Makna Pepatah “Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang”

Oleh: Fuji Rahmat Murindo
(Mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas)

Dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang. Bahasa Indonesia: Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Artinya, seseorang harus mampu beradaptasi dengan masyarakat atau tempat di mana ia berada dengan menghargai adat dan budaya tempatan tanpa harus kehilangan jati-dirinya.

Pepatah atau peribahasa dalam budaya Minangkabau merupakan bagian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau. Pepatah mengandung nilai-nilai, kearifan, dan nasihat yang diteruskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Mereka mengungkapkan pemikiran dan pandangan hidup masyarakat Minangkabau dalam bentuk ungkapan yang singkat namun sarat makna.

Pepatah dalam budaya Minangkabau sering mengajarkan nilai-nilai moral, etika, kebijaksanaan, dan pandangan hidup yang diakui dan diterima oleh masyarakat setempat. Mereka dapat mengandung nasihat tentang cara menjalani kehidupan yang baik, bijaksana, dan harmonis, serta menekankan pentingnya agama, adat, kerjasama, dan sikap rendah hati.

Pepatah adalah bentuk ungkapan atau kalimat pendek yang mengandung nilai-nilai, kebijaksanaan, atau nasihat yang diterima secara luas dalam suatu budaya atau masyarakat. Pepatah seringkali diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi dan menjadi bagian penting dari tradisi lisan. Pepatah biasanya dirumuskan dengan bahasa yang singkat, padat, dan mengandung makna yang dalam.

Mereka menggambarkan pengalaman, kearifan, atau pandangan hidup yang diakui dan dihormati oleh masyarakat. Pepatah sering kali menyampaikan pesan moral, etika, kebijaksanaan, atau pengajaran dalam bentuk kalimat yang mudah diingat dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pepatah memiliki peranan penting dalam budaya dan kehidupan sosial. Mereka berfungsi sebagai alat untuk mengkomunikasikan nilai-nilai budaya, mengajarkan hikmah, dan memberikan panduan bagi individu dalam menghadapi situasi tertentu.

Pepatah juga dapat digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan nasihat kepada orang lain, mengingatkan akan kebijaksanaan yang telah ada sejak lama. Meskipun pepatah dapat berasal dari berbagai budaya dan tradisi, mereka mencerminkan kearifan lokal dan keunikan suatu masyarakat tertentu. Dalam setiap budaya, pepatah berfungsi sebagai cerminan dari cara berpikir, nilai-nilai, dan kebijaksanaan yang dipegang oleh masyarakat tersebut.
“Dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang” adalah salah satu falsafah atau pepatah dalam bahasa Minangkabau yang mengandung makna filosofis. Terjemahan bebasnya adalah “Di mana bumi diinjak, di sana langit dijunjung.” Falsafah ini mengajarkan pentingnya menghormati dan menjunjung tinggi tempat asal atau tanah kelahiran.

Baca Juga :  Menakar Peluang Perempuan di Pilkada Tanah Datar

Jika diurai kata perkata, “Bumi” dalam ungkapan ini dapat merujuk pada tanah kelahiran, lingkungan, atau akar budaya. “Langit” mencerminkan tujuan, cita-cita, dan kemuliaan. Dalam konteks Minangkabau. Falsafah ini menegaskan bahwa individu harus senantiasa menghormati dan menghargai akar budaya, warisan leluhur, dan tempat asalnya. Mengingat dan menghormati tanah kelahiran dianggap sebagai dasar yang kuat untuk mencapai kesuksesan dan memperoleh kehormatan di masa depan. Dengan mengakar pada budaya dan nilai-nilai tradisional, seseorang dapat mencapai langit-langit prestasi dan keberhasilan.

Falsafah ini juga mencerminkan sikap rendah hati, menghormati orang lain, serta kesadaran akan pentingnya identitas dan akar budaya dalam menjalani kehidupan. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai sosial dan kearifan lokal yang ditekankan dalam budaya Minangkabau. Falsafah “Dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang” mengajarkan nilai-nilai seperti menghargai tanah air, menghormati leluhur, menjaga dan memelihara identitas budaya, serta mengakui bahwa asal-usul dan akar budaya memiliki peranan penting dalam membentuk jati diri dan tujuan hidup seseorang. (*)