Opini  

Dilema Kawasan Wisata Istano Basa Pagaruyung dan Nasib Pribumi

Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
Sekretaris LBH Pusako

Urang mambantai di muko halaman awak. Jangankan dagiang, darahnyo se indak tingga do. Begitulah kira kira tamsil warga asli Pagaruyung di sekitar objek wisata Istano Basa Pagaruyung (selanjutnya disebut: Istano Pagaruyung) bagaikan warga yang “termarginalkan”.

Diskusi lapau kali ini pindah dari lapau virtual Palanta Pusako ke sebuah warung di samping parkiran warga di seberang Istano Pagaruyung pada hari Rabu, 01 Juni 2022. Diskusi ini kami sajikan dengan gaya bertutur didalam sebuah lapau. Sebuah tempat makan dan tempat berintegrasi antar individu khas daerah Minangkabau.

“Kami pernah membaca berita dan mendengarkan radio bahwa kira kira omzet dari Istano Pagaruyung ada sekitar 7 (tujuh) milyar dalam 1 (satu) tahun, warga pribumi dapat apa?” ujar Roni Fernando, salah satu tokoh pemuda Nagari Pagaruyung yang akrab dipanggil dengan sapaan Baron.

Hal senada disampaikan juga oleh tokoh masyarakat Pagaruyung, Dt. Rajo Mahkudum. “Harusnya Pemerintah ini mengayomi masyarakat. Jangan “membunuh” masyarakat seperti ini. PAD tidak pernah menikmati” tutur Dt. Rajo Mahkudum di sela sela diskusi sambil mempersilahkan kami minum kopi steng sedikit gula.

Lebih lanjut disampaikan oleh Dt. Rajo Mahkudum selaku Ninik Mamak di Pagaruyung ini bahwa tanah / lahan wisata ini dulunya bukan dijual, tetapi DIPINJAMKAN oleh Ninik Mamak terdahulu karena tempatnya bagus dengan tujuan agar anak kemenakan mereka bisa hidup disana. Tahu tahu, setelah terbakar dulu, ada perjanjian dengan Bupati terdahulu bahwa yang akan dipakai adalah orang orang pribumi disini (Nagari Pagaruyung), tahu tahu orang orang dari mana mana yang bekerja.

“Setahu saya, untuk menegakkan (kembali) tonggak tuo Istano Pagaruyung ini adalah para perantau Pagaruyung yang patungan. Setelah patungan, dengan bahasa pengantar untuk membantu pribumi atau anak kemenakannya nanti agar bisa di bantu bekerja disini” ujar Baron.

Baca Juga :  Menakar Peluang Perempuan di Pilkada Tanah Datar

Di kesempatan lain, Wen, tokoh pemuda Mandahiling menyampaikan bahwa sebelum proyek parkir jadi, ada diambil warga tempatan 2 orang per jorong. Namun sekarang apa?

“Waktu pelaksanaan parkir, saya tidak pernah dilibatkan” ujar Dt. Rajo Mahkudum.

“Jadi percuma saja Pemda membicarakan UMKM UMKM ini itu bagus begana begini, nyatanya UMKM disini (UMKM Anak Nagari Pagaruyung) sendiri TIDAK DILIBATKAN. Contoh, kemarin ini terdengar ada acara Oke Oce. Budgetnya untuk 1 tenda adalah 5 juta (kalau tidak salah). Tidak ada orang Pagaruyung. Yang orang Pagaruyung di dalam ini (kawasan Istano, red) hanya jadi badut, jadi sopir odong odong, jadi penjual saus, jadi penjual tebu” tutur Baron lebih lanjut.

Ketika ditanya perihal kesiapan untuk partisipasi anak Nagari Pagaruyung di Istano Pagaruyung ini, secara serentak Dt. Rajo Mahkudum dan Baron serta Wen menyatakan kesiapannya.

“Lagian kami (anak nagari) disini tidak minta duit (mengemis) atau seolah olah jadi “orang bagak”. Kami disini INGIN BEKERJA. Orang luar datang kesini pakai baju dinas. Nan orang awak apo karajonyo? Nan pemuda awak apo kesibukannyo? Dimana wadahnyo? ucap Baron.

“bisa saja, tidak lama lagi warga setempat ini mungkin bayar masuk objek wisata ini. Contoh seperti Lebaran kemarin banyak yang mengeluh kepada saya, karena petugas disana tidak kenal dengan warga pribumi. Soalnya orang yang berdiri sebagai satpam disana bukan orang sini (bukan warga pribumi; red)” ujar Dt. Rajo Mahkudum.

Adapun profesi pekerjaan yang ada di dalam area Wisata Istano Paguruyung ini diantaranya adalah Satpam, petugas K3, penjaga pintu, guide, sewa baju adat, photographer, permainan anak, rental sepeda, jasa simpan sandal dan sekarang muncul rental otopet listrik yang kabarnya dikelola oleh Perumda Tuah Sepakat, dll.

Baca Juga :  Ada Apa Dibalik Kisruh Pemilihan Anggota BPRN Pangian 2023-2029?

Disampaikan oleh Dt. Rajo Mahkudum bahwa sedihnya kami, kenapa bukan anak anak kemenakan kami yang turut dilibatkan?

“Maaf bicara, bahasa saya dari Ninik Mamak, kalau bisa (Pemerintah) mengayomi masyarakat. Cobalah telusuri satu persatu pedagang ini, apa keluhannya. Dirangkul, dibina, bukan “dibinasakan” seperti ini. Kami diam diam selama ini bukannya kami takut” ungkap Dt. Rajo Mahkudum.

Dt. Rajo Mahkudum menyampaikan kesiapannya jika seandainya area seberang Istano Pagaruyung dikoordinir dan dirapikan, dibuat jalan yang bagus, dibuat trotoar, disamakan bentuk bangunan lapak pedagangnya.

“Bahkan pernah dulu saya usulkan di jaman pemerintahan Bupati Shodiq, saya ingin parkiran di sekitar sini tidak illegal kesannya. Saya siap bayar pajak (pajak penghasilan, red) atau berupa retribusi parkir. Bupati (dulu) menganjurkan untuk disertifikatkan lahannya. Disini adalah tanah ulayat. Jadi tanah hak ulayat itu belum bisa disertifikatkan” ujar Dt. Rajo Mahkudum.

“Kami tidak paham dengan sikap Pemerintah Daerah yang memindahkan pintu masuk pengunjung ke arah samping Istano. Secara kaidah, sudah menyalahi prinsip bangunan sebuah Istano. Dimana mana pintu masuk itu dari depan, bukan dari samping. Sudah lah menyalahi kaidah, juga merugikan para pedagang pribumi. Apakah Pemerintah ingin mematikan usaha pribumi? Sekarang gerbang utama menjadi gerbang keluar. Kami ingin Pemkab mengembalikan fungsi gerbang utama menjadi gerbang masuk” tutur Dt. Rajo Mahkudum sedikit geram.

Baron menimpali dan berharap semoga dengan sudah dilantiknya Kepala Dinas Parpora Tanah Datar yang rekam jejaknya cukup bagus, Kadis Parpora dapat memandang persoalan seputar objek wisata Istano Pagaruyung ini secara objektif dan profesional. Berani membuka dialog dengan pemangku adat dan pemangku kepentingan di Nagari Pagaruyung untuk memberikan rekomendasi dan solusi terbaik kepada Kepala Daerah.

Baca Juga :  Filosofi Surau Museum Istano Basa Pagaruyung "Pendidikan"

Menutup diskusi kali ini, kehendak anak nagari di Pagaruyung ini sederhana saja. LIBATKAN POTENSI PRIBUMI secara proporsional. Dengan demikian anak kemenakan pribumi Pagaruyung tidak lagi terpinggirkan / termarginalkan.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk memprovokasi ataupun membangkitkan sentimen teritori atau bahasa apapun yang dianggap negatif, namun lebih kepada bentuk informasi terbuka dan sebagai “early warning” kepada segenap stakeholder Tanah Datar khususnya Pimpinan Daerah dan Pimpinan DPRD agar pandai bersikap dan pandai merangkul segenap stakeholder warga pribumi asli Pagaruyung dan bijak membuat keputusan yang win-win solution.

Bupati Tanah Datar dan Ketua DPRD Tanah Datar sudah dihubungi pada kesempatan terpisah perihal di atas. Sudah diberikan waktu yang cukup, namun hingga tulisan ini di rilis, belum ada tanggapan sama sekali dari mereka berdua.

“Hindarilah bersikap cuek / tutup mata, nanti kalo masalah ini besar, baru bereaksi. Cari kambing hitam, dan berbagai alasan pembenaran. Too late” ujar Wan Labai.

Menurut teori konflik, harus disadari bahwa akar konflik itu berada dibawah (underground), kemudian muncul ke permukaan, jika tidak ada solusi, maka konflik itu akan meledak menjadi sebuah konflik terbuka. Semoga ada yang mendengar dan memberi solusi. (*)