Oleh: Irwan, M.Pd (Dosen IAIN Batusangkar)
Dalam sebuah wawancara dengan presiden RI di televisi swasta yang dipandu oleh Najwa Sihab ada terminologi lama yang menjadi perbincangan masyarakat yaitu antara ‘mudik’ dan ’pulang kampung’ itu berbeda. Karena yang menyatakan seorang Presiden RI tentu hal tersebut menjadi perhatian publik. Beragam tanggapan bermunculan. Ada yang mencibir karena mungkin tidak faham ilmu linguistik. Ada pula yang bertanya dengan nada sindiran seolah olah Presiden sudah salah ucap. Ada pula yang menghujat tanpa alasan karena mereka menganggap keduanya sama. Itulah resiko menjadi pejabat publik. Semuanya menjadi sorotan. Andai kentut seorang presiden berbeda bunyinya setiap pagi, tentu para “analis kentut” akan mengkaji pula apa yang menyebabkan kentut presiden itu berbeda bunyinya.
Sebenarnya istilah ‘mudik’ adalah istilah yang biasa dipakai oleh masyarakat Jawa. Mudik yaitu kembali ke kampung dari perantauan dan biasanya dilaksanakan sebelum lebaran atau hari-hari besar tertentu. Sedangkan ‘pulang kampung’ dilakukan boleh kapan saja dan tidak terikat oleh momen besar apapun. Meskipun secara aksi keduanya sama yaitu sama-sama pulang kampung, tetapi konteksnya berbeda. Saya rasa, tidak ada yang salah dari ujaran sang Presiden karena beliau lebih tahu dan memahami tentang konteks budaya Jawa antara ‘mudik’ dan ‘pulang kampung.’
Namun kalau dikaji secara linguistik antara ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’ bersinonim. Sinonim ada tiga macam yaitu: 1) sinonim mutlak, 2) sinonim mirip dan 3) sinonim dekat. Ada beberapa kata yang bersinonim tetapi konteksnya berbeda. Adapula kata yang bersinonim tetapi pemakaiannya berbeda untuk manusia dan binatang/tumbuhan. Ada pula yang mutlak yaitu arti dan objeknya sama meskipun kata tersebut berbeda. Misalnya, kata ‘ayah’ dan ‘bapak’ adalah sinonim mutlak. Kata ‘mati’ dan ‘meninggal’ adalah sinonim mirip. Kata ‘bantuan’ dan ‘pertolongan’ adalah sinonim dekat. Serupa tapi tak sama.
Lain pula di Ranah Minang. Orang Minang ada juga menyebut kata-kata mudiak. Tetapi makna kata ‘mudik’ dalam konteks budaya Jawa agak berbeda dengan makna kata mudiak dalam bahasa dan budaya Minangkabau. Merujuk kepada tuturan di Pariangan sebagai daerah asal muasal nenek moyang orang Minangkabau bahwa kata mudiak berarti ke arah Utara, ke arah bagian atas dan ke arah hulu. Contoh, ketika seseorang yang berdomisili di bagian Utara kampung, lalu pergi berjalan ke arah bawah atau Selatan. Maka ketika dia akan pulang dia biasanya mengatakan, ka mudiak lai. Artinya pulang ke tempat asal karena domisilinya di arah Utara.
Lawan kata mudiak adalah ilia. Sedangkan lawan kata puhun (arah Timur) adalah ujuang (arah Barat). Itulah empat arah mata angin dalam bahasa Minangkabau. Kadang kita sedih mendengar ketika banyak pihak yang tidak mengerti lalu mengatakan kalau Minangkabau tidak punya petunjuk arah mata angin. Mungkin mereka tidak pernah mempelajari dan memahami budaya Minang itu secara kaffah dan mendalam.
Kini, antara ‘pulang kampung’ dan ‘mudik’ jelas berbeda secara konteks. Meskipun itu Presiden yang mengatakan kalau benar tetaplah benar. Jangan dibully atau dicari-cari alasannya bahwa presiden itu keliru. Logika kita mengatakan bahwa ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’ itu sama, tetapi secara ilmu linguistik dia berbeda. Tak perlu diperdebatkan. Kalaupun mau berdebat juga, belajarlah linguistik terlebih dahulu. Tidak cukup hanya berpedoman kepada mbah Google saja ataupun hanya kepada KBBI seri terbaru saja. Sudah banyak pakar Bahasa Indonesia yang menulis buku linguistik; ada Goris Keraf, JS Badudu, Yus Rusyana, HB Yasin dan lainnya. Selamat pulang kampung tetapi jangan mudik!