Seberapa Penting Peran Masyarakat Adat Bagi Konservasi?

Oleh: Cinta Ghaniyyah Bond (Mahasiswa Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang)

Masyarakat adat sering kali tidak diakui dalam pengelolaan konservasi alam. Rancangan Undang Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) yang baru saja disahkan pun tidak memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk berpartisipasi secara efektif dalam penetapan kawasan konservasi. Hal ini menciptakan kesan bahwa kebijakan konservasi masih bersifat kolonial, di mana negara mengambil keputusan sepihak tanpa mempertimbangkan hak-hak dan pengetahuan tradisional masyarakat adat.

Masyarakat adat sering kali terpinggirkan dalam penetapan kawasan konservasi, meskipun mereka memiliki hubungan yang kuat dengan ekosistem yang dilindungi. Padahal di negara ini masih banyak masyarakat yang menggunakan tradisi adat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menjaga kelestarian alam.

Tradisi adat di Indonesia tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga merupakan cara efektif untuk menjaga kelestarian alam. Beragam upacara adat pada beberapa daerah di Indonesia masih sering dilakukan masyarakat hingga saat ini, dengan tujuan pengucapan rasa syukur atas hasil panen di ladang maupun hasil panen hewan laut. Bahkan juga melakukan ritual dengan cara memberikan seserahan terhadap alam liar untuk menjaga ekosistem hutan dan aliran sungai di hutan agar tetap lestari.

Melalui cara-cara ini, masyarakat adat menunjukkan bahwa mereka memiliki pengetahuan dan kearifan lokal yang dapat berkontribusi pada upaya konservasi lingkungan. Dengan menghormati dan melestarikan tradisi-tradisi ini, kita dapat mendukung keberlanjutan ekosistem bagi kehidupan manusia dan makhluk lain yang berada di sekitarnya.

Masalah konservasi yang mengganggu adat di negara ini merupakan isu yang kompleks dan multidimensional. Salah satu masalah utama adalah tumpang tindih antara kawasan konservasi dan wilayah adat. Banyak kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional atau area konservasi lainnya yang sebenarnya merupakan wilayah yang telah dihuni dan dikelola oleh masyarakat adat selama berabad-abad.

Baca Juga :  Anggota DPRD Tanah Datar Periode 2024-2029 Dilantik, Partai Nasdem Tempatkan 4 Anggota Dewannya

Misalnya di Ruteng, konflik terjadi ketika wilayah adat tumpang tindih dengan Taman Wisata Alam Ruteng, hingga menyebabkan ketegangan dan kekerasan di antara masyarakat lokal dengan pihak pengelola kawasan konservasi tersebut. Hal ini dapat menimbulkan perspektif negatif dari masyarakat luar, yang menganggap bahwa masyarakat adat merupakan masyarakat kuno dan kolot karena tidak mau memberikan sebagian kawasan atau tanahnya untuk wilayah konservasi sumber daya alam.

Padahal Masyarakat adat hanya ingin mempertahankan hak nya sebagai pengelola kawasan tersebut selama berabad-abad. Masyarakat adat juga selama ini menjaga kelestarian sumber daya alam hayati dengan baik, menggunakan tradisi-tradisi adat yang dimilikimya. Tetapi pihak konservasi yang lebih modern tempat tinggalnya, merasa bahwa upaya masyarakat adat untuk melakukan konservasi kurang efektif. Hingga akhirnya menimbulkan keributan antara masyarakat adat lokal dengan pihak pengelola konservasi, karena pemaksaan dari pihak pengelola untuk tetap ingin membangun taman wisata alam.

Kasus kriminalisasi terhadap pemangku adat juga menjadi masalah serius. Masyarakat adat yang berusaha mempertahankan hak-hak mereka atas tanah yang mereka miliki sering kali menghadapi tindakan hukum atau ancaman dari pihak berwenang. Keberlanjutan kasus diatas, dilakukannya penangkapan pemangku adat di Ruteng.

Ini menunjukkan bagaimana upaya mereka untuk melindungi wilayah adat dengan sungguh-sungguh berujung pada tindak kekerasan seperti kriminalisasi. Dan kasus ini tidak dapat diselesaikan secara baik-baik, karena masyarakat Ruteng yang tidak memiliki banyak uang untuk menuntut lebih lanjut mengensi permasalahan diambilnya tanah masyarakat adat oleh pihak konservasi.

Akibat kejadian tersebut banyak masyarakat adat melihat bahwa penetapan kawasan konservasi dijadikan sebagai ancaman terhadap eksistensi mereka. Ketika wilayah mereka ditetapkan sebagai area konservasi, sering kali muncul kekhawatiran akan penggusuran atau pembatasan akses terhadap sumber daya alam yang mereka andalkan selama ini. Ini menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan lembaga konservasi, serta merusak hubungan masyarakat dengan tanah dan sumber daya alam yang telah mereka kelola secara berkelanjutan.

Baca Juga :  Dibalik Perda RTRW Tanah Datar 2022-2042: Siapa Untung, Siapa "Buntung?"

Karena seringnya terjadi hal seperti ini di negara sendiri yang membuat rasa kekhawatiran masyarakat meningkat, sehingga tidak banyak masyarakat adat yang memiliki rasa percaya lagi terhadap pemerintah.
Kebijakan pemerintah tidak selalu memperhatikan kebutuhan masyarakat adat. Misalnya, tidak dijalankannya janji politik terkait perlindungan adat, seperti undang-undang masyarakat adat yang hanya tertulis saja namun tidak dijalankan sedikitpun.

Masalah konservasi ini mengganggu adat di Indonesia, yang menunjukkan perlunya pendekatan lebih inklusif dalam pengelolaan sumber daya alam. Mengakui peran penting masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati serta melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan adalah langkah baik untuk mencapai tujuan konservasi yang berkelanjutan. Tanpa adanya pengakuan dan partisipasi aktif dari masyarakat adat, upaya konservasi akan terus menghadapi tantangan dan konflik yang merugikan semua pihak. (*)

Sumber gambar: bahita.id