Oleh: Pramono (Dosen Sastra Minangkabau FIB Universitas Andalas Padang & Pengurus MANASA Komisariat Sumbar)
Dalam penelusuran khazanah intelektual Minangkabau, Syekh Abdul Latif Syakur tampaknya merupakan satu-satunya ulama dari Minangkabau yang dikenal memiliki kecintaan terhadap dunia kuliner. Beliau lahir pada tanggal 5 Agustus 1882 di Nagari Air Mancur, Agam, Sumatera Barat. Pada usia delapan tahun, ayahnya, Muhammad Amin Panduko Intan, membawanya ke Makkah. Setelah ayahnya wafat pada tahun 1890, Syekh Abdul Latif Syakur diasuh oleh guru ayahnya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy.
Di bawah bimbingan langsung ulama ternama ini, Abdul Latif Syakur tumbuh menjadi seorang ulama dengan pengetahuan keagamaan yang luas, yang tercermin dari banyaknya karya yang ditinggalkannya dan kini disimpan oleh cucunya di Balai Gurah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Seluruh hasil tulisan Syekh Abdul Latif Syakur masih tersimpan rapi di skriptoriumnya di Yayasan Bani Latif Nagari Balai Gurah Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Di antara puluhan naskah kuno yang ditinggalkannya, terdapat satu naskah yang berisi berbagai resep masakan.
Menurut cucunya, Chuzaimah dan Syakurah, hingga kini keluarga dan masyarakat sekitar masih menggunakan resep gulai kambing yang pernah diajarkan oleh Syekh Abdul Latif Syakur. Lebih dari itu, jika kita ingin mengetahui lebih banyak tentang resep-resep masakan lainnya, kita dapat membaca naskah yang ditulis oleh beliau yang berisi berbagai resep masakan.
Naskah yang memuat kumpulan resep ini ditulis dengan aksara Jawi dalam bahasa Melayu-Minangkabau, mencerminkan kekayaan budaya dan warisan kuliner yang kaya. Meskipun naskah ini hanya setebal 80 halaman, ia menyimpan beragam rahasia dapur yang dituliskan dengan sederhana dan mudah dipahami. Setiap jenis masakan dalam naskah ini disajikan dengan rinci, dimulai dari nama masakan, diikuti dengan keterangan bahan-bahan yang diperlukan, serta diakhiri dengan cara memasak atau membuatnya. Tidak hanya terbatas pada lauk-pauk sebagai pendamping nasi, naskah ini juga menyajikan resep berbagai jenis kue, menjadikannya panduan lengkap bagi siapa saja yang ingin menggunakannya.
Nampaknya, naskah ini disusun dengan niat tulus untuk menjadi rujukan bagi orang lain, mungkin untuk digunakan dalam pengajaran atau sebagai pedoman dalam menjaga dan melestarikan tradisi kuliner yang kaya dan beragam. Setiap halaman adalah bukti dedikasi penulisnya dalam mencatat dan membagikan pengetahuan kuliner kepada generasi mendatang.
Salah satu jenis resep masakan yang menjadi teman setia nasi dalam naskah tersebut adalah ‘sambal patai’. Hidangan ini sangat populer dan digemari oleh banyak orang di kalangan masyarakat Minangkabau hingga saat ini. Namun, resep masakan ini memiliki perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan resep sambal petai yang lazim digunakan oleh masyarakat Minang masa kini. Berikut ini adalah alih aksara resep sambal petai ala Syakur.
Sambal Patai
Goreng bawang merah, bawang putih, dan lada yang sudah diiris-iris dengan minyak kelapa. Kalau sudah kuning, tambahkan kemiri dan lengkuas, bertumbuk lumat-lumat. Lalu tuangi air sedikit dan masukkan udang dan petai yang dibelah-belah. Kalua sudah hampir masak, ditambahi lagi air asam, garam, dan gula Jawa sedikit. Lalu masak kembali sampai semasak-masaknya.
Penggunaan minyak kelapa dan gula Jawa dalam resep sambal petai ini menciptakan perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan cara memasak sambal petai yang umum digunakan oleh masyarakat saat ini. Penggunaan minyak kelapa tidak hanya menambah aroma yang khas tetapi juga memberikan cita rasa yang unik pada masakan. Hal ini mengingatkan kita pada hidangan tradisional Minangkabau lainnya, seperti dendeng batokok, yang hingga hari ini masih mempertahankan penggunaan minyak kelapa di beberapa rumah makan Minang.
Mungkin, patut untuk mencoba resep sambal petai ala Syakur ini, karena keunikan bahan-bahan tradisional dapat membawa kita pada pengalaman kuliner yang autentik dan kaya rasa.
Naskah kuliner karya Syaekh Abdul Latif Syakur telah memperkaya khazanah kuliner Minangkabau dengan ragam resep tradisional yang autentik. Sayangnya, hingga kini belum ada suntingan naskah tersebut, sehingga aksesnya terbatas hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan membaca aksara Arab Melayu. Dalam upaya memperluas jangkauan naskah berharga ini, saya tengah berusaha mengalihaksarakan teks ini. Tujuan dari alih aksara ini adalah agar naskah tersebut dapat dinikmati oleh khalayak yang lebih luas, melampaui batasan bahasa dan aksara. Semoga usaha ini dapat segera terwujud dalam waktu dekat, sehingga warisan kuliner warisan Syekh Abdul Latif Syakur dapat lebih dikenal dan diapresiasi oleh masyarakat luas.
Selain naskah kuliner, Syekh Abdul Latif Syakur yang wafat pada 15 Juni 1963, juga meninggalkan puluhan karya keagamaan yang luas dan mendalam. Beliau banyak menulis tafsir beberapa surah Alquran yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Beberapa di antaranya telah diteliti dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi oleh beberapa sarjana. Semoga semua peninggalan karya intelektualnya ini menjadi amal jariah yang terus mengalir bagi Syekh Abdul Latif Syakur, memberikan manfaat yang abadi bagi generasi mendatang. (*)