Opini  

Lockdown Dalam Konteks Budaya Minangkabau


Oleh: Irwan, M.Pd (Dosen IAIN Batusangkar)

Salah satu kosakata bahasa Inggris yang sangat akrab di telinga kita sekarang adalah lockdown. Hampir seluruh orang Indonesia saat ini sering mendengar dan mungkin ikut mengucapkan istilah lockdown tersebut meskipun banyak yang ragu apa arti sebenarnya lockdown. Yang jelas, ketika orang bicara lockdown, masyarakat bicara lockdown juga. Tidak sedikit pula masyarakat yang salah mengucapkannya maupun menulisnya. Ada yang menulis laukdaun, lokdon, slowdown dan lain sebagainya.

Populernya istilah lockdown ini disebabkan oleh mewabahnya virus Corona atau yang dikenal dengan istilah Covid-19 (Corona Virus Disaster- tahun 2019) yang diduga berawal dari kota Wuhan di Cina. Sampai kini virus Corona-19 ini sudah merambah ke berbagai negara di dunia dan ribuan orang sudah mati karenanya. Indonesia adalah salah satu negara yang terkena pandemi virus Corona ini.

Sebenarnya istilah lockdown yang berasal dari kata bahasa Inggris tersebut memiliki pengertian secara etimologi “terkunci, dikunci, dikurung.” Dalam kamus bahasa Inggris istilah lockdown ini secara umum digunakan untuk mengurung kembali para narapidana kedalam sel masing-masing bagi yang membuat kerusuhan atau kekacauan di dalam penjara. Namun dalam ilmu sosial istilah lockdown dipakai untuk membatasi gerakan masyarakat karena adanya suatu peristiwa yang membahayakan seperti wabah, radiasi dan bencana lainnya yang bisa ditularkan melalui interaksi manusia.

Istilah lockdown tidak hanya dikenal dalam kebudayaan dan peradaban Barat seperti saat ini. Dalam khazanah hukum dan budaya Minangkabau istilah lockdown juga ada tetapi beda konteks dan aplikasinya. Lockdown dalam bahasa Minangkabau bisa diartikan “dikunci arek, diambek, dipakok, disaok rapek, dipasak dan lain sebagainya.” Istilah-istilah ini sangat familiar dalam telinga orang Minang.

Baca Juga :  Living with COVID-19: Menguji Kualitas Calon Kepala Daerah

Istilah dalam bahasa Minangkabau tersebut sering digunakan dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, kata “dikunci arek” digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah terkunci dengan erat sehingga tidak bisa dibuka lagi. “Kunci” tidak hanya bermakna harfiah “kunci” saja tetapi maksudnya adalah sesuatu yang sudah dibatasi, ditentukan sesuai syarat serta menjadi sebuah keputusan bersama dan sulit untuk diganggu gugat.

Sedangkan istilah “diambek dan dipakok” biasanya untuk menutup suatu akses baik orang, binatang maupun benda mati. Misalnya, aia ka sawahnyo lah dipakok (indo: air yang akan mengalir ke sawahnya sudah ditutup sehingga tidak bisa mengalir lagi). Sedangkan kata “diambek” yang bermakna dihambat di dalam bahasa Indonesia sering digunakan untuk membatasi jalan, akses dan jangkauan seseorang terhadap sekelompok masyarakat lainnya. Misalnya: jalan ka musajik diambek dek urang punyo tanah. Artinya, jalan yang menuju ke masjid ditutup oleh pemilik tanah sehingga orang yang biasanya melalui jalan tersebut tidak bisa lagi melalui jalan itu.

Ada konteks yang lebih ekstrem lagi dalam budaya Minangkabau berkaitan dengan istilah lockdown ini yaitu “dikucilkan” atau ditutup aksesnya oleh masyarakat karena melanggar ketentuan adat yang sangat berat. Istilah ini disebut “dipancian, diusia dari nagari, diasiangan tampeknyo ka nan langang.” (dikucilkan, diusir dari kampung, diasingkan ke tempat yang sepi). Fenomena seperti ini sering terjadi dalam masyarakat Minang karena itulah salah satu bentuk hukuman sosial yang paling berat karena melakukan suatu kesalahan yang sangat besar terhadap aturan adat yang berlaku. Misalnya, nikah/kawin sesuku, menghina pimpinan adat (datuk), dsb.

Jika ini terjadi, masyarakat satu kampung tidak lagi mengajak orang yang membuat kesalahan itu termasuk kaumnya tersebut untuk bermusyarah. Ketika ada hajatan tidak boleh diundang. Ketika ada acara mendo’a atau syukuran tidak boleh dihadiri. Ketika sakit atau ditimpa bencana sekalipun tidak boleh dibantu. Yang boleh dihadiri hanyalah ketika berduka atau kematian jika ada anggota kelompok yang dikucilkan tersebut meninggal dunia.

Baca Juga :  Bentuk Protes Tenaga Medis Buntut Pemerkosaan Dokter Magang di India

Meskipun secara kehidupan sosial sudah dikucilkan namun ketika sudah meninggal dunia maka habislah hukum untuk yang berbuat kesalahan itu. Tetapi di sebagian daerah masih ada hukum itu yang diterapkan secara kolektif. Meskipun yang berbuat sudah meninggal dunia namun anggota satu kaum atau satu suku masih harus menanggung akibat perbuatan yang dilakukan oleh anggota kaumnya. Kadang-kadang, hukum adat memang agak kejam dari hukum agama sekalipun.

Jadi, istilah lockdown ini selalu diawali oleh sesuatu yang tidak baik; apakah virus, kerusuhan, kekacauan, radiasi dan pelanggaran hukum adat. Khusus di Minangkabau, tentu harus ada upaya untuk menyesuaikan pelaksaanaan hukum adat tersebut dengan konteks zaman sekarang baik dari segi pandangan agama, ideologi negara yaitu Pancasila serta Hak Azazi Manusia (HAM). Jika masih ada hukum adat ataupun sangsi adat yang tidak relevan lagi, mengapa tidak kita amandemen demi kehidupan manusia yang bermartabat? Haruskah masyarakat di lockdown?