Memaknai LKPJ Bupati Tanah Datar Tahun 2024:
Besar Pasak Daripada Tiang, Atau Memang Political Budgeting?

Opini Oleh: Muhammad Intania, SH (Advokat)

“Bak pucuak surik dalam balango, indahnyo sajo, raso indak ado”. Artinya: Seperti bunga kunyit dalam kuali, hanya indah dipandang, tapi tak berasa / tak memberi manfaat. Kiasan ini menggambarkan sosok pemimpin yang hanya pandai pencitraan, tapi tak memberi manfaat nyata kepada masyarakatnya.

Akankah kiasan minang diatas terjadi di Luak Nan Tuo? Mari simak tulisan ini hingga selesai agar netizen semakin cerdas dan tidak gagal paham serta obyektif menilai kiasan tersebut relevan tidaknya terhadap pemimpin.

Tulisan kali ini menyigi Laporan Keterangan Pertanggung-jawaban (LKPJ) Bupati Tanah Datar Tahun 2024 yang disampaikan dalam Rapat Paripurna DPRD Tanah Datar pada tanggal 05 Maret 2025 lalu.

Penulis telah merekap LKPJ Bupati Tanah Datar Tahun 2024 tersebut sebagaimana ditayangkan pada tabel di judul tulisan ini. Terbaca bahwa target Pendapatan Daerah 1,365 triliun rupiah “dikondisikan” lebih rendah dari target Belanja Daerah sebesar 1,444 triliun rupiah. Dari pengkondisian target itu saja sudah mencerminkan kondisi besar pasak daripada tiang sehingga terbaca target ditetapkan dengan posisi defisit (baca: rugi) sebesar minus 78,566 miliar rupiah.

Dari kolom penetapan target, maka terbaca ketidakmampuan pemerintah daerah untuk “memforecasting” kondisi 1 tahun kedepan, apalagi dalam upaya penghematan pengeluaran (belanja). Sepertinya tidak peduli dengan upaya efisiensi anggaran sama sekali.

Padahal dalam realisasi Belanja Daerah terbaca bahwa realisasi Belanja Daerah berada dibawah target yang ditetapkan. Coba jika seandainya pemerintah daerah menetapkan target Belanja Daerah yang rasional di angka 1,365 triliun rupiah (sekitar 620 juta dibawah target Pendapatan Daerah), maka secara teori sudah memposisikan kondisi surplus sehingga realisasi Belanja Daerah bisa mencapai angka 100% dan target Pendapatan Daerah menjadi SURPLUS berbanding target Belanja Daerah. Kalo itu terjadi, baru patut diacungkan jempol!

Baca Juga :  Bupati Buka Satu Nagari Satu Even di Padang Ganting, 1000 Sniper Hadir

Tapi karena target Pendapatan Daerah (baca: pemasukan) ditetapkan dibawah target Belanja Daerah (baca: pengeluaran), maka realisasi Pendapatan Daerah sudah pasti akan berada dibawah realisasi Belanja Daerah. Itulah yang penulis maksud adanya “pengkondisian” agar postur keuangan daerah selalu berada dalam posisi defisit (rugi). Tentu saja hal ini mencerminkan ketidakmampuan / ketidakmauan pemimpin daerah untuk menjadikan Tanah Datar sebagai daerah yang SURPLUS!

“Sudahlah balanjo semakin gadang, indak pandai lo menambah pemasukan (pendapatan)” gumam Wan Labai mengamati kurenah para pemimpin daerah dalam mengelola keuangan daerah.

Selain itu, dengan menciptakan kondisi Tanah Datar selalu dalam keadaan defisit, maka telah menunjukkan tidak adanya keinginan / optimisme pemimpin daerah untuk “mambangkik batang tarandam” guna membawa Tanah Datar dari jurang defisit (rugi) menuju keadaan yang surplus (untung). Lantas dimana hebatnya para pemimpin Tanah Datar ? Hebat dalam pencitraan semu mungkin iya!

Kalau kita bandingkan dengan LKPJ Tahun 2023, realisasi Pendapatan Daerah Tahun 2024 jauh berada diatas realisasi Pendapatan Daerah Tahun 2023. Peningkatan pemasukkan terbesar disumbangkan dari pos Pendapatan Transfer. Maknanya pemerintah daerah di tahun 2024 telah berusaha membuktikan untuk mendapatkan pemasukan lebih besar dibanding tahun 2023.

Namun sayang tidak diimbangi dengan upaya menekan pengeluaran (Belanja Daerah). Ya sama ada bo’ong! Jadi mirip mirip dengan pengelolaan Perumda Tuah Sepakat dimana pendapatan (penjualan) meningkat namun biaya biaya turut membengkak juga.

Maka tentu sangat kontradiktif bilamana kondisi daerah selalu defisit (rugi) sementara harta kekayaan pejabatnya semakin bertambah besar. Darimana mereka peroleh semua harta tersebut ?

Masyarakat Luak Nan Tuo baik di kampung halaman maupun di perantauan serta rakyat Indonesia tentu belum lupa dengan bencana nasional galodo yang terjadi pada Mei 2024 lalu, kemudian viral kasus dugaan korupsi alkes di RSUD Ali Hanafiah di kuartal 3 tahun 2024.

Baca Juga :  TSR Khusus Ramadhan yang Dipimpin Bupati Tanah Datar Kunjungi Nagari Pasia Laweh

Apakah defisit daerah dan penambahan harta kekayaan pejabat turut disumbangkan oleh bencana galodo dan indikasi korupsi serta ada pihak pihak yang menangguk keuntungan dari bencana dan indikasi korupsi tersebut ? Wallahu’alam, biarlah rabab yang menyampaikan.

Nah, kembali kepada rekap LKPJ Tahun 2024 tersebut, sekarang kita lihat realisasi Pendapatan Daerah berbanding dengan realisasi Belanja Daerah dimana terbaca realisasi Pendapatan Daerah sebesar 1,330 triliun rupiah berada dibawah realisasi Belanja Daerah sebesar 1,365 triliun rupiah. Artinya defisit / rugi sebesar 34,759 miliar rupiah. Maknanya, pemasukan lebih kecil dibanding pengeluaran, alias besar pasak daripada tiang juga!.

Lantas dimana hebatnya setelah sekian tahun memimpin Tanah Datar namun tidak mampu mengangkat keterpurukan daerah keluar dari zona defisit ?. Atau memang ada “kompromi jahat” antara pemerintah daerah dengan lembaga legislatif untuk selalu memposisikan postur keuangan daerah selalu dalam kondisi defisit / rugi?

Maka, silahkan netizen simpulkan apakah kiasan minang diawal tulisan ini relevan atau tidak dengan sosok para stakeholder yang mengelola daerah ini yang terkesan tidak memberi manfaat untuk masyarakat dan daerah agar naik peringkat dari defisit menuju surplus.

Tulisan ini penulis tutup dengan kutipan nyanyian Saluang sebagai berikut:

“Pemimpin kami bak pucuak rabuang.
Dipiliah sabagai harapan, tapi tak dapek dipakai.
Janji-janji basilek manih diawak, pahit di kampuang, untuang untuak kroni kroninyo sajo.

Katiko rakyaik paralu arahan, nan datang hanyolah pidato panjang bak angin lalu.
Malahan akarnyo kini marusak bumi, anggaran dialiah, amanah dipelintir, dan nagari digadai demi pangkek.

Nan ka di suruah, tak dapek disuruah.
Nan ka diharok, indak dapek diharok.
Alah bak cando kayu lapuak di titian, tampak kok ado, batanyo kok indak”. (*)