Sako dan Pusako Jadi Landasan Hukum

Oleh: Sts.Dt.Rajo Indo

Ketentuan dan kedudukan Sako jo Pusako sudah kita sampaikan pada dua tulisan terdahulu. Sehubungan dengan itu kita goreskan pula kelanjutan dari dua tulisan itu. Yakni dengan judul sebagaimana tersebut.

Berbicara tentang hukum adat Minangkabau sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi kita. Karena jauh-jauh sebelum deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) No.169 tahun 1954 yang di antara isinya “Ingin aman tentram serta hidup bermartabat aplikasikan adat istiadat setempat.

Bahkan dibuktikan kehebatan dan kekuatan hukum adat oleh TAP MPRS No.II tahun 1960 yang dalam lampiran “A” paragraf 402 hukum ditetapkan sebagai asas pembinaan hukum nasional. Hal itu dapat dipastikan apa yang dikatakan pepatah hukum adat Minangkabau yang berbunyi “Dimano Bumi dipijak di sinan Langik dijujuang”. Hal tersebut merupakan doktrin dalam hidup dan kehidupan. Karena itu menjadi pedoman awal dalam mewujudkan kedamaian dalam hidup. Jika diterapkan akan meminimkan pertentangan satu sama lain bila tidak akan meniadakan.

Hukum adat tidak sama dengan hukum infor dari Romawi misalnya. Hukum adat bersifat fungsional, relegius dan punya fungsi sasial serta keadilan. Hukum ini merupakan jelmaan dari perasaan kehidupan rakyat Minangkabau. Bahkan hukum adat mengandung unsur kekeluargaan, karena itu hukum adat mengutamakan masyarakat dari pada kepentingan individu.

Hukum adat tanpa mengenyampingkan “Suri tagantuang diulesi, jalan tarantang baturuik”. Yang sekarang dikenal dengan sebutan “Yurisprudensi” secara nasional. Hukum adat secara terus menerus akan hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Penyelesaian masalah menurut hukum adat tidak terkecuali dalam pemusyawaratan.

Hukum adat identik dengan nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butir Pancasila. Antara lain beragama, relegius, berprikemanusiaan/sama derjat, sama hak dan kewajiban, sama hak asasi, menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, adil. Menempatkan persatuan dan kesatuan serta keselamatan berbangsa dan bernegara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Baca Juga :  Mengenal Randai, Kesenian Khas Minangkabau: Asal-usul, Cara, dan Cerita

Hukum adat menjujung tinggi musyawarah untuk mufakat dan menjadi hak dan kewajiban untuk menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat. Landasan pokok ini disebut sebagai landasan filosofi, karena itu dimana ada masyarakat disana ada hukum adat. Justeru itu berbicara hukum adat tidak lepas dari apa yang dikatakan adat.

Adat adalah mengandung ketentuan bertingkah laku yang berbeda secara tajam antara manusia dengan hewan. Dalam kebutuhan biologis tidak bisa dihindarkan kesamaannya, manusia makan, manusia minum, hewan minum, manusia kawin, hewan kawin. Akan tetapi manusia kawin tidak sama dengan hewan kawin.

Yang 5 ini dilahirkan falam bentuk pepatah, petitih, mamang, bidal pantun, gurindam jo pameo (puitis). Hukum adat asli milik kita dan setiap perbuatan yang dilakukan secara terang benderang syah dan mengikat. Hukum adat punya kelenturan yang sesuai dengan kemauan masyarakat, karena itu hukum adat selalu ada dalam msyarakat.

Kedudukan hukum adat tidak akan pupus oleh badai modern, akan tetap hidup dalam hati rakyat. Hukum adat sebagai landasan dalam menetapkan perundang undangan. Karena itu hukum adat penting bagi negara karena metupakan identitas masyarakat dan tidak ada diantara kita yang suka dikatakan orang yang tidak beradat. (*)