimana salah satunya adalah pimpinan perangkat daerah pemrakarsa naskah dinas”, maka jenjang hierarkinya semakin panjang sehingga membuka peluang ada pejabat yang “dilompati”.

Dengan demikian maka Pemkab Tanah Datar mencoba melegitimasi bahwa tidak perlu lagi paraf Wakil Bupati selama memenuhi kriteria maksimal diparaf oleh 3 pejabat secara berjenjang. Maka dianggap sah jika paraf hanya sampai Sekretaris Daerah, Kepala Bagian Hukum, dan Pemrakarsa Naskah Daerah.

Dengan demikian, patut diduga ada kepentingan politis tersembunyi dibalik penerbitan SE Bupati tersebut, apalagi bila dikaitkan dengan kondisi kurang harmonis antara Bupati dengan Wakil Bupati Tanah Datar saat ini.

Baca Juga :  Pemkab Tanah Datar Bertekad Berikan Layanan Terbaik untuk Masyarakat

Bisa jadi penerbitan SE Bupati tersebut untuk mempreteli dan membatasi kewenangan Wakil Bupati agar “indak di baok sato” dalam sebuah pengambilan kebijakan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dan sekaligus untuk menunjuk hegemoni kekuasaannya.

Dugaan mengeyampingkan peran Wakil Bupati tersebut, indikasi mengenyampingkan peran dan kewenangan Wakil Bupati tersebut dapat diketahui saat memprosesan naskah daerah yang sudah TIDAK MEMBUBUHKAN PARAF Wakil Bupati lagi sebagai berikut:

  1. Rencana Perubahan Peraturan Bupati No. 47 Tahun 2022 tentang Standar Biaya Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2023,
  2. Penambahan anggaran keberangkatan PKK ke Kabupaten Pacitan, Jawa Timur,
  3. SK Mutasi di lingkungan Pemda
  4. Pembahasan KUA PPAS, dan
  5. APBD Perubahan TA 2023
  6. APBD TA 2024 “Entah SE Bupati ini untuk memuluskan keinginan Bupati untuk mengatur perubahan keuangan daerah tanpa merasa terhalangi oleh Wakil Bupati, atau mungkin karena ingin menunjukkan hegemoni kekuasaan kepada rival politiknya” gumam Wan Labai mencoba memaknai maksud dan tujuan SE Bupati tersebut.

Secara lebih ekstrim lagi, akan sangat mengkhawatirkan bila keluarnya SE BUPATI ini ditujukan untuk menghambat, menghalang-halangi dan membatasi kewenangan yang dimiliki Wakil Bupati sebagaimana yang tercantum dalam pasal 66 Ayat (1) Huruf a angka 4 Undang-Undang No 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa:
“Wakil Kepala Daerah Mempunyai Tugas……(4) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, Kelurahan, dan/atau Desa bagi Wakil Bupati/Wali kota;”
Dimana berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari internal Sekretariat Daerah itu sendiri, selama ini Wakil Bupati selalu memberikan masukan dan saran dalam fungsinya untuk melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan di Tanah Datar. atau dikatakan tidak sekedar memparaf surat saja meskipun telah diparaf Sekretaris Daerah, Asisten, Maupun kepala OPD.

Lebih lanjut dari informasi yang penulis dapatkan dari internal Sekretariat Daerah. Pengawasan yang dilakukan oleh Wabup selama ini sudah sangat membantu jalannya pemerintahan. bahkan tidak sekali, Wabup menemukan kejanggalan dalam permasalahan penganggaran di Pemerintah Tanah Datar. namun sangat sayang respon yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah dan Bupati tidak melibatkan Wakil Bupati dalam rapat-rapat Tim Anggaran Pemerintah Daerah. Sehingga tidak salah bila penulis menganggap ini terindikasi merupakan upaya yang secara sengaja dilakukan untuk memuluskan “program seludupan” kedalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Entahlah… semoga saja tidak.

Baca Juga :  TSR Khusus Ramadhan yang Dipimpin Bupati Tanah Datar Kunjungi Nagari Pasia Laweh

Dari paparan penulis diatas, jadi siapa sebenarnya yang menjadi pemicu (trigger) ketidakharmonisan antara Bupati dengan Wakil Bupati? Dipicu oleh Bupati atau oleh Wakil Bupati? Silahkan saja disimpulkan oleh pembaca tulisan ini secara bijak, hehehe.

Penulis sampai saat ini tetap berprinsip bahwa jalan terbaik kelanjutan pengelolaan daerah ini adalah bahwa Pemerintahan Era Baru Eka Putra dan Richi Aprian tetap rukun. Tentu saja diperlukan kebesaran hati seorang kakak untuk memanggil dan berdiskusi dengan adiknya dari hati ke hati. Menunjukkan tuah hegemoni kekuasaan dengan cara mempreteli kewenangan wakilnya, sama saja dengan membuat lubang untuk diri sendiri. Atau jangan jangan kondisi ini sengaja dipelihara oleh orang sekeliling Bupati demi ambisi pribadi dan syahwat kelompoknya?

“Akan menjadi blunder bila Bupati terus “mendiskreditkan” wakilnya sendiri dengan cara mempreteli hak dan kewenangan Wakil Bupati nya sendiri. Ibarat Bupati seorang sopir bus mobil merek Era Baru dan kerneknya adalah Wakil Bupati yang seharusnya bertugas membantu sopir memberi aba aba bila mobil akan berbelok, mendaki dan menurun atau segera menganjal ban mobil bus Era Baru saat mogok, kok malah kernek dibuat tidak nyaman dan malah mempercayai penumpang hura hura yang naik di jalan? Antahlah” celoteh Wan Labai tersenyum penuh arti sambil menghisap kretek merahnya.

Seorang politikus senior daerah menyarankan agar Bupati dan para pembisiknya untuk bekerja professional merujuk kepada Moto / Semboyan Pemerintah Daerah Tanah Datar yaitu TUAH SEPAKAT ALUR DAN PATUT, bukan merujuk pada kepentingan syahwat pribadi dan golongan tertentu yang berprinsip “MUMPUNG SADANG MAMACIK hehehe.

“Jangan moto pada lambang daerah itu hanya dijadikan pajangan semata. Yang perlu adalah implementasi dari pedoman yang disampaikan dalam semboyan tersebut. Jangan bak cando sedikit sedikit jual nama ABS SBK, namun realisasinya untuk penguatan ABS SBK hanya sekedar pepesan kosong semata, sementara anggaran untuk “jalan jalan” ka Pacitan disetujui juga. Apo karano desakan sang Bundo Kandung?” celoteh Wan Labai seraya beranjak dari Lapau Virtual Etek Ciek Piah.

Kadang karena serakah, Alur (prosedur) dan Patut (norma kepatutan) terpaksa dilanggar untuk memuaskan syahwat pribadi dan golongan. Alah indak peduli samo Raso jo Pareso lai do.

Taman Indo Jalito banyak kumbang,
Kumbang nan bamain jo ramo ramo, jok ado kato nan sumbang,
Silahkan dibahas dengan artikel yang samo.