Konten Kreator Bertemu Politik, Apa Tanggapan Milenial?

Oleh : Muhamad Al Fajri (Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah UIN Imam Bonjol Padang)

Kalangan milenial pada saat sekarang ini lebih cenderung beraktivitas di sosial media dibandingkan di dunia nyata. Oleh karena itu, mereka lebih banyak melihat dan mendengar di sosial media dibandingkan yang terjadi di sekitar mereka, sehingga mereka cenderung mendapatkan informasi yang dapat mempengaruhi pemikiran dengan informasi yang diterima hanya dari sebelah pihak.

Maraknya penggunaan sosial media di kalangan milenial juga disebabkan oleh kelompok-kelompok sosial yang terbentuk dalam pola kehidupan Masyarakat. Hal ini sejalan dengan Struktur kaidah hukum pada saat sekarang seperti yang dikutip di dalam buku Sosiologi Hukum oleh Dr. Amran Suardi, S.H., M.Hum., M.M. Dalam buku tersebut ia menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan manusia dengan manusia lain. Sebagai akibat dari hubungan yang terjadi di antara individu-individu (manusia) kemudian lahirlah kelompok- kelompok sosial atau yang dikenal dengan (social group).

Di kalangan anak milenial saat sekarang ini sedang trend aplikasi tiktok yang digunakan untuk mengisi waktu luang. Dengan munculnya aplikasi ini mucul juga istilah content creator atau juga bisa disebut sebagai pembuat konten video yang di upload pada aplikasi tersebut yang biasanya ditonton oleh kaum milenial. Sehingga Content creator memiliki pengaruh besar dalam konten konten viral di internet. Tidak hanya konten-konten hiburan, konten-konetn pada tiktok juga merambah pada tema-tema politik.

Seperti saat sekarang ini akan dilakukan pemilihan kepala daerah di berbagai daerah di Indonesia, kesempatan ini kerap membuat konten kreator yang pro akan caleg dukungan nya mempublikasikan pada akunnya bahwa dia pro pada seseorang atau pasangan calon.

Baca Juga :  Ada Apa Dibalik Kisruh Pemilihan Anggota BPRN Pangian 2023-2029?

Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi conten creator yang dengan sengaja maupun tidak sengaja mempublikasikan bahwa dia pro kepada salah satu pasangan calon. Hal ini akan membuat netizen yang pada awalnya suka dengan video yang dibuat oleh conten creator tersebut menjadi tidak suka akibat ada sekelompok netizen yang lebih pro dengan caleg yang lain.

Akibatnya konten creator A yang kedapatan mendukung salah satu pasangan calon politik yang kebanyakan penonton konten-konten mereka ternyata berbeda pilihan politik dengan konten creator A maka ia cenderung akan di hakimi secara brutal oleh kalangan milenial dengan cara menghujat dengan caci maki di kolom komentar, membuat video parodi ,melaporkan acount, membongkar aib masalalu konten kretaornya dan masih banyak lagi.

Kasus diatas membuat ciri ciri kelompok sosial di sosial media semakin jelas. (Amran Suwardi) menjelaskan bahwa ciri-ciri kelompok sosial itu yang pertama terdapat dorongan atau motif yang sama antara individu dengan satu dengan yang lain yang kedua adanya penegasan pembekuan struktur kelompok yang jelas dan berdiri dari peranan-peranan kedudukan masing-masing, adanya interaksi yang berlainan terhadap individu yang satu dengan yang lain berdasarkan rasa kecakapan yang berbeda diantara individu yang ada dalam satu kelompok. Berlangsungnya suatu kepentingan atau adanya kepentingan yang membuat seseorang paham antara kelompok orang lain terakhir adanya satu kesamaan yang menjadi hubungan erat antara kelompok-kelompok yang ada dalam suatu organisasi.

Bagaimana dengan hukum dalam penyelesaian konflik sosial?

Hukum mencakup terhadap kehormatan dan martabat manusia dalam buku sosiologi hukum ciptaan dari Prof.Dr.H.Zainuddin Ali,M.A bahwa ia menikahkan manusia mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan tidak boleh diperalat. Martabat manusia di Indonesia harus dihargai sepenuhnya dan tidak boleh diperalat untuk tujuan apapun termasuk tujuan politik.

Baca Juga :  Kadis Dikbud: Siswa dari Daerah Terdampak Bencana di Tanah Datar Boleh Belajar Secara Daring

Dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 Tahun 1999tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui jalan langsung, umum, bebas, rahasia, pemungutan suara yang jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945serta pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 Tahun 1999tentang Hak Asasi Manusia merupakan landasan yang menjadi pilar berdirinya perlindungan tersebut. dan pengamanan hak memilih pemilih pada pemilu umum danpemilu sebagai bentuk perlindungan HakAsasi Manusia (HAM).

Dari pasal diatas bisa ditafsirkan bahwa setiap masyarakat boleh memilih pasangan caleg sesuai keinginan mereka sesuai dengan ketentuan undang yang berlaku yang dikutip dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 Tentang Kampanye Pemilihan Umum.

Partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu dilarang melakukan kampanye.

pemilu sebelum dimulainya masa kampanye pemilu atau curi start kampanye. Perlu diketahui larangan-larangan lainnya seperti bahan kampanye untuk selebaran, brosur, pamflet, poster, stiker, kalender dan atribut kampanye lainnya yang bisa ditempel, dilarang ditempelkan pada tempat umum. Ada pun tempat umum dimaksud adalah tempat ibadah, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan (meliputi gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi), gedung atau fasilitas milik pemerintah, jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, dan/atau taman dan pepohonan. Tempat umum juga termasuk halaman, pagar, dan tembok, begitu pun berlaku untuk larangan pemasangan alat peraga kampanye seperti reklame, spanduk dan umbul-umbul.

Jadi apapun pilihan dari conten creator juga tidak bisa dihakimi karena para pembuat konten juga mempunyai hak dalam menentukan pilihan politiknya.

Baca Juga :  Bupati Tanah Datar Puji Kesuksesan Kelompok Dasawisma Mawar 16 Koto Tangah

Bagaimana seharusnya kaum milenial dalam bersikap?

Pada masa sekarang yang dibutuhkan bukan hanya  teknologi untuk maju tapi juga butuh pembelajaran tentang (HAM) untuk menghargai seseorang bukan karna seseorang kedapatan lebih mendukung salah satu pihak sehingga ia bisa mendapatkan hujatan cacian yang berpotensi membuat mental seseorang terganggu akibat berbagai hujatan yang di berikan.

Kebebasan mengemukakan pendapat merupakan hal yang wajar apabila bila orang yang berpendapat sesuai dengan aturan yang berlaku, jadi kaum milenial harus belajar lagi dalam menghargai seseorang dalam berpendapat. (*)

Gambar/foto diambil dari google free access