Opini  

PANDEMI VIRUS DAN PANDEMI BUDAYA DI MINANGKABAU

Oleh:  Irwan, M.Pd (Dosen IAIN Batusangkar)

Dalam berbagai literatur kita temukan bahwa kata ‘pandemi’ dipakai untuk menggambarkan istilah penyebaran virus yang sudah luas sekali dan hampir merata kemana mana.  Kini kata pandemi itu dipakai untuk menggambarkan betapa hebat dan berbahayanya serangan makhluk yang bernama Corona atau covid-19.  Tidak ada yang bisa melihatnya.  Tidak ada yang bisa menghajarnya terang terangan.  Corona adalah makhluk yang sangat ditakuti di zaman milenial ini meskipun masih ada sebagian masyarakat yang menganggapnya acuh. 

Pandemi di berbagai belahan dunia sudah sejak lama berulang ulang terjadinya.  Ada yang durasi waktunya sekali 100 tahunan, ada yang sekali 75 tahun dan ada juga yang 50 tahun sekali. Tapi mungkin juga ada yang terjadi sesuai dengan masanya saja tanpa ada hitungan tahun yang pasti.  Sebagai contoh, Spanyol pernah dilanda pandemi yang luar biasa yang dikenal dengan Spain Influenza atau wabah Flu Spanyol.  Selama tahun 1918 s/d 1920, jutaan manusia yang mati diserangnya.  Ada juga virus Ebola di Afrika.  Ada juga Anthrax.  Pernah juga ada flu burung atau H5N1.  Itulah contoh beberapa fenomena pandemi yang pernah melanda dunia dan membuat cemas masyarakat yang hidup di zamannya.

Di Indonesia, pernah ada virus cacar yang mewabah sampai ke kampung-kampung setelah beberapa tahun Indonesia merdeka.  Banyak saksi hidup yang masih bisa menuturkan bagaimana sadisnya serangan cacar itu.  Hampir setiap hari ada saja orang yang meninggal dunia.  Ketika seseorang diserang virus cacar, tubuhnya bentol-bentol dan bernanah, gatal dan panasnya luar biasa, kemudian tubuh yang bentol itu meletus.  Tidur harus di tempat yang sejuk atau dingin.  Biasanya di atas daun pisang.  Kalau tidak cepat diobati resikonya kematian.

Baca Juga :  Berkah Ramadhan Ikatan Keluarga Barulak (IKBAR) Berbagi

Di ranah Minang sendiri, ketika cacar berjangkit dahulu, banyak juga korban berjatuhan.  Bagi yang memiliki imun tubuh yang kuat masih bisa bertahan meskipun dengan resiko tubuh berlobang-lobang atau yang disebut capuak.  Muncul pepatah Minang pada waktu itu untuk menggambarkan bagaimana banyaknya orang meninggal dunia.  “indak baranti tambilang kadalam tanah.” Artinya, belum selesai seseorang yang meninggal dunia dikuburkan, jatuh lagi satu, dua, tiga korban meninggal dunia.  Begitulah kehidupan di saat itu.  Kini, di Minangkabau, ada Corona namanya meskipun belum sesadis cacar yang pernah kita dengar itu.  Pandemi Corona ini memang pandemi medis yang sebenarnya.

Disamping pandemi medis, pernah juga ranah Minangkabau dilanda pandemi  budaya.  Resikonya bukan kematian tetapi kenikmatan.  Ketika sesuatu yang baru hadir, banyak yang mencibir karena dianggap bertentangan dengan adat dan budaya yang sudah ada.  Tetapi ketika sudah banyak yang diserang pandemi budaya maka semakin banyak orang yang ingin mencobanya.  Apa saja pandemi budaya yang pernah ada di ranah Minang?

Pertama, pandemi Levis.  Di awal tahun 70 an, ketika model dan bahan celana Levis masuk ke Minangkabau, banyak cibiran dari berbagai kalangan terutama kaum tua dan kaum adat.  Anak muda yang memakai Levis dianggap preman dan disebut kebarat baratan.  Tapi karena kuatnya “wabah” Levis ini, orang yang dulunya mencibir, ikut ikutan memakainya.  Sebutlah itu intelektual, pedagang, petani, alim ulama, laki-laki, perempuan, tua, muda tanpa memandang usia dan kasta ikut memakai Levis.  Bahan dan model Levis yang sejatinya digunakan oleh pekerja tambang di Eldorado, Amerika itu berubah fugsi di Minangkabau.  Ke masjid, ke pesta dan bahkan ke tempat pengajian dan menghadiri undangan serta rapat adatpun sekarang orang sudah memakainya.  Belum teratasi sampai saat ini karena pandemi budaya berpakaian ini mengandung kenikmatan.

Baca Juga :  Peran Media Masa dalam Memerangi Korupsi di Birokrasi Politik

Kedua, pandemi Honda.  Di awal tahun 70 an juga, kendaraan roda dua yang disebut Honda oleh orang Minang mulai masuk kampung.  Kehadirannya menggantikan sepeda ontel dan gerobak.  Harganya memang mahal.  Ketika itu, satu unit Honda Cup th 1973 dihargai sebanyak 6 keping rupiah mas (1 rupiah mas sekarang sekitar 10 juta).  Dikalikan saja berapa harganya waktu itu.  Membelinya tidak bisa kredit tapi harus kontan atau cash.  Kurang seribu rupiah saja, Honda tidak bsia dibawa pulang. Dulu orang berfikir daripada beli Honda mendingan beli sawah.  Tapi sekarang? Jual sawah untuk beli Honda.

Kini, system penjualan sebagian besar harus kredit alias dicicil.  Terbalik memang.  Mengapa? Karena untung bagi penjual akan lebih besar jika dibeli secara kredit.  Ketika kita bawa uang cash ke sebuah dealer atau showroom, mereka terkesan kurang melayani dan bahkan menyarankan untuk kredit saja. Aneh memang.  Itulah dunia bisnis yang tidak bisa diganggu gugat karena diatur oleh kekuatan uang yang luar biasa.

Ketiga, pandemi orgen tunggal.  Jenis instrument musik ini dianggap kurang sesuai dengan tradisi kita.  Nenek moyang kita mengenal seni musik saluang yang mendayu dayu karena banyak mendendangkan lagu lagu kesedihan.  Ada juga salawat dulang atau salawat talam yang dianggap kesenian yang memiliki nilai religius karena banyak bercerita tentang pengajaran agama dan dijadikan media dakwah Islam.  Ada juga rabab pasisia yang mengisahkan sebuah cerita berbingkai yang tak selesai semalam suntuk.  Ketika orgen tunggal mulai hadir di tengah pesta perhelatan, ataupun di tengah acara peresmian suatu gedung, orang mencibir.  Ah, orgen tunggal.  Tidak sesuai dengan budaya kita karena perilaku artisnya banyak yang suka berjingkrak di atas pentas dibalut dengan pakaian yang kurang etis. 

Baca Juga :  Sub Gugus Covid 19 Tanjung Baru Lakukan Pemeriksaan Suhu Tubuh

Yang jelas, apapun produk yang baru hadir ditengah masyarakat awalnya ditentang tetapi kemudian digemari tanpa batas.  Sebutlah televisi, handphone, internet, restoran cepat saji dan ribuan jenis yang lainnya. Itu semua, kata saya, adalah pandemi budaya yang tidak terbendung karena dia menimbulkan kenikmatan, ketagihan, kebanggan dan dianggap modern.  Akan dianggap kuno orang yang tidak mengikutinya.  Itulah wajah kita seperti kata Emha Ainun Najib yang pernah menyebut “Pantat Inul wajah kita semua” ketika goyang ngebor mulai muncul dan diserang habis habisan oleh kaum tua dan ulama.