Syair Irsyadiyah dan Pesan Moral untuk Para Alumni

Oleh: Pramono
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
& MANASSA Komisariat Sumbar)

Sebagai media dakwah Islam, syair memiliki pengaruh yang besar pada masanya. Genre syair dipilih karena estetika yang khas dan kemudahannya untuk resitasi serta penghapalan. Fenomena ini juga terjadi di kalangan ulama Minangkabau, terutama pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Penyalinan, pengubahan, dan penulisan teks-teks keislaman ke dalam bentuk syair bertujuan untuk lebih memudahkan dalam mempribumikan ajaran Islam dan memudahkan proses transmisi berbagai pengetahuan keislaman. Oleh karena itu, beberapa ulama Minangkabau memilih genre syair untuk berkarya. Beragam pengetahuan keislaman seperti fikih, tasawuf, hadis, dan bahkan polemik keagamaan serta sosial-budaya diubah ke dalam bentuk syair.

Selain itu, genre ini juga dipilih untuk berbagai keperluan, seperti pemberitaan satu peristiwa, hiburan, promosi, sejarah institusi atau lembaga, dan lain-lain.
Salah satu karya yang tergolong dalam genre ini adalah “Syair Irsyadiah” yang dikarang oleh Abdul Muin Ali. Syair ini memuat seruan dan nasihat kepada murid-murid Irsyadiyah serta kaum Muslimin secara umum. Diawali dengan pengucapan Bismillah, pujian kepada Allah, dan salawat kepada Nabi Muhammad, syair ini mengisahkan berdirinya Madrasah Irsyadiyah di berbagai tempat sejak tahun 1923 hingga 1933.

Madrasah Irsyadiyah adalah sekolah agama yang didirikan oleh Syekh Khatib Muhammad Ali pada tahun 1923. Sekolah dengan sistem klasikal ini terinspirasi oleh Madrasah al-Irsyadiyah asy-Syurkati di Jakarta. Perkembangan awal madrasah ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kemasyhuran Syekh Katib Muhammad Ali. Ulama apolegetik yang dikagumi oleh khalayak luas pada masanya.

Pada bagian awal, penyair menyebutkan tentang dirinya sendiri, Abdul Muin Ali, sebagai penulis syair ini, dan kemudian menceritakan tentang sejarah berdirinya Irsyadiyah di berbagai tempat seperti Parak Gadang, Simpang Haru, Matur, Tarandam, dan daerah lainnya. Setelah itu, syair memberikan nasihat kepada murid-murid Irsyadiyah, baik laki-laki maupun perempuan, serta umumnya kepada murid-murid sekolah agama Islam. Disebutkan pada bagian awal sebelum masuk ke bait-bait syair sebagai berikut ini.

Baca Juga :  UIN Batusangkar Gelar Temu Alumni Lintas Angkatan, Buya Mahyuzil Terpilih Sebagai Ketum

Menerangkan seruan dari murid-murid dan tarikh berdiri Irsyadiyah di mana-mana negeri serta nasihat bagi murid-murid umumnya segala murid Islam. Susunan al-Haqir Abdul Muin bin Syekh Khatib Muhammad Ali ghafar Allāh Wa liwālidaih wa li jamī‘ al-muslimīn. Āmīn.

Nasihat-nasihat ini meliputi pengajaran tentang pentingnya bekerja dengan ikhlas, menjaga iman dan meninggalkan sifat takabur, menjaga hubungan baik dengan orang tua, guru, dan sesama, serta meneladani ajaran agama dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan. Penyair juga mengingatkan tentang cerita Nabi Adam dan peristiwa di surga yang menjadi pelajaran penting bagi umat manusia.

  1. Ninik Adam bernasihat lima perkara / kepada anak cucu sudahlah nyata / sekarang diterangkan nasihat pertama / janganlah kamu bersenag saja.
  2. Bersenang-senang di atas bumi / hendaklah pikir diri kamati / supaya jangan menyesal nanti / peganglah itu dengan hati-hati.
    …..
  3. Nasihat kedua hamba terangkan / kepada saudara hamba rancangkan / dari Nabi Adam datang ajaran / wahai saudara harap pegangkan.
  4. Wahai segala anak cucuku / kalau bekerja pikir dahulu / jangan diturut kemauan perempuan mu / perempuan banyak berhawa nafsu.
    …..
  5. Nasihat ke tiga diterangkan lagi / supaya dipikir petang dan pagi / oleh saudara perempuan laki-laki / jangan menyesal kemudian hari.
  6. Tiap-tiap kerja yang kita kerjakan / pikir dahulu akan kesudahan / supaya jangan jadi sesalan / sesal kemudian tidak karuan.
    …..
  7. Nasihat ke empat diterangkan pula / hendaklah pegang wahai saudara / pagi dan petang janganlah lupa / kepada anak cucu jadikan pusaka.
  8. Kalau gementar hati bekerja / janganlah pekerjaan dimajukan juga / haraplah pegang dengan setia / supaya kamu jangan sengsara.
    …..
  9. Nasihat ke lima hamba terangkan / kepada saudara jadi ajaran / pagi dan petang hendak pikirkan / siang dan malam jadikan taulan.
  10. Kalau bekerja musyawarah dahulu / kepada guru bapak dan ibu / dan kepada saudara serta taulanmu / nasihat demikian pegang olehmu.
  11. Karena aku ketinggalan musyawarah / kepada segala malaikat-malaikat / kemudian mehubungi kepada aku upat / sudahlah nasib apa boleh buat.
Baca Juga :  Bupati Tanah Datar Orasi di Depan 1800 Mahasiswa Baru UIN Batusangkar

Syair ditutup dengan permohonan maaf atas segala kekurangan yang ada dalam penyusunan syair ini, serta harapan agar dapat diperbaiki oleh pembaca yang lebih berpengetahuan. Syair ini mencerminkan semangat dakwah dan pendidikan Islam serta kerendahan hati penyair dalam menyampaikan pesan-pesan tersebut.
Pada bagian akhir buku ini, terdapat keterangan berupa kata penutup oleh pengarangnya. Uraian penutup ini tidak ditulis dalam bentuk bait syair, namun ditulis dalam bentuk paragraph berikut ini.

Selesai mengarang syair ini 22 April 1933 setuju 26 Zulhijah 1351. Salam dan maaf dari hamba yang hina Abdul Muin Ali Irsyadiyah Padang. Syair ini sudah hamba karang, hamba serahkan kepada ayahanda Syekh Khatib Muhammad Ali bin Abdul Muthalib Parak Gadang Padang – supaya diperbaiki. Hamba sudah baca dan tilik [teks korup] menarang syukurlah kepada Allah [teks korup] diharap juga mana yang salah dibaiki oleh ikhwan Muslimin, maklumlah Abdul Muin anakanda itu belum berpa ilmu pengetahuan, hanya sekedar berani hati saja. Mudah-mudahan bertambah-tambah ilmunya. Al-Haqir Syekh Khatib Muhammad Ali bin Abdul Muthalib.

Melalui syair ini, kita mendapat kesan bahwa, syair pada masanya merupakan genre yang populer dan digemari. Syair Irsyadiah menjadi bukti bagaimana sastra dapat memainkan peran penting dalam pendidikan dan dakwah. Syair ini mengajarkan pentingnya pendidikan agama yang terstruktur dan sistematis, serta menggambarkan semangat pembaruan dalam dunia pendidikan Islam di Minangkabau. Melalui syair, pesan-pesan moral dan keagamaan disampaikan dengan cara yang indah dan memikat, sehingga mampu menarik minat para pendengar dan pembacanya. Syair ini tidak hanya berfungsi sebagai alat dakwah, tetapi juga sebagai dokumentasi sejarah yang mencerminkan dinamika sosial dan keagamaan pada masanya. (*)