Oleh:
Rara Dwi Wahyuni (Mahasiswa Pendidikan IPS UPGRISBA)
Vivi Andriani (Mahasiswa Pendidikan IPS UPGRISBA
Mira Sari (Mahasiswa Pendidikan IPS UPGRISBA)
Dr. Inoki Ulma Tiara, S.Sos, M.Pd (Dosen Pendidikan IPS UPGRISBA)
PDRI dikenal dalam peringatan hari Bela Negara. Hari Bela Negara ini dilatarbelakangi oleh peristiwa terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tgl 19 Desember 1948. Pasal yang mengatur tentang peringatan Bela Negara tersebut tercantum pada pasal 30 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak dan ikut serta dalam pertahanan dan keamanan negara.’’
Kisah PDRI dimulai dengan ditawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 19 Desember 1948 sebagai akibat dari agresi Belanda ke II. Kabinet Hatta mengirimkan radiogram yang memberikan mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat. Kemudian apabila Syafruddin gagal, kepada Maramis, Palar, dan Soedarsono diberi pula mandat untuk mendirikan Pemerintah dalam Pengasingan (gouvernement-inexile) (Enar, 1978: 211-212).
Pada hari penyerangan Yogyakarta, kota Bukittinggi juga mendapat serangan yang sama oleh Belanda. Bukittinggi pada waktu itu menjadi benteng kedua setelah Yogyakarta dalam perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia.
Di tengah situasi dan suasana tidak menentu itu, Sjafruddin Prawiranegara melakukan rapat darurat bersama pemimpin sipil dan militer di Bukittinggi, guna mengambil langkah-langkah dan menentukan sikap yang berhubungan dengan perubahan situasi politik dan militer atas penyerangan Belanda secara tiba-tiba, dan mengumumkan secara terbatas tentang pembentukan PDRI.
Kedua peristiwa rapat itu (Yogyakarta dan Bukittinggi) punya tujuan yang sama, yakni penyelamatan republik Sejak Agresi II Belanda (19 Desember 1948). Berbagai serangan demi serangan yang dilakukan oleh Belanda ke kota-kota penting Indonesia menimbulkan kerapuhan dalam hubungan bernegara, yang menyebabkan kekhawatiran bagi masyarakat pada saat itu. Kekhawatiran ini tentu sangat beralasan, karena agresi itu terjadi ketika tentara Indonesia masih dalam kondisi serba kekurangan, baik perbekalan atau pun senjata.
Pemerintah sipil pun tidak mempunyai rencana yang jelas untuk menghadapi situasi tersebut.
Pembentukan PDRI dengan susunan kabinetnya diumumkan tiga hari setelah rapat yang diadakan di Bukittinggi ,tepatnya pada tanggal 22 Desember 1948 di Halaban (Limapuluh Kota), setelah mendapat kepastian bahwa pimpinan Negara RI telah ditawan. Susunan kabinet PDRI yang diberi nama dengan ’’Kabinet Perang’’. Tujuan utama PDRI adalah untuk mengkoordinir pemerintahan/perjuangan dan melanjutkan perjuangan gerilya, memupuk moril perjuangan dan semangat rakyat, sehingga keberlangsungan Republik Indonesia dapat terselamatkan (Simatupang, 1978;210).
Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI bersama wakilnya Teuku Moehammad Hasan memimpin Kabinet di Sumatera Barat dan Komando Militer tertinggi di Jawa oleh Jenderal Soedirman. Dengan bersatunya pemimpin tersebut, dapat mendorong perjuangan diplomasi luar negeri semakin efektif dan tertolaknya kampanye Belanda bahwa Indonesia bubar pada PDRI di Sumatera Barat.
Perjuangan rombongan Syaffrudin Prawiranegara dengan rombongan menuju Bidar Alam dengan medan yang sulit dan dibawah ancaman pesawat tempur Belanda bukanlah hal yang mudah. Rombongan kemudian dibagi menjadi dua kelompok, rombongan Syafruddin menempuh jalur sungai sedangkan Moh.Hasan menempuh jalur darat.
Dua jalur yang akan mereka lewati sangat berbahaya. Jalur sungai dengan melawan arus yang deras dan jalur darat harus menembus rimba belantara dengan segala penghuninya. Bulan Desember yang lembab karena musim hujan menambah sulit perjalanan. Arus sungai menjadi semakin ganas, karena sangat membahayakan rombongan, Syaffrudin beralih melintasi jalan darat berjalan di kampung-kampung sepanjang sungai. Penat badan tak lagi dirasakan, nyawa dipertaruhkan untuk ibu pertiwi tercinta.
Tanggal 7 januari 1949 rombongan Syafruddin akhirnya sampai di Abai Sangir, tiga minggu kemudian tanggal 24 Januari 1949 rombongan melanjutkan perjalanan ke Bidar Alam yang berjarak 12 km dari Abai, karena harus menembus hutan belantara dimana jarak yang singkat tersebut memerlukan waktu sehari penuh (Amrin Imran). Rakyat Bidar Alam menerima mereka dengan penuh kebanggan dan kegembiraan, mereka mau mengorbankan apa saja demi Republik Indoensia, tidak ternilai bantuan moral dan materil yang mereka terima. Sikap Nasionalisme Indonesia tumbuh subur di nagari terpencil ini. Hubungan yang akrab terjalin antara masyarakat dan pemimpin PDRI. Radio menjadi sarana penghubung PDRI menjalankan pemerintahan ataupun terhubung dengan republiken lainnya.
Rombongan PDRI menempati rumah salah satu penduduk yang dikenal sebagai Rumah Jama, rumah yang ditempati oleh Syaffrudin Prawiranegara dijadikan tempat berlangsungnya sidang kabinet PDRI sehingga PDRI masih tegak berdiri. Rumah tersebut mempunyai memori kolektif yang kuat mengenai perjuangan bangsa Indonesia yang mempertahankan kemerdekaannya. Selain rumah tersebut di sana juga terdapat Stasiun Pemancar Radio Auri, Alat Komunikasi PDRI di Bidar Alam Tahun 1949. Semua radio memiliki sandi yang sering diganti agar tidak terjadi kebocoran informasi tentang keberadaan Syafrudin di Bidar Alam. Mereka yang bekerja pada malam hari mulai pukul 22.00 sampai dengan pukul 04.00 pagi. Bekerja untuk mengirim dan menerima berita dalam lingkungan AURI.
Selain itu mereka juga melakukan penyadapan sandi musuh. Stasiun tersebut juga menyiarkan kegiatan PDRI di Bidar Alam kepada pejuang-pejuang lainnya di Sumatra dan Jawa. Selain itu terdapat masjid yang sering didatangi oleh rombongan Syafruddin Prawiranegara yang dikenal sampai sekarang yaitu Masjid Mr. Syaffrudin Prawiranegara. Rombongan Syaffrudin meninggalkan Bidar Alam pada tanggal 22 April 1949. Alasan kepindahannya itu karena pemerintahan Belanda sudah mulai mengetahui keberadaan Syaffrudin. Dan masyarakat Bidar alam membangun Tugu Peringatan Basis Pemerintah Darurat Republik Indonesia untuk mengenang perjalanan PDRI mencapai kemerdekaan.
Tugu tersebut didirikan pada tahun 1949 oleh masyarakat Bidar Alam.
Nilai-nilai pendidikan yang bisa diambil dari kisah PDRI di Bidar Alam adalah kita sebagai masyarakat Republik Indonesia yang sudah menikmati kemerdekaan saat ini tentunya harus menghargai perjuangan pahlawan bangsa ini dengan menanamkan rasa patriotisme dan nasionalisme dalam diri kita masing-masing dengan menjaga serta merawat situs-situs sejarah yang tinggalkan untuk mengenang perjuangan mereka. (*)