Oleh: Dhimas Wahyu Pradana (Mahasiswa S2 PPKn Universitas Negeri Padang)
Dalam kajian sosiokultural, institusi tradisional memegang peran penting dalam pembentukan identitas dan karakter suatu masyarakat. Di Minangkabau, tiga institusi lokal—surau, lapau, dan rantau— pernah memainkan fungsi strategis dalam membentuk pemuda yang berintegritas, mandiri, dan berwawasan luas.
Sayangnya di era disrupsi digital saat ini, nilai-nilai yang terkandung dalam ketiganya mengalami pelemahan signifikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana posisi surau, lapau, dan rantau dalam membentuk modal sosial generasi muda Minangkabau kontemporer?
Surau tidak sekadar tempat ibadah, melainkan juga institusi pendidikan informal (nonformal) yang berfungsi sebagai pusat transmisi nilai agama, adat, dan kearifan lokal. Surau di Minangkabau menjadi tempat pembentukan karakter kolektif berbasis nilai Islam dan adat basandi syarak.
Era urbanisasi dan sekularisasi saat ini menyebabkan transformasi fungsi surau menjadi lebih simbolik daripada substantif. Akibatnya, peranannya dalam membentuk karakter dan identitas sosial generasi muda semakin tereduksi oleh pengaruh urbanisasi dan globalisasi
Lapau, sebagai ruang diskursif komunitas, merepresentasikan arena deliberatif yang memungkinkan proses demokratis berlangsung secara kultural.
Di sini, terjadi pertukaran gagasan dan penyemaian nilai sopan santun serta kemampuan berargumentasi. Bourdieu (1986) menyebut ruang semacam ini sebagai “arena habitus”—di mana nilai-nilai sosial direproduksi melalui praktik sehari-hari. Namun, media sosial hari ini menggantikan fungsi lapau secara semu, dengan komunikasi yang cenderung superficial dan fragmentatif.
Rantau merupakan instrumen mobilitas sosial dan ekonomi, namun lebih dari itu, ia adalah mekanisme cultural rite of passage yang mencetak ketangguhan dan kemampuan adaptif. Tradisi merantau bukan semata karena dorongan ekonomi, melainkan merupakan bagian dari sistem nilai Minangkabau yang menekankan kemandirian dan kepercayaan diri.
Akan tetapi, ketika orientasi merantau berubah menjadi sekadar survival ekonomi, nilai-nilai ini tereduksi secara drastis.
Melalui kacamata modal sosial (social capital), ketiga institusi ini dulunya menciptakan jaringan kepercayaan (trust), norma, dan nilai bersama yang mendukung kohesi sosial. Ketika nilai-nilai ini mulai luntur, kita melihat pula munculnya berbagai gejala krisis karakter, alienasi sosial, dan lemahnya identitas budaya pada pemuda Minangkabau.
Reaktualisasi surau, lapau, dan rantau bukan berarti menghidupkan romantisme masa lalu, melainkan membangun kembali institusi tersebut secara kontekstual—sehingga tetap relevan dalam dunia digital. Ini dapat dilakukan melalui pendekatan transformatif dalam pendidikan, penguatan komunitas lokal, serta pembentukan ekosistem digital yang tetap bersandar pada nilai-nilai kultural Minang.
Pemuda Minangkabau di abad ke-21 tidak hanya membutuhkan keterampilan teknologis, tetapi juga akar budaya yang kokoh. Surau, lapau, dan rantau adalah warisan sosiokultural yang, jika direvitalisasi secara bijak, dapat menjadi fondasi karakter dan identitas kolektif yang relevan untuk menjawab tantangan global.
Revitalisasi ini memerlukan pendekatan yang mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan perkembangan zaman, sehingga tetap relevan dalam dunia digital yang terus berkembang. Generasi muda Minangkabau dapat mengaplikasikan kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari tanpa kehilangan identitas budaya mereka di tengah arus globalisasi.
Daftar Pustaka
Bourdieu, P. (1986). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge: Harvard University Press.
Sumber gambar: desa pusat damai; diakses dari google free access