Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
(Advokat & Pengamat Sosial Politik)
Tulisan kali ini penulis awali dengan pepatah minang yang sarat makna: “Bacakak gajah samo gajah, samuik mati tapijak pijak”. Artinya, jika terjadi konflik antar orang besar (pimpinan), masyarakat badarai menanggung akibatnya. ASN mungkin terbelah, blok antar kelompok semakin tajam, persepsi masyarakat beragam, dan roda pemerintahan tak berjalan sebagaimana mestinya!
Memasuki bulan April 2024, sangat dirasakan dinamika politik Tanah Datar semakin hangat dan semakin menunjukkan kentalnya nuansa “perseteruan” antara Bupati Eka Putra, SE, MM dengan Wakil Bupati Richi Aprian, SH, MH.
Indikator kentalnya perseteruan antara Eka Putra dengan Richi Aprian tersebut dapat dibaca atau disikapi publik sebagai berikut:
- Di masa bulan Ramadhan yang seharusnya bisa menjadi ajang cooling down dan saling maaf memaafkan, namun tidak terlihat kedekatan emosional dan kontak komunikasi head to head diantara kedua pejabat tersebut.
- Masing masing pejabat baik Eka Putra maupun Richi Aprian saling memasang baliho ucapan Ramadhan secara sendiri sendiri. Kesan ucapan Ramadhan resmi (official) Pemerintah Kabupaten Tanah Datar hanya dengan memasang photo profil Bupati dan Wakilnya diabaikan.
- Intensitas dan penetrasi komunikasi massa di dunia maya baik melalui jaringan medsos WA, Facebook dll terbaca semakin rutin dan semakin bergejolak. Masing masing pendukung saling klaim dan saling menjual serta saling “serang”.
Nah, apa yang bisa kita rangkum dari fenomena semakin dinamisnya lalu lintas antar kubu di dunia maya tersebut? Berikut penulis mencoba menyajikan artikel atas plus minus perseteruan Eka Putra dengan Richi Aprian tersebut dari perspektif penulis dan masukan dari beragam sumber.
Dari rekapitulasi yang penulis rangkum, terdapat kesamaan antar kubu Eka Putra dengan kubu Richi yaitu sama sama menggunakan platform media sosial untuk menyalurkan informasi kepada anggota kubunya, baik berupa WA group (group tertutup) dll, dan sama sama belum membentuk / belum memiliki tim sukses yang terdaftar.
Perbedaan diantara kedua kubu yang bisa dirangkum dari lalu lintas di WA Group Umum adalah sebagai berikut:
- Pendukung kubu Eka Putra cenderung reaktif dan bersikap ofensif, tutur katanya cenderung kasar dan terindikasikan pelecehan kepada lawan diskusi. Sementara kubu Richi Aprian lebih terkesan kalem, santun dan bisa menahan diri walau ada satu dua orang yang “pantang di ago”.
- Kubu Richi Aprian sudah membuat jaringan dan terkesan sedikit terkoordinir dengan membuat simpul bernama Dunsanak Richi Aprian. Sementara di kubu Eka Putra belum terlihat sejenis simpul yang sama. Bisa jadi kubu Richi Aprian sudah siap dari awal menggelontorkan dana untuk membesarkan simpul relawan Dunsanak Richi Aprian tersebut. Sementara kubu Eka Putra masih pasif dan diperkirakan akan langsung start setelah dapat pasangan bakal calon wakil bupati untuk segera disosialisasikan secepatnya. Bisa juga karena keterbatasan keuangan, maka kubu Eka Putra lebih selektif untuk bergerak secara terorganisir.
- Karena belum teroganisir dengan baik, kubu pendukung Eka Putra terkesan bergerak secara sporadis walau terbaca juga ada kesamaan narasi yang dikeluarkan, setidaknya ada 1 atau 2 orang yang “mengatur” lalu lintas narasi kubu di WA group. Ciri khas pendukung kubu Eka Putra adalah dengan menyasar orang orang yang kritis membahas kinerja Bupati Eka Putra seraya mencoba mengalihkan topik diskusi.
- Pendukung kubu Richi Aprian yang tergabung dalam relawan Dunsanak Richi Aprian terkesan banyak berdiam diri (pasif) dan hanya sebagai penyimak yang membaca lalu lintas komunikasi di WAG WAG. Bisa jadi karena “takut ditandoi” atau bisa jadi karena kekurangan pejuang pejuang online atau bisa jadi untuk menyimpan amunisi mereka nantinya. Hanya terbaca simpatisan Richi Aprian yang independen yang berani bersuara menyampaikan pandangannya di dunia maya.
- Secara umum, mayoritas pendukung Eka Putra yang berani bersuara tidak memiliki photo profil diri. Makna lainnya banyak dari mereka yang menyembunyikan identitas dirinya. Bisa jadi karena takut terindentifikasi, atau bisa jadi karena 1 orang memegang beberapa akun / nomor. Namun yang pasti mereka tersebut bisa digolongkan kepada kaum yang tidak gentleman.
- Terbaca juga bahwa mayoritas pendukung kubu Eka Putra cenderung tidak kritis dengan isu yang beredar, baik itu dihembuskan oleh elit politik maupun oleh orang kebanyakan. Mereka terkesan riang gembira membahas isu yang belum teruji kebenarannya manakala hal itu tersebut menyangkut rival Eka Putra nantinya. Contoh paling segar adalah saat diapungkan isu bahwa ada gejolak di internal partai DPD NasDem dan isu ada kandidat lain selain Richi Aprian yang akan turut berkompetisi dan dikaitkan kaitkan dengan upaya mengambil posisi Ketua DPD Partai NasDem Tanah Datar. Bukti mereka turut mendukung adanya perpecahan di internal partai NasDem itu adalah dengan secara rutin menshare photo photo baliho H. Suherman di beranda WAG WAG. Tentu saja tingkah polah riang gembira para pendukung Eka Putra seperti itu menjadi “catatan tersendiri” bagi para pengamat politik Tanah Datar.
- Walau didominasi oleh pendukung yang kurang analisa intelektualnya, akan tetapi di kubu Eka Putra sudah ada setidaknya 1 orang yang bisa menyalurkan aspirasinya lewat artikel yang masuk kategori produk jurnalistik. Setidaknya itu kelebihan saat ini karena di kubu pendukung Richi Aprian belum terlihat pendukung yang punya kompetensi seperti itu.
Jika netizen cukup jeli, sebenarnya ada kubu lain selain 2 kubu diatas, kubu tersebut bisa dikategori dengan sebutan Kubu Independen, kubu yang terdiri dari orang orang yang berdiri sendiri menentukan sikap tanpa terafiliasi dengan kubu Eka Putra ataupun dengan kubu Richi Aprian. Juga ada sebutan Kubu Silent Mayority yang disebut sebagai kubu yang diam diam menaruh simpati kepada salah seorang tokoh namun tidak berani menonjolkan diri secara terbuka kepada publik. Tentu saja hal itu dilakukan dengan pertimbangan mereka sendiri. Namun demikian, kubu Silent Majority ini masih lebih baik daripada muncul individu yang berani bicara tapi takut menunjukkan identitas dirinya. Bisa bisa dianggap sebagai kubu pengecut yang merusak tatanan demokrasi.
Nah, sekarang penulis memberikan pandangan tentang siapa yang diuntungkan dan dirugikan dengan terjadinya perseteruan elit politik antara Eka Putra dengan Richi Aprian ini. Tentu saja itu pandangan dari perspektif penulis. Jika ada yang keberatan, maka penulis senang hati membaca artikel penyeimbang dari pihak lain. Konter artikel seperti itu sangat bagus untuk memperkaya wawasan netizen Luhak Nan Tuo baik di perantauan maupun di Salingka Tanah Datar.
Penulis memandang bahwa dengan adanya perseteruan tersebut yang tidak kunjung usai dan terkesan “sengaja dipelihara”, tentu akan merugikan reputasi Eka Putra karena sebagai pemimpin tertinggi tidak mampu merangkul partner nya sendiri.
“Tentu bisa dibaca publik bahwa kondisi itu mungkin memang sengaja diciptakan oleh orang orang selingkaran Bupati agar nyaman mencapai tujuan tanpa intervensi Wakil Bupati, atau mungkin Bupati itu sendiri tidak kuasa menangani mitranya sendiri. Ba a lo caro ka tandem jo nan baru kalo indak mambari contoh elok? Ragu orang ka marapek nantinyo” gumam Wan Labai manggut manggut seraya melanjutkan artikelnya selepas tarawih.
Selain itu dengan maraknya para pendukung Eka Putra yang menarasikan Richi Aprian bakal disingkirkan dari jabatan Ketua DPD Partai NAsDem Tanah Datar oleh internal partai itu sendiri dan dengan turut mendorong H. Suherman menjadi bakal calon bupati Tanah Datar dari Partai NasDem seolah olah sudah mengisyaratkan dukungan untuk “mengamputasi” Richi Aprian. Dari kacamata politik, upaya tersebut dapat dianggap langkah untuk “mematikan” rival politik potensialnya.
Akan tetapi, pengamat politik lainnya justru memandang bahwa upaya “menenggelamkan” Richi Aprian ini adalah bentuk kekhawatiran psikologis kubu Eka Putra akan ancaman kalah bertarung di Pilkada 2024 nanti. Bisa jadi prinsipnya jika head to head nanti menghabiskan energi dan finansial, mendingan momentum saat ini dipakai untuk menghabisi lawan politik.
Jadi siapa yang salah dalam kondisi ini? Penulis berpendapat bahwa keduanya salah, baik Eka Putra maupun Richi Aprian karena tidak mampu mempertahankan keutuhan Era Baru. Siapa yang paling salah? Menurut penulis adalah para pembisik pemecah keharmonisan Eka – Richi. Tentu saja yang rugi adalah Eka Putra karena dipandang tidak mampu merangkul wakilnya yang sudah dianggap adik sendiri. Akibatnya terkorban lah kelancaran roda pemerintahan dengan terjadinya gap gap di internal Pemerintahan Kabupaten Tanah Datar. Oleh karena itu, sudah pasti masyarakat Tanah Datar terkena imbas akibat perseteruan tersebut.
Menutup tulisan kali ini, penulis mengingatkan kedua pemimpin dengan pepatah minang yang berbunyi: “Bajua bamurah murah, batimbang jawab ditanyoi. Panghulu kalau lah pacah, adaik nan indak baguno lai”. Maknanya, kalau pemimpin dalam suatu masyarakat telah pecah, alamat aturan tidak akan jalan, adatpun akan hancur.
Kalau kita pedomani mamangan lama di Minangkabau, jika terjadi suatu perseteruan antara adik kakak,, bukalah kitab, akan bertemu: Sasalah salah sapek, salah juo udang, Sasalah salah nan ketek, salah juo nan gadang. Betulkah? Boleh setuju, boleh tidak!
Salam Perubahan