Opini Oleh: ARIZA APRILIA FITRI
(Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP UNAND)
Koflik agraria di Indonesia bukanlah hal baru, terutama ketika berhadapan dengan kepentingan perusahaan besar yang seringkali mengklaim tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal. Menurut Gunawan Wiradi (2009), konflik agraria ini merupakan benturan kepentingan antara pihak-pihak yang ingin menguasai atau mempertahankan kekuasaan tanah.
Konflik ini sering dipicu oleh kebijakan pertanahan yang tidak adil dan ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah. Salah satu contoh konflik agraria yang terjadi baru-baru ini dan heboh di media massa adalah konflik agraria di lahan PT PHP I Pasaman Barat dengan masyarakat petani Nagari Kapa, yang terjadi pada 4 Oktober 2024.
Kasus konflik agraria di Nagari Kapa, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, merupakan contoh nyata dari pertarungan antara hak ulayat masyarakat adat dan kepentingan kapitalis perusahaan perkebunan. Konflik ini telah menjadi sorotan nasional, terutama setelah tersebarnya vidio yang memperlihatkan bentrokan antara warga setempat dan apparat kepolisian di lahan PT Permata Hijau Pasaman I (PHP I).
Konflik ini berawal dari klaim tumpang tindih atas tanah seluas 924 hektar, di mana sekitar 600 hektar di antaranya telah dikelola oleh petani lokal selama bertahun-tahun untuk bercocok tanam jagung, pisang, dan tanaman pangan lainnya. Meskipun tanah ini menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal, PT PHP I mengklaim memiliki hak atas lahan tersebut berdasarkan izin Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan oleh pemerintah.
Ketegangan meningkat ketika pihak perusahaan, dengan dukungan aparat kepolisian, melakukan penggusuran pada Oktober 2024. Dalam upaya untuk mempertahankan lahan, petani yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) melakukan perlawanan dengan menggelar aksi protes dan bertahan di lokasi sengketa.
Video yang beredar menunjukkan momen ketika massa petani dihadapkan pada tindakan represif aparat kepolisian yang berusaha membubarkan protes secara paksa. Beberapa warga terlihat melantunkan dzikir sebagai bentuk perlawanan damai, namun tetap berakhir dengan penangkapan beberapa petani.
Gerakan sosial yang tercermin dalam konflik agraria ini menunjukkan bagaimana masyarakat lokal, terutama petani kecil, berkumpul dan bersatu untuk mempertahankan hak ulayat mereka atas tanah. Petani di Nagari Kapa telah mengolah tanah ini secara turun-temurun dan merasa bahwa mereka memiliki hak atas lahan tersebut, meskipun secara legal perusahaan mengklaim memiliki hak melalui dokumen formal.
Gerakan sosial di sini tercermin dalam solidaritas yang ditunjukkan oleh petani, serta keterlibatan berbagai organisasi masyarakat sipil yang mendukung mereka dalam memperjuangkan keadilan agraria.
Kasus ini menjadi lebih kompleks karena pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) telah mengidentifikasi daaerah atau area tersebut sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).
Namun, terlepas dari status ini, perusahaan tetap melanjutkan penggusuran dengan membawa bibit kelapa sawit dan alat berat untuk menanami lahan yang telah dikelola oleh petani. Dukungan dari aparat kepolisian, yang seharusnya netral, malah memperburuk situasi karena tindakan mereka dinilai lebih memihak kepada perusahaan daripada warga yang terlibat dalam konflik.
Gerakan sosial yang terbentuk dari kasus ini juga menyoroti ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat kecil dalam berhadapan dengan kekuatan modal besar. Di satu sisi, perusahaan memiliki akses terhadap alat-alat hukum dan dukungan negara melalui aparat kepolisian, sedangkan petani hanya memiliki solidaritas antarwarga dan dukungan dari organisasi advokasi seperti SPI.
Gerakan sosial di sini adalah upaya kolektif masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan mempertahankan tanah sebagai sumber kehidupan mereka, yang juga merupakan bagian penting dari identitas budaya mereka.
Keterlibatan aparat keamanan dalam mendukung penggusuran tanah juga memperlihatkan bagaimana negara sering kali berada di sisi pemilik modal dalam konflik agraria. Meskipun proses reforma agraria sedang berlangsung, tindakan sepihak perusahaan yang didukung oleh aparat justru mengesampingkan hak-hak masyarakat adat dan petani kecil.
Gerakan sosial dalam konteks ini menjadi sarana bagi masyarakat untuk menuntut negara agar menghormati hak ulayat dan memastikan bahwa penyelesaian konflik dilakukan secara adil tanpa kekerasan.
Pada akhirnya, gerakan sosial dalam konflik agraria di Nagari Kapa ini merupakan respon dari masyarakat terhadap ketidakadilan struktural yang mereka hadapi. Mereka bersatu dalam perlawanan terhadap penggusuran dan tindakan represif, dengan harapan agar tanah yang menjadi sumber kehidupan mereka dapat kembali ke tangan mereka.
Konflik ini menekankan pentingnya reformasi agraria yang sungguh-sungguh dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat serta petani kecil, terutama dalam menghadapi dominasi modal dan juga kekuatan negara yang seringkali memihak perusahaan besar. (*)
Sumber gambar: Betahita. Diakses dari google free access