Oleh: M.Yuner, SH,MH.
(Advokat&Direktur LBH Pusako)
Akhir-akhir ini dikenal sebuah lembaga restorative justice sebagai sebuah lembaga untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan dalam hukum pidana. Sesuai Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021 tentang penanganan Tindak Pidana berdasarkan keadilan restorative. Keadilan restorative adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali keadaan semula (Pasal 1 angka 3 Perkapolri No.8 Tahun 2021).
Untuk terpenuhinya keadilan restorative menurut pasal 5 jo Pasal 6 perkapolri No.8 Tahun 2021 harus menuhi syarat formil dan syarat materil yaitu :
- Syarat Formil:
Perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk tindak pidana narkoba;
Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali tindak pidana narkoba; - Syarat Materi;
Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarkat;
Tidak berdampak konflik sosial;
Tidak berpotensi memecah belah bangsa;
Tidak bersifat radikalisme dan saparatisme;
Bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan;
Bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap kemanan Negara, tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang.
Dalam peradilan pidana yang sekarang berjalan, merupakan system peradilan yang menganut keadilan retributive, artinya fokus pada pembuktian kesalahan pelaku tindak pidana dan cenderung mengabaikan kepentingan pemulihan. Namun paradigma seperti itu, kini mulai ditinggalkan. Pemulihan bagi korban kejahatan juga merupakan hal yang utama selain dipidananya pelaku. Kini paradigma retributive bergeser ke paradigma restorative. Konsep keadilan restorative telah digaungkan secara nyata oleh Kapolri Jend.Listyo Sigit Prabowo, M.Si., terbukti dengan diterbitkannya Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
Hukum Pidana berdasarkan sifatnya sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Sehingga dalam perkara ini para pihak yaitu pelapor dan terlapor telah sepakat untuk berdamai. Bahkan pihak pelapor sudah memaafkan terlapor, maka sejatinya keadilan restorative sudah patut dijalankan. Hal ini bertujuan untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. Karena sejatinya tujuan dari hukum bukan hanya tentang kepastian hukum, tapi keadilan dan kemanfaatan.
Sebenarnya jauh sebelum Perkapolri tersebut terbit, keadilan restoratif telah dikenal dalam Islam. Hal ini sesuai dengan ayat dalam al Quran yaitu diatur secara tegas dalam Q.S.al-Hujurat (49) Ayat 10 dan Q.S. Asy-Syuura (42) Ayat 40, (Q.S. Al-Baqarah (2): 178-179) dan(Q.S. Al-Maidah (5): 45), yang memerintahkan perdamaian dan pemaafan. Dengan adanya perdamaian antara korban dan pelaku tersebut dalam rangka mewujudkan keutuhan sebagai tujuan dari hukum.
Dalam perspektif hukum Islam, restorative justice atau keadlian restoratif ini sudah dikenal sejak lama dengan istilah Qisas. Qisas adalah istilah dalam hukum Islam yang berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal) mirip dengan pepatah “utang nyawa dibayar nyawa.” Dalam kasus pembunuhan, hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh, akan tetapi apabila keluarga korban memaafkan pelaku maka hukuman qisas tidak dapat dilaksanakan. Adapun yang menjadi dasar hukum qisas terdapat dalam Al-Qur’an, di antaranya adalah:
• Surah Al-Baqarah ayat 178-179 :
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah ia mengikutinya dengan baik, dan membayar tebusan (diat) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.”
Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah (2): 178-179)
“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim. (Q.S. Al-Maidah (5): 45).
Dalam Hukum Pidana dengan Hukum Islam di Indonesia, konsep restorative justice ini telah lama dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat, seperti masyarakat di Papua, Bali, Toraja, Minangkabau, Kalimantan, Jawa Tengah, dan masyarakat atau komunitas lain yang masih kuat memegang kebudayaan. Dalam praktiknya, penyelesaian perkara itu dilakukan dalam pertemuan atau musyawarah mufakat yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban (jika bersedia), dan orang tua pelaku untuk mencapai sebuah kesepakatan untuk memperbaiki kesalahan.
Chandra, (2014) mengatakan unsur utama dari restorative justice yaitu kerelaan dan partisipasi dari korban, pelaku dan masyarakat dalam melakukan perbaikan atas tindak pidana yang terjadi juga merupakan ciri dari hukum adat. Kemudian Amdani, (2016), Berbagai hukum adat di Indonesia dapat menjadi konsep semacam restorative justice, akan tetapi keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan ke dalam hukum nasional. Hukum adat dapat menyelesaikan perkara yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berperkara.
Munculnya konsep restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan masalah sosial.(Arief & Ambarsari, 2018). Konsep keadilan restoratif atau restorative justice ini termasuk ke dalam alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, yang secara mekanismenya (tata cara peradilan pidana) fokus menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan beberapa pihak seperti pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, masyarakat dan pihak-pihak lainnya yang terkait.(Saptohutomo, 2022).
Proses dialog antara pelaku dan korban itu merupakan dasar dan bagian yang terpenting dari penerapan konsep restorative justice itu sendiri. Melalui dialog inilah, korban bisa memberitahukan sebenarnya apa yang dia rasakan, mengungkapkan harapan bahwa hak dan keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana itu dapat terpenuhi. Pelaku juga diharapkan dapat introspeksi diri, menyadari dan menyesali kesalahan yang telah diperbuatnya serta bertanggung jawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan. Dialog ini mewadahi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam mewujudkan tujuan dari kesepakatan dan memantau pelaksanaannya.(Andriyanti, 2020).
Menurut Braithwaite di dalam Ahmad Faizal Azhar mengatakan bahwa “Indonesia is a nation with wonderful resources of intracultural restorative justice. Traditions of musayawarah (musyawarah) decision by friendly cooperation and deliberation-traverse the archipelago. Adat law at the same time allows for diversity to the point of local criminal laws being written to complement universal national laws”. Artinya indonesia adalah negara dengan sumber daya keadilan restoratif intrakultural yang luar biasa. Tradisi keputusan musyawarah dengan kerja sama yang ramah dan musyawarah melintasi nusantara. Hukum adat pada saat yang sama memungkinkan keragaman sampai titik hukum pidana lokal ditulis untuk melengkapi hukum nasional universal.(Azhar, 2019).
Mengacu pada pendapat Braithwaite di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia telah menerapkan konsep keadilan restorative justice dalam budaya menyelesaikan perkara pidana terlebih di dalam hukum adat yang menekankan pada metode musyawarah. Namun, sebagian besar masyarakat di Indonesia hanya terpaku pada peraturan formal sehingga menyebabkan tidak adanya alternatif penyelesaian seperti konsep restorative justice ini. Padahal konsep restorative justice ini dapat digunakan sebagai alternatif penyelesaian dalam perkara pidana seperti pada perkara pidana yang bersifat ringan, perkara pidana anak, dan perkara pidana perempuan. Sementara di dalam hukum Islam, penerapan retorative justice ini hanya berlaku terhadap jarimah atau perkara pidana berat seperti pembunuhan dan penganiayaan. Hal tersebut berbanding terbalik dengan hukum pidana di Indonesia yang menyatakan penerapan keadilan restoratif ini ditekankan pada perkara pidana ringan, perkara pidana anak, dan perkara pidana perempuan.
Perbedaan dan Persamaan Konsep Restorative Justice
Dalam Hukum Pidana di Indonesia dengan Hukum Islam melihat dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa dari kedua konsep restorative justice itu terdapat perbedaan dan persamaan. Perbedaan kedua konsep Restorative Justice tersebut dapat dilihat dari: pertama, jenis tindak pidananya. Sudah sangat jelas bahwa jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui keadilan alternatif seperti restorative justice di dalam hukum pidana di Indonesia atau lebih dikenal dengan hukum positif adalah tindak pidana yang termasuk dalam kategori ringan seperti mencuri ayam dan tindak pidana ringan yang lainnya, serta tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Sedangkan di dalam hukum Islam, jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui restorative justice atau sering disebut qisas itu hanya terbatas pada tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan saja. Kedua, perbedaan yang dapat kita lihat dari kedua konsep restorative justice ini terlihat dari sistem ganti kerugiannya.
Di dalam hukum pidana di Indonesia ganti rugi yang dapat diberikan kepada korban hanya berupa materi atau sejumlah uang dari pelaku yang sebelumnya sudah ada negosiasi dan mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Sedangkan di dalam hukum Islam, sistem ganti rugi atau sering disebut diat itu biasanya dilakukan dengan cara pelaku dan keluarganya mengumpulkan harta untuk membeli seekor atau beberapa ekor unta sebagai tebusan untuk keluaga korban setelah mendapatkan permaafan dari mereka. Ketentuan diat ini dibedakan antara kasus pembunuhan dengan penganiayaan.
Dalam kasus pembunuhan ‘semi sengaja’, ketentuan diat adalah sebanyak seratus dua puluh ekor kambing, seekor kuda, atau lima ratus dirham, sedangkan dalam kasus pembunuhan sengaja tidak berlaku diat menurut beberapa ulama.
semoga bermanfaat. (*)