Filosofi Surau Museum Istano Basa Pagaruyung “Pendidikan”

Oleh : Joli Sumantri

Surau diminangkabau tidak hanya digunakan hanya untuk beribadah saja akan tetapi Surau juga berfungsi untuk pendidikan, dan salah satu pendidikan yang diberikan adalah pendidikan bertutur kata (sumbang kato).

Bahasa Minangkabau tidak hanya dipakai sebagai simbol orang Minang, tetapi juga mengajarkan kesantunan dalam berkomunikasi.


Bahasa Minangkabau memiliki aturan dan tatakrama yang disebut sebagai kato. Secara sederhana kato dapat diartikan sebagai sebuah tata aturan dalam berkomunikasi antarsesama komunikator sewangsa yang dikenal dengan istilah tau jo nan ampek atau kato nan ampek.


Ada empat kategori dalam bahasa Minangkabau, Pertama kato mandaki yaitu tatakrama bertutur kepada orang yang lebih tua. Kedua, kato malereang yaitu tatakrama bertutur kepada orang yang disegani. Ketiga, kato mendata yaitu tatakrama bertutur kepada teman sebaya. Keempat, kato manurun yaitu tatakrama bertutur kepada orang yang lebih muda.


Kato mandaki adalah bahasa yang digunakan untuk lawan bicara yang lebih dewasa atau orang yang dihormati, seperti orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, murid kepada guru, dan bawahan kepada atasan. Pemakaian tatabahasanya lebih rapi, ungkapannya jelas, dan penggunaan kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga bersifat khusus, ambo untuk orang pertama, panggilan kehormatan untuk orang yang lebih tua: mamak, inyiak, uda, tuan, etek, amai, atau uni serta baliau untuk orang ketiga.


Selanjutnya, kato malereang merupakan bahasa yang digunakan untuk lawan bicara yang disegani dan dihormati secara adat dan budaya. Umpamanya orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, misalnya, ipar, besan, mertua, dan menantu, atau antara orang-orang yang jabatannya dihormati seperti penghulu, ulama, dan guru. Pemakaian tatabahasanya rapi, tetapi lebih banyak menggunakan peribahasa, seperti perumpaan, kiasan atau sindiran.


Kata pengganti orang pertama, kedua, dan ketiga juga bersifat khusus. Wak ambo atau awak ambo untuk orang pertama, gelar dan panggilan kekerabatan yang diberikan keluarga untuk orang kedua. Baliau untuk orang ketiga.


Yang ketiga kato manurun adalah bahasa yang digunakan untuk lawan bicara yang lebih muda seperti membujuk pada anak kecil, mamak pada kemenakannya, guru kepada murid, dan atasan kepada bawahan. Pemakaian tatabahasa rapi, tetapi dengan kalimat yang lebih pendek. Kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga juga bersifat khusus.


Wak den atau awak den atau wak aden (asalnya dari awak aden) untuk orang pertama. Awak ang atau wak ang untuk orang kedua laki-laki, awak kau atau wak kau untuk orang kedua perempuan. Wak nyo atau awak nyo untuk orang ketiga. Kata awak atau wak artinya sama dengan kita. Kata ini dipakai sebagai pernyataan bahwa setiap orang sama dengan kita atau di antara kita juga.


Yang terakhir kato mandata, yaitu bahasa yang digunakan dalam komunikasi biasa dan dengan lawan bicara yang seusia dan sederajat. Selain itu, kato mandata ini juga digunakan oleh orang yang status sosialnya sama dan memiliki hubungan yang akrab. Pemakaian bahasanya yang lazim adalah bahasa slank. Tatabahasanya lebih cenderung memakai suku kata terakhir atau kata-katanya tidak lengkap dan kalimatnya pendek-pendek. Kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga juga bersifat khusus, yaitu aden atau den untuk orang pertama. Ang untuk orang kedua laki-laki. Kau untuk orang kedua perempuan.


Inyo atau anyo untuk orang ketiga.

Kato mandaki adalah bahasa yang digunakan untuk lawan bicara yang lebih dewa

Pelestarian budaya tau jo nan ampek ini akan memberikan sumbangan positif terhadap pembangunan karakter di masa datang, pendidikan tersebut di dapat oleh anak anak dari Guru mengaji di surau


Dari Dari uraian di atas tampak bahwa perbedaan status sosial dan situasi yang berbeda menunjukkan adanya aturan tata krama yang jelas dalam bahasa Minangkabau. Hal ini diperjelas dengan pendapat Moussay (1981) bahwa penggunaan “acuan persona” bahasa Minangkabau berbeda dengan bahasa lain. Penggunaan tersebut sangat beragam karena diujarkan dalam situasi yang berbeda.

Jadi dapat disimpulkan Surau merupakan tempat PENDIDIKAN non formal, dan surau sudah menjadi tempat kegiatan atau aktivitas bagi masyarakat minangkabau sejak dari dulunya.

Sumber : Agustina. 2005. “Bahasa Minangkabau: Khasanah BAM yang Terlupakan”, dalam Menuju Pembelajaran BAM yang Berkualitas. Padang: Sukabina Offset.

Baca Juga :  Hasil Quick Count Pilwana se-Tanah Datar Nanti akan Ditayangkan di Jurnal Minang secara Live