Opini Oleh: Irwan Malin Basa. (Dosen UIN Mahmud Yunus Batusangkar)
Salah satu isu hangat bagi Pemkab Tanah Datar dan Pemkab Solok saat ini adalah “sengketa” batas wilayah antar dua kabupaten tersebut. Ada yang kehilangan dan ada yang mendapat wilayah baru.
Dulu, sebelum berita acara penentuan batas wilayah tersebut ditanda tangani, saya pernah diajak berdiskusi baik formal maupun informal oleh beberapa pejabat Pemkab Tanah Datar bersama tim yang ditugasi untuk penentuan batas wilayah tersebut.
Waktu itu, saya menjelaskan bagaimana kearifan lokal (local wisdom) dan kejeniusan atau kepintaran lokal (local genius) nenek moyang orang Minangkabau semenjak zaman dahulu membuat batas wilayah. Semuanya tertuang dalam manuskrip kuno Minangkabau dan bahkan sudah lazim menjadi tuturan di beberapa Nagari.
Entah dipakai entah tidak, atau entah mengerti entah tidak dengan penjelasan saya waktu itu, akhirnya muncul saja sebuah keputusan. Dan saya mendapat kabar bahwa penetapan yang dipakai lebih kepada koordinat dan peta wilayah. Dugaan saya, ini akan bermasalah nantinya. Ternyata, benar adanya. Heboh juga.
Lahan masyarakat nagari Simawang tercaplok sekitar 350 an hektar sehingga menjadi wilayah Solok. Masyarakat ribut dan para tokoh masyarakat dan politisi melakukan protes dengan berbagai cara. Akhirnya pemerintah mengukur ulang batas wilayah yang diduga “salah ukur” dan “salah koordinat” ataupun “salah peta” itu kembali.
Padahal kearifan lokal kita sebagai masyarakat Minangkabau sudah ada dalam menetapkan wilayah ini. Berikut beberapa cara penetapan batas wilayah yang mungkin sulit untuk diganti dengan mudah.
1). Batas menggunakan cahaya matahari. Untuk menentukan batas sebuah bukit ataupun gunung, dipakai cahaya matahari pagi. Artinya, bagian yang terkena cahaya matahari pagi adalah milik si A misalnya, dan daerah yang terkena cahaya matahari setelah Zuhur adalah milik si B. Tak ada sengketa tentang ini kalau kita mau mengikuti.
2). Batas Sungai. Untuk membatasi sebuah wilayah biasanya digunakan sungai. Bagian yang sebelah kanan sungai milik si A, sedangkan bagian sebelah kiri sungai milik si B. Jelas dan tuntas batas sebuah wilayah.
3). Batas air terjun (gelek aia). Batas ini digunakan dahulu untuk menentukan wilayah yang memiliki air terjun. Misalnya, antara Tanah Datar dengan Pariaman. Bagian yang terletak sebelum air terjun dari arah Padang Panjang adalah milik Tanah Datar dan yang terletak setelah air terjun masuk kedalam wilayah Pariaman. (Ikua darek Kapalo rantau).
4). Tumbuhan endemik. Yaitu tumbuhan tertentu yang hanya bisa tumbuh pada lokasi tertentu. Diantara Simawang dan Bukik Kanduang dahulunya dikenal dengan tumbuhan batuang Kuniang (bambu kuning). Bagi daerah yang tidak bisa tumbuh bambu kuning termasuk kedalam daerah Simawang sedangkan daerah yang bisa ditumbuhi bambu kuning masuk kedalam wilayah bukik kanduang. Dahulu pun daerah ini pernah bersengketa dan disebutkan di dalam adat sebagai “Simawang Bukik Kanduang pardamaian koto Piliang).
5). Batu besar, lurah dan dataran tinggi. Batas ini adalah batas alam. Batu besar adalah penanda wilayah. Lurah maupun bukit juga penanda wilayah. Batas itu akan berubah hanya karena ulah tangan manusia.
Mengapa sengketa muncul? Tak lain adalah karena kealpaan kita mempelajari dan mengakui pengetahuan lokal yang sudah diwariskan oleh nenek moyang kita. Kita sering terjebak dengan aturan yang mungkin tidak masuk akal di zaman modern ini. Aturan itu dibuat sering di meja diskusi saja tanpa melihat fakta dari berbagai perspektif.
Untuk itu, kok sasek di ujuang jalan, babaliak ka Pangka jalan. Begitu pepatah mengatakan. Di Minangkabau tidak ada kusut yang tak selesai. Mari kita turunkan sedikit ego kekuasaan, ego jabatan dan mau mendengar serta bertanya. Jika ada aturan ataupun instruksi dari penguasa yang lebih tinggi dan berpotensi memecah belah tatanan sosial masyarakat kita, yaaa proteslah. Berikan argumen yang logis. Jangan asal tanda tangan saja!