Opini  

Kasus Pidana Anak: Bagaimana Sanksi yang Tepat Menurut UU SPPA dan Sosiologi Hukum?

Opini Oleh: Suci Syania (Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah UIN Imam Bonjol Padang)

Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang berpotensi menjadi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Belakangan ini masalah kenakalan/kejahatan anak masih menjadi persoalan-persoalan yang aktual di negara-negara berkembang dan menjadi perhatian yang serius dalam sistem peradilan Indonesia.

Tindak Pidana Anak
Kasus–kasus tindak pidana anak yang semakin meningkat belakangan ini menunjukkan pertanyaan bagaimana sanksi yang tepat menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan sosiologi hukum. Contoh kasus pencurian yang terjadi di kota padang di daerah kuranji, pencurian sepeda motor yang dilakukan anak berumur 17 tahun, pencurian sepeda motor yang berhasil ditangkap di kelurahan Sei Sapih Kecamatan Kuranji di salah satu SMK di kota Padang.

Anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Menurut Hakim Pengadilan Anak Sleman , Zulfikar Siregar, tindak pidana anak adalah kejahatan pidana yang menyangkut anak, baik sebagai pelaku ataupun sebagi korban.

Hukum Terkait
Hukum yang mengatur tentang anak yang terlibat hukum adalah Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Seorang anak yang telah melakukan tindak pidana dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dijelaskan dalam pasal 71 UU SPPA yang terdiri dari pidana pokok yakni pidana peringatan, pidana dengan syarat seperti pembinaan yang diluar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga hingga penjara.

Menurut UU SPPA, pendekatan terhadap tindak pidana anak haruslah bersifat rehabilitatif fan restoratif, bukan hanya punitif. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip konvensi hak anak yang menekankan perlunya perlindungan, pemenuhan hak, dan pemulihan bagi anak yang terlibat hukum dan sistem peradilan.

Baca Juga :  Pacah Talua; Ranperda Inisiatif DPRD Tanah Datar Mulai Muncul

Pendekatan Sosiologi Hukum
Menurut Satjipto Raharjo sosiologi hukum adalah pengetahuan umum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya. Dengan menggunakan pandangan-pandangan sosiologi terhadap hukum, kita akan menghilangkan kecenderungan untuk senantiasa mengidentifikasi hukum sebagai undang-undang belaka, sosiologi hukum merupakan teori tentang hubungan antara kaidah hukum dan kenyataan kemasyarakatan.

Konteks anak yang berkonflik dengan sosiologi hukum sangat penting mengkualifikasikan antara pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang dibedakan dengan orang dewasa, hal ini dikarenakan semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan, namun bagi anak-anak merupakan delinguency. Delinguensi merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan dan norma yang dilakukan oleh anak apabila dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindakan kejahatan.

Pertanyaan yang muncul di kemudiaan adalah ‘Bagaimana Sanksi yang tepat untuk kasus pidana anak?’
Dalam penanganan perkara pidana anak, penerapan keadilan restoratif dengan diversi merupakan pilihan yang utama. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dari suatu peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.

Mengacu pada undang-undang No 11 Tahun 2012 diversi wajib diutamakan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan yang dapat memengaruhi tumbuh kembangnya. Namun diversi tidak dapat dilaksanakan pada tindak pidana anak yang diancam pidana penjara dibawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk:
• Perdamaian dengan atau tanpa ganti rugi
• Penyerahan kembali kepada orang tua atau wali
• Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) paling lama tiga bulan
• Pelayanan masyarakat
Jika diversi dalam peradilan anak tidak tercapai, maka proses peradilan pidana anak yang berkonflik dengan hukum tetap dilanjutkan. Dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 terdapat dua jenis hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku pidana anak yaitu tindakan bagi pelaku tindak pidana yang berumur dibawah 14 tahun dan pidana bagi pelaku tindak pidana berumur 14 tahun keatas.

Baca Juga :  Pacu Kudo: Antara Olahraga, Tradisi dan Wisata Halal

Dalam Pasal 71 UU No 11 Tahun 2012 pidana pokok bagi anak yaitu pidana peringatan, pidana dengan syarat, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga dan penjara. Selain pidana pokok juka terdapat pidana tambahan yaitu berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.

Tantangan dan Tindakan yang diperlukan
Program diversi dapat menjadi restoratif justice jika: mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan kepada korban.

Pelaksanaan metode tersebut ditegakkan demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Implementasi ide diversi ini mengalami banyak hambatan baik hambatan internal ataupun eksternal seperti pemahaman yang berbeda dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum dan korban diantara aparat penegak hukum, kurangnya kerja sama antara pihak yang terlibat, dan terbatasnya sarana dan prasarana penanganan anak berhadapan dengan hukum selama proses pengadilan (pra dan pasca putusan pengadilan).

Sehingga untuk mengatasi hambatan tersebut perlunya penegakkan hukum melalui tiga pilar yang saling mempengaruhi yakni memenusia struktur, substansi, dan kultur hukum. Selain itu perlunya sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya diversi dalam sistem peradilan anak sebagai wahana untuk mendidik anak yang sudah terlanjur melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum. (*)

Ket Foto: diambil dari google free access