Sejarah Lagu Saluang Ratok Kama

Dari hasil penelitian kesenian tradisional th 2019 yang dilakukan oleh Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) kabupaten Tanah Datar bekerjasama dengan berbagai perguruan tinggi ditemukan setidaknya ada 15 jenis lagu saluang yang asli dari Pariangan. Misalnya, Lereang Batu Apik, Ratok Saripudi, Lenggang Jadun, Ratok Kama, dll. Semuanya memiliki corak nada dan susunan pantun yang berbeda.

Salah satu lagu dendang atau ratok asli Pariangan yang sudah langka dan jarang dilagukan oleh tukang dendang saluang adalah lagu RATOK KAMA.  Lagu ini merupakan lagu ratok yang diambil dari kisah nyata di Pariangan.  Lagu ini berawal dari kisah keluarga KAMA (suku Dalimo Panjang) yang tinggal di Kapalo Koto Pariangan.  Kama adalah nama seorang perempuan yang memiliki suami bernama SUKI (suku Dalimo Singkek).  Dia memiliki 5 orang anak.  Pada akhir tahun 1942 (ketika tentara Jepang mulai menjajah), Suki pergi ke Labuatan  untuk mengikuti acara pacu jawi.  Dia pergi bersama anak laki-lakinya yang bernama Lasin yang pada saat itu masih berusia muda. 

Suki membawa seekor sapi yang cukup terkenal pada saat itu karena sapi itu bisa berlari kencang dan bisa berpasangan dengan sapi manapun untuk dipacu.  Sapi itu diberi nama Sirah Cantiak.  Suki juga dikenal sebagai seorang pemain dabuih dan dia sering tampil di gelanggang ramai untuk menghibur penonton dengan kesenian tradisional Minangkabau.

Pada saat acara pacu jawi sedang berlangsung, datanglah beberapa orang tentara Jepang ditemani oleh orang pribumi ke lokasi pacu jawi tersebut.  Mereka menangkap orang-orang yang bertubuh tinggi dan kokoh.  Tertangkaplah Suki dan anak laki-lakinya Lasin serta puluhan orang lainnya yang berpostur tinggi besar.  Mereka dibawa ke Payakumbuh untuk ikut kerja paksa selama lebih kurang satu bulan.

Baca Juga :  Tim Dokumenter Jurnal Minang Dokumentasikan Kincir Tradisional di Pariangan

Sementara itu, sapi milik Suki yang tertinggal di arena pacu jawi itu dibawa oleh kawannya pulang ke Pariangan.  Sesampainya di Pariangan, kawan-kawan Suki mengabarkan berita tersebut kepada istri Suki yang bernama Kama.  Mendengar kabar tersebut Kama langsung berteriak histeris.  Dia sedih sekali dan menangis menjadi jadi.  Pada malam harinya, Kama berdendang tentang duka yang dia alami tersebut.  Kama juga dikenal pintar bermain pupuik yang dibuat dari batang padi.  Suaranya juga merdu ketika berdendang.  Kama memiliki pekerjaan sebagai pedagang kecil di warung atau lapau yang menjual barang kebutuhan harian di Pariangan.

Setelah lapau ditutup pada malam hari, Kama berdendang tiada henti sehingga anak muda yang ada di sekitar lapau tersebut senang mendengarkannya.  Hampir setiap malam Kama berdendang ratok.  Kadang siang dan kadang sore dia berdendang juga.  Lagunya mendayu dayu. Dia membuat pantun yang mengisahkan perasaannya bagaimana rasanya kehilangan seorang suami dan seorang anak muda yang ditangkap oleh tentara Jepang.

Ada beberapa bait pantun RATOK KAMA yang masih diiingat oleh cucunya yang disalin ketika wawancara ini dilakukan, diantaranya:

Iyo rancak tuah ganto jawi ang lasin oi, Pai bapacu ka Lubuak Atan, tagucak raso dalam ati den Lasin oi, Baa Ndak pulang sampai malam.

Dari penelitian ini sudah dapat dikumpulkan 10 bait pantun asli Ratok Kama. Semuanya akan dijadikan dokumentasi dan akan direkam kembali nada saluangnya agar kesenian tersebut tidak punah. Suki meninggal dunia pada th 1958 dalam usia 80 th. Sedangkan istrinya Kama meninggal dunia pada tahun 1970. Sampai kini cucu dari keturunan Suki dan Kama ini masih ada di Pariangan.

Penelitian yang diketuai oleh Irwan Malin Basa ini akan dilanjutkan pada tahun 2020 ini dengan agenda merekam seluruh dendang saluang asli dari Pariangan yang dikenal sebagai sumber kebudayaan Minangkabau. Selanjutnya akan ditulis dalam bentuk buku ensiklopedi khusus lagu-lagu ratok Pariangan sehingga kesenian tradisional itu tetap lestari. (ADM).

Baca Juga :  Riski Syarif: Seorang Penggiat Literasi dari Lintau