Opini  

Pengukuran Ulang Lahan Sengketa: Pertunjukan Arogansi Kekuasaan Bupati Tanah Datar atau Karena Aturan?

Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
(Advokat & Pengamat Sosial Politik)

“Rajo Alim, Rajo Disambah. Rajo Lalim (Zalim), Rajo Disanggah”. Begitulah pepatah Minang menggambarkan perilaku seorang pemimpin dan reaksi rakyat kepada pemimpinnya atas tindak tanduk yang dilakukannya kepada rakyatnya sendiri.

Publik Tanah Datar dikejutkan dengan peristiwa pengukuran ulang lahan SDN 20 Baringin dan lahan SMPN 2 Batusangkar yang telah menjadi sengketa antara pemilik lahan Purnama Olivvita dengan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dibawah kepemimpinan Bupati Eka Putra, SE, MM.

Perlu diketahui masyarakat bahwa lahan dan bangunan sekolah adalah 2 buah objek hukum yang berbeda. Lahan tersebut adalah milik warga yang dahulunya dipinjam-pakaikan kepada Dinas Pendidikan untuk keperluan sekolah, sedangkan bangunan sekolah (asset gedung) adalah milik Pemerintah Kab. Tanah Datar c/q Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Seiring berjalan waktu, ternyata diam diam lahan milik warga tersebut akan disertifikatkan oleh Pemkab Tanah Datar tanpa minta ijin kepada pemilik lahan.

Pengukuran ulang dilakukan pada hari Senin siang, 22 April 2024 oleh petugas BPN Tanah Datar. Tak tanggung tanggung, pengukuran ulang melibatkan Kabag Ops Polres Tanah Datar, AKP Nofri, SH, MH dan jajarannya serta Kapolsek Lima Kaum, IPTU Elfison, SH dan jajarannya. Juga terlihat Provost dan Intel serta anggota Pol PP Tanah Datar.

Sebuah pengawalan yang dipandang “terlalu berlebihan’ dan terkesan “mempertunjukkan arogansi kekuasaan” kepada keluarga klien dan kepada publik Tanah Datar. Kenapa? Apa kompetensi Provost dan Intel dilibatkan pada pengukuran tersebut? Apalagi jika aparat keamanan membawa senjata api? Apakah begitu sensitif nya isu sengketa kepemilikan lahan tersebut? Kenapa harus melibatkan peran Polres, Polsek, Provost dan Intel segala? Sah sah saja jika ada permintaan dari pihak terkait, jika tidak?

Penulis bertanya, apakah ada “konspirasi” antara Polres Tanah Datar dan Pemkab Tanah Datar? Atau karena memang proses pengukuran lahan seperti itu? Kenapa untuk lahan yang diklaim Pemkab Tanah Datar itu sampai harus diturunkan personil Polres? Jika memang ada permintaan, mungkin bisa dimaklumi.

Baca Juga :  Benarkah Pimpinan DPRD Tanah Datar Terkesan Enggan Memberikan Data Publik?

Agaknya, menempatkan personil yang berlebihan tersebut dalam pengukuran tanah untuk kepentingan Pemerintah Daerah Tanah Datar telah mengingatkan publik atas peristiwa pengukuran lahan di Desa Wadas, kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah yang viral tersebut. Aparat keamanan terpaksa diturunkan dengan alasan mengamankan proses pengukuran. Sebuah alasan klise! Atau hanya sekedar “unjuk kekuatan” (show of force) kepada pihak lain?

“Atau jangan jangan ada upaya Pemkab Tanah Datar dibawah kepemimpinan Eka Putra untuk membenturkan warga serta keluarga pemilik lahan dengan aparat? Wallahualam” gumam Wan Labai mengamati fenomena penempatan personil kepolisian dan aparat lainnya yang dipandang berlebihan ini.

Sampai artikel ini di rilispun Bupati Eka Putra juga memilih bungkam. Sebuah pilihan sikap yang dipandang tidak professional yang menghindari keterbukaan informasi publik. Juga dipandang sebuah sikap yang bertolak belakang dengan pencitraan seorang Bupati yang selama ini di branding sebagai sosok bupati yang peduli warga. Akan tetapi dalam masalah ini justru memilih menutup diri yang justru semakin menambah kecurigaan warga, ada kepentingan apa dibalik sikap Bupati yang “katanya” mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat Tanah Datar tapi masyarakatnya sendiri justru bersengketa dengan Pemkab Tanah Datar c/q Bupati Eka Putra?

Menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Tanah Datar bilamana warga masyarakat berhadapan dengan penguasa daerah / Pemkab Tanah Datar dibawah kepemimpinan Bupati Eka Putra dengan cara mengedepankan pendekatan kekuasaan seolah olah akan membenturkan warga masyarakat dengan aparat kepolisian.

Metode pendekatan kekuasaan jarang terjadi di jaman pemerintahan Bupati Bupati sebelumnya, karena para bupati sebelumnya mayoritas lebih memilih pendekatan diplomasi dan kekeluargaan sehingga tidak timbul gejolak politik. Saat seorang bupati pernah mengabaikan metode diplomasi dan pendekatan kekeluargaan, maka berakibat adanya penolakan warga dan berkurang drastis kepercayaan masyarakat sehingga GAGAL untuk duduk di periode kedua.

Agaknya kejadian yang sama bisa terjadi pada Bupati Eka Putra yang akan maju ke periode ke 2 karena melawan keluarga besar warganya sendiri. Efek berganda (multiplier effect) atas sikap Bupati Eka Putra untuk memilih melawan keluarga besar warganya sendiri dalam sengketa pertanahan (konflik agraria) ketimbang melakukan upaya diplomasi dan pendekatan kekeluargaan, kelak akan berbuah pada turunnya popularitas dan antipati publik semakin meningkat kepada sosok Bupati Eka Putra.

Baca Juga :  Randang Pensi; Kuliner Tradisional Nagari Batu Taba, Tanah Datar

“Rakyatnyo sendiri inyo lawan, ba a lo ka dipiliah nanti, bisa bisa rakyat di nagari nagari lain dan di kecamatan kecamatan lain diperlakukan pulo taka itu karena diduga masih banyak lahan sekolah SD dan SMP yang belum bersertifikat se Tanah Datar ko” gumam Wan Labai seraya menghisap kretek merahnya.

Menghadirkan personil keamanan untuk melakukan pengukuran lahan di lahan yang sedang bersengketa untuk kepentingan Pemerintah Daerah Tanah Datar dibawah kepemimpinan Bupati Eka Putra dapat dipandang sebuah langkah yang tidak beralasan dan tidak bijak sama sekali.

Jika ada lahan sengketa, maka pendekatan hukumlah yang harus dikedepankan terlebih dahulu, bukan pendekatan kekuasaan yang terkesan menjadi ajang unjuk kekuatan (show of force) kepada masyarakat. Apa Pemkab Tanah Datar melalui Bupati Eka Putra ingin menebar ketakutan kepada masyarakatnya? Itu yang harus diklarifikasi!

Dari hasil wawancara penulis dengan Kepala Seksi Survei dan Pemetaan Kantor BPN Tanah Datar, Noferi, SH., menyebutkan bahwa permintaan pengukuran lahan dan pengawalan oleh personil kepolisian berasal dari Pemkab Tanah Datar.

Maka jelas bahwa permintaan pengawalan bukan berasal dari Kantor BPN Tanah Datar. Makna lainnya bahwa tentu tindakan tersebut dengan sepengetahuan Bupati Eka Putra. Kalaupun Bupati Eka Putra tidak mengakui memberi perintah permintaan pengawalan personil kepolisian, setidaknya Bupati Eka Putra pasti diberikan tembusan oleh anak buah. Apa Bupati Eka Putra mau cuci tangan dalam hal ini? Silahkan saja diklarifikasi oleh Bupati Eka Putra.

Setidaknya dengan sikap Pemkab Tanah Datar meminta kehadiran personil kepolisian untuk melakukan pengukuran ulang lahan bersengketa untuk kepentingan Pemkab Tanah Datar itu saja sudah menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Tanah Datar, baik penegakan hukum positif maupun penegakan hukum adat. Kenapa tidak, karena upaya melengkapi dokumen untuk persyaratan pensertifikatan lahan tersebut diduga kuat cacat hukum, diduga melabrak marwah hukum adat masyarakat Pagaruyung karena didaftarkan dokumennya melalui Nagari Baringin.

Baca Juga :  Menganalisa Gelar Perkara Terkait Laporan Pejabat di Polres Tanah Datar yang Berpotensi Cacat Hukum

“Apo pejabat Pemkab Tanah Datar tidak bisa membedakan wilayah administasi pemerintahan dengan wilayah ulayat masyarakat hukum adat? Apa tidak paham dengan sejarah lahan tersebut? Kalau paham, maka patut diduga para pejabat tersebut sengaja tidak menghargai (mengangkangi) hukum adat nagari lain. Makna lainnya sengaja tidak menganggap eksistensi masyarakat adat lainnya” gumam Wan Labai mengamati fenomena kenapa Pemkab Tanah Datar dibawah kepemimpinan Bupati Eka Putra ini begitu ngotot ingin mensertifikatkan lahan milik orang lain dengan klaim sepihak dari pejabat Pemkab itu sendiri.

Maka masyarakat Tanah Datar harus hati hati dengan lahan milik masyarakat yang pernah dipinjamkan kepada Pemkab Tanah Datar untuk keperluan fasilitas pendidikan atau fasilitas lainnya. Jangan sampai nanti nilai asset Pemkab Tanah Datar bertambah (terbaca pada laporan APBD / LKPJ Bupati), tapi perolehannya secara diam diam karena tidak ada pemindahan hak atas lahan tersebut secara tertulis dan sah menurut hukum, baik berupa pemberian Hibah, penjualan, pemberian Hak Pakai saja, atau dengan cara lain.

Oleh karena itu, jika pemimpin tidak transparan kepada masyarakatnya dan diduga “mengelabui” masyarakatnya sendiri, maka berlaku pepatah “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya”. Dan bila diketahui seorang pemimpin berlaku lalim kepada masyarakatnya, maka berlaku lah pepatah “Raja Alim, Raja Disembah. Raja Lalim (Zalim), Raja Disanggah”.

Semoga 2 pepatah tersebut tidak berlaku bagi Bupati Eka Putra yang dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang peduli pada rakyatnya, namun jika pencitraan tersebut bertolak belakang dengan fakta di lapangan, tentu harus siap siap kehilangan kepercayaan masyarakat dan berakhir di 1 periode ini saja.

Salam Perubahan