Ajaran Kepada Wanita Dalam Naskah Piwulang Estri

Oleh: Annisa Azzahra (Jurusan Sastra Minangkabau, Universitas Andalas)

Wanita merupakan sebuah istilah yang dipakai untuk jenis kelamin yang berlawanan dengan laki-laki. Di Indonesia biasanya memakai sapaan yang sopan, panggilan untuk wanita yang lebih tua dipanggil dengan sebutan ibu. Dari teori yang populer kata ‘perempuan’ ini berasal dari kata ‘empu’ yang mana di dalam bahasa Jawa kuno, kata ‘empu’ tersebut mendapatkan penambahan yaitu kata per- dan -an yang kemudian membentuk kata ‘perempuan’.

Sedangkan kata ‘wanita’ berasal dari ‘vanita’ di dalam bahasa Sansekerta yang berarti ‘yang diinginkan’. Peran wanita sangatlah penting di dunia ini, apakah di dalam pendidikan, kesehatan dan lainnya. Kita berkembang karena pengorbanan seorang wanita atau disebut juga dengan ibu. Semenjak kita bayi sampai dewasa pun peranan ibu sangat melekat di kehidupan kita.

Sebelum menjadi seorang ibu banyak yang harus dipersiapkan. Baik dalam proses pendidikan penerus, penyimpanan generasi penerus dan bahkan proses pembentukan generasi penerus. Tiga persiapan tersebut terdapat pada sebuah naskah yang bernama Piwulang Estris. Naskah ini ditulis oleh Arsanti Wulandari pada tahun 1856 yang terdapat di dalamnya menggunakan bahasa Jawa. Naskah ini ditulis dengan suatu reportase yaitu pelaporan, yang bersumber dari pengamatan ataupun tertulis. Pada naskah tersebut terdapat suatu yang menjadikan acuan untuk disampaikan kepada orang lain tentang sesuatu yang terkandung di dalamnya yang baik secara terus terang dan tidak berbelit-belit atau tidak menyatakan secara tidak jelas.

Pada masa itu kelihatan wanita mendapatkan suatu posisi yang bukan sembarangan. Wanita digambarkan sebagai simbol yang mana terdapat tiga teks ‘suluk’ yaitu suluk batik, suluk tenun, dan juga suluk tanen. Di dalam teks biasanya mencerminkan jiwa yang menciptanya, teks itu bisa menunjukkan bukan hanya teks itu sendiri. Contohnya, banyaknya suatu perumpamaan di dalam sebuah teks yang dapat membawa pada satu anggapan dasar yang mana masyarakat pencipta teks merupakan masyarakat asosiatif, yang lebih senang bicara secara sindiran, simbol yang mana tidak terkesan menggeraikan.

Baca Juga :  Menilik Peran Perempuan dalam Kontestasi Politik Indonesia

Sesuai dengan judul teks serat Piwulang Estri ini yang jika dilihat dari kata perkata, kata ‘Piwulang’ ini yang artinya ‘ajaran’ sedangkan ‘Estri’ ini artinya ‘wanita’, maka otomatis tertanam dalam kepala kita bahwa ajaran yang banyak disampaikan mengenai wanita pada teks Piwulang Estri ini. Ajaran yang diajukan ada pada wanita yang dapat dikategorikan yaitu:

  • Ajaran tantang filsafat dan agama yang mengajarkan wanita dalam hal membuka diri akan pembentukan ilmu agar wanita saling tertaut dengan tuhan yang maha esa.
  • Ajaran untuk wanita yang akan menjadi calon ibu, yang disampaikan dalam tiga suluk yaitu suluk tenan, suluk tenun dan suluk bathik.
  • Ajaran kepada wanita dengan menggunakan metode cerita yang mana menampilkan tokoh wanita yang dijadikan teladan.
    Dalam teks piwulang estri ini terdapat ideal pada wanita yaitu wanita yang pandai akan tetapi tetap mengingat akan tujuan akhir kepada tuhan yang maha esa dan jika menjadi seorang ibu tidak terlepas sikap dari suluk tanen, suluk tenun, dan juga suluk bathik.

Pada suluk tanen ini peran yang sangat penting sebagai seorang calon ibu yang menyangkut akan mendidik anak yang dapat diibaratkan sebuah ladang pertanian yang harus dipersiapkan segala sesuatu untuk ditanam dan juga termasuk penyimpanan akan benih juga alat yang akan digunakan untuk mengolahnya. Dari perumpamaan tersebut sikap setelah menjadi seorang ibu sangat diharapkan untuk selalu menjalankan ibadah dengan baik dan juga mendidik anak sesuai dengan ajaran agama. Pada suluk tanen ini sangat mencerminkan bahwa kesiapan lahir dan batin seorang wanita untuk menjadi seorang ibu, yang menjalankan sesuai dengan aturan agama dan menjalankan ibadah.

Pada suluk tanen terdapat suatu gambaran alat dengan berbagai kelengkapannya yang melambangkan kelengkapan yang harus dimiliki seorang wanita yang bertenun. Suluk tenun ini merupakan suatu potensi diri akan wanita yang dapat mengendalikan hawa nafsu dalam menjalankan kehidupan. Layaknya penenun yang harus cermat dan sabar juga fikiran selalu iman pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai kunci utama. Pada suluk tenun ini sangat menjaga mutu akan bahan tenunan yang bermakna menjaga dengan sangat baik bakal jadi pasangan, perilaku yang baik bakal menghasilkan keturunan yang baik juga.

Baca Juga :  Tanah Datar Raih Penghargaan Terbaik dalam Perencanaan dan Pencapaian Pembangunan di Sumbar

Suluk bathik merupakan suatu perumpamaan yang dimana membatik yang bermakna sebagai pelambangan. Terdapat karakter seorang wanita yang mana diidealkan yang muncul pada suluk bathik ini yaitu wanita yang berwatak halus dan tidak sombong. Di dalam membatik bahan dasar yang halus akan sangat mudah untuk membatik karena lilin akan mudah dibentuk dan juga dapat mengalir dengan baik. Maka watak yang dasarnya itu baik jika dibentuk dan diwarnai akan menghasilkan karakter yang baik pula pada anak. Pada saat proses batik janganlah sombong akan merasa hasil yang didapatkan paling baik. Pada dasarnya hasil didikan yang baik mampu mengenal orang lain juga mulai berorganisasi dengan baik yang mana akan dipilih orang untuk menjadi pasangannya. Orang yang beranggapan bahwa anaknya adalah yang paling baik diantara yang lain maka itu adalah sikap sombong. Sikap tersebut sangat perlu dihindari oleh wanita.

Dalam membatik pengawangan alat yang dipakai untuk meletakkan bahan dianggap sebagai alam yang sangat luas. Canting untuk membuat pola disebut juga sebagai kalamullah untuk menulis kalimat-kalimat Allah. Sedangkan kayunya merupakan perumpamaan kehendak Allah. Apapun hasil dari membatik maka jangan lupa bersyukur kepada Tuhan begitu pula dengan kehidupan.

Pada naskah Piwulang Estri ini kita mendapatkan suatu nasihat kepada wanita. Wanita buka hanya identik dengan kecantikan, keindahan saja akan tetapi juga berani bertempur dan menjadi pemimpin. (*)