Kondisi Terkini Koleksi Manuskrip Surau Bintungan Tinggi

Oleh: Pramono
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
dan Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA)
Komisariat Sumatera Barat)

Belum lama ini, saya berkesempatan kembali mengunjungi Surau Bintungan Tinggi yang terletak di Nagari Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman. Kunjungan pertama saya ke surau ini terjadi pada tahun 2007 bersama tim untuk pendigitalan manuskrip yang tersimpan di sana. Program digitalisasi ini disponsori oleh the British Library’s Endangered Archives Programme. Kegiatan tersebut berhasil mendeskripsikan dan mendigitalkan 36 naskah, terdiri dari 2 naskah Alquran, 7 naskah tafsir, 7 naskah nahu saraf, 3 naskah tauhid, 3 naskah tasawuf, 11 naskah hadis, dan 3 naskah kumpulan beberapa teks.

Kunjungan kali ini bertujuan mengantar Fauzan Roslee, seorang mahasiswa doktoral dari School of Languages, Cultures and Linguistics (SOAS), University of London. Ia tengah melakukan penelitian lapangan untuk keperluan disertasi di lima surau tarekat di Minangkabau. Salah satu diantaranya adalah Surau Bintungan Tinggi.

Penelitiannya sangat terkait dengan koleksi naskah di Surau Bintungan Tinggi, di mana Fauzan ingin mengungkap dinamika penggunaan naskah-naskah tasawuf di surau-surau tarekat dalam sistem pendidikan surau pada masa lampau.
Penelitian ini sangat penting dan diharapkan hasilnya dapat menambah khazanah studi tentang dinamika surau sebagai center for excellence ‘pusat kecendekiaan’ pada masa lampau.

Riset berbasis khazanah manuskrip masih tergolong langka dilakukan oleh para sarjana, dan kehadiran naskah digital sangat membantu riset-riset semacam ini. Lantas, bagaimana kondisi manuskrip secara fisik? Inilah yang coba saya informasikan dalam tulisan singkat ini.

Kesempatan kunjungan kali ini sekaligus saya manfaatkan untuk mengidentifikasi kondisi fisik 36 manuskrip yang ada. Namun, sebelum itu saya akan menjelaskan kepada khalayak pembaca tentang signifikansi Surau Bintungan Tinggi.

Baca Juga :  Resensi Buku: Bahasa Inggris Berbasis Budaya Lokal

Surau yang Masyhur pada Masanya
Surau Bintungan Tinggi merupakan hasil keberhasilan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan. Syekh Abdurrahman, atau Syekh Bintungan Tinggi, adalah salah seorang khalifah tersohor dari Syekh Burhanuddin Ulakan yang menjadikan Surau Bintungan Tinggi terkenal pada masanya. Sebagai khalifah ketiga Syekh Burhanuddin, Syekh Abdurrahman berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah dengan pesat. Surau Bintungan Tinggi menjadi magnet bagi banyak orang dari penjuru Minangkabau untuk belajar tasawuf.

Syekh Abdurrahman lahir pada tahun 1827 sebagai anak dari Syekh Ibnu Muttaqin dan Pik Mande dari suku Sikumbang asal Ganting Sungai Asam di Sicincin. Sejak usia 15 tahun, beliau belajar Tarekat Syathariyah kepada Syekh Ja’far Thahir Ulakan (pimpinan Lembaga Pendidikan Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan). Pada usia 32 tahun, beliau memperdalam ilmu keagamaannya di Mekkah dan pernah menjadi pengajar di Ulakan pada tahun 1858 hingga 1864. Pada tahun 1864, beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan surau di lokasi rumah istrinya, Hj. Siti Malai, yang kemudian dikenal dengan nama Surau Bintungan Tinggi.

Syekh Bintungan Tinggi meninggal dunia pada 1923 dan dimakamkan di belakang surau yang didirikannya. Makam atau gobah Syekh Bintungan Tinggi masih ramai diziarahi hingga kini, terutama pada saat Jemaah Tarekat Syattariyah Basafa ke Ulakan. Ramainya penziarah ini memberikan kesan kepada kita yang hidup sekarang bahwa Syekh Bintungan Tinggi adalah sosok ulama yang masyhur. Atas dedikasinya dalam pengembangan pendidikan Islam, surau dan makam Syekh Bintungan Tinggi dicatat sebagai situs cagar budaya.

Kondisi Manuskrip
Empat tahun berlalu, dan kondisi fisik manuskrip koleksi Surau Bintungan Tinggi ternyata tidak seperti dulu lagi. Jika pada tahun 2007 naskah-naskah masih banyak yang dalam kondisi baik, saat ini sebagian besar sudah rusak. Tentu saja ini mengkhawatirkan, karena jika tidak segera dipreservasi dan direstorasi, maka naskah-naskah tersebut akan musnah. Kertas-kertas alas naskah yang sudah berumur ratusan tahun hampir seluruhnya lapuk dan beberapa bahkan lembab. Lembabnya naskah ini sangat mungkin disebabkan oleh tempat penyimpanan yang tidak memadai.

Baca Juga :  Randai Umpan Manih Tampil Malam ini di Pagaruyung
Kondisi penyimpanan naskah

Selain itu, beberapa naskah tidak dapat diselamatkan lagi karena kertasnya terbakar akibat korosi tinta. Naskah-naskah dengan kerusakan jenis ini tidak mungkin diselamatkan lagi. Namun demikian, untungnya naskah-naskah ini telah didigitalkan pada tahun 2007. Bayangkan jika belum dilakukan pendigitalan, maka kita tidak hanya kehilangan fisik naskahnya, tetapi lebih menyedihkan lagi, kita juga kehilangan kandungan isinya.

Saya menduga kondisi yang sama juga terjadi pada koleksi lainnya; mengingat bahan naskah dan tempat penyimpanan yang kurang lebih sama. Perlu langkah konkret untuk upaya penyelamatan khazanah manuskrip ini. Khazanah naskah adalah artefak yang membuktikan bahwa pernah ada tradisi intelektual yang sangat maju di surau-surau tarekat di Minangkabau pada masa lampau. Selain itu, khazanah naskah merupakan warisan budaya tertulis yang menyimpan informasi budaya masa lampau yang sebagian besar masih sangat relevan untuk kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. (*)

Print Friendly, PDF & Email