Tapal Batas Tidak Selesai, DPRD Tanah Datar Keluarkan Rekomendasi, Bupati Harusnya Malu!

(Seri 2)
Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah

Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
(Advokat & Pengamat Sosial Politik)

“Dilacuik tak bajalan, disentak tak baranti”, agaknya itulah padanan pepatah Minang yang relevan dengan topik bahasan kita kali ini atas kinerja Bupati Tanah Datar, Eka Putra, SE, MM berkenaan Rekomendasi DPRD Tanah Datar Terhadap Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Tanah Datar Tahun 2023 yang dilaksanakan di Gedung DPRD Tanah Datar pada Kamis, 4 April 2024 yang tidak kunjung selesai ditangani Bupati Eka Putra, SE, MM.

Mari kita bahas bagian kedua dari 19 bagian rekomendasi DPRD tersebut. Bahasan kali ini berkenaan dengan Catatan Strategis DPRD Tanah Datar bagian kedua tentang internal Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah.

DPRD Tanah Datar menyebutkan bahwa berkaitan dengan tapal batas antara Kabupaten Tanah Datar dengan Kabupaten/kota tetangga, dimana adanya wilayah secara geografis masuk Kabupaten Tanah Datar tapi diklaim menjadi wilayah kabupaten / kota tetangga, seperti:
• Daerah Jaho dengan Kota Padang Panjang,
• Pandai Sikek, Talago Dewi Singgalang, Pasinggrahan Koto Baru Kec. X Koto dengan Kab. Agam,
• Barulak Batas Tungkar Kec. Tanjung Baru dengan Kab. 50 Kota,
• Tanjung Langsek Nagari Tanjung Bonai Kec. Lintau Buo Utara dengan Lipek Kain Provinsi Riau,
• Simawang dengan Kabupaten Solok.

Rekomendasi DPRD:
Diminta kepada pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan daerah-daerah perbatasan agar tidak terjadi lagi pengalihan wilayah atau kawasan daerah Tanah Datar ke wilayah kabupaten kota/tetangga.

Sekilas rekomendasi yang satu ini narasinya biasa biasa saja, namun penulis menganalisa bahwa rekomendasi DPRD yang satu ini sarat dengan tanggung jawab seorang kepala daerah untuk menjaga keutuhan wilayahnya, MENJAGA KEDAULATAN WILAYAHNYA dari caplokan pemerintah kabupaten / kota tetangga.

Ibarat sebuah kue, sekeliling wilayah Kabupaten Tanah Datar telah digerogoti oleh pihak lain, dan pemerintah daerah Tanah Datar dibawah kepemimpinan Eka Putra, SE, MM terkesan melempem “menjaga gawang” wilayahnya dari serobotan pihak lain.

Dalam penanganan masalah ini, penulis menganggap Eka Putra kurang atensi / kurang mampu / kurang bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah sengketa perbatasan tersebut. Kenapa demikian? Inilah alasannya sebagai berikut:

  1. Kasus sengketa wilayah ini sudah jadi “temuan” DPRD sejak tahun 2021 lalu, dan DPRD Tanah Datar sudah mengeluarkan Surat Keputusan DPRD Tanah Datar No: 172/./KPTS/DPRD-TD/2022 Tentang Rekomendasi DPRD Kabupaten Tanah Datar Terhadap LKPJ Bupati Tanah Datar Tahun 2021 yang ditanda-tangani pada bulan April 2022 yang berisi 22 (dua puluh dua) rekomendasi, dimana pada rekomendasi ke 11 (sebelas) sudah dicantumkan perihal masalah tapal batas tersebut.
  2. Artinya rekomendasi DPRD tahun 2022 lalu sudah berjalan selama 2 TAHUN, dan tidak terlihat progress yang signifikan di mata publik. Publik kebanyakan hanya ingat dengan tindaklanjut sesaat Pemkab Tanah Datar pada waktu itu dengan cara mendatangi wilayah sengketa dan berbicara dengan tokoh masyarakat setempat di Nagari Simawang, mengundang tokoh masyarakat dan Anggota DPRD ke Indo Jalito, mengajak tokoh masyarakat ke Jakarta dan mendatangi wilayah sengketa ke Lipat Kain. Hanya itu saja! Setelah itu bak hilang ditelan bumi.
  3. Masalah batas wilayah bukan masalah sederhana, ini menyangkut HARGA DIRI / MARWAH DAERAH / KEDAULATAN DAERAH dimata masyarakat sendiri maupun dimata masyarakat dan pemerintah tetangga. Apa jadinya kalau pemerintah Tanah Datar “dicimeeh” pihak lain karena dianggap lemah? Penulis memandang bahwa seharusnya setiap Rekomendasi DPRD itu harus diletakkan sebagai skala prioritas penangganan. Untuk penangganan sengketa wilayah, harus diletakkan sebagai TOP PRIORITAS.
Baca Juga :  Untuk Tanah Datar yang Lebih Baik: Tidak Mesti Eka, Tidak Mesti Richi?

Akan tetapi hal itu tidak terlihat, indikatornya karena TIDAK DISUSUN TIM TIM KECIL yang lebih memahami persoalan untuk menangani sengketa sengketa tersebut, tidak ditetapkan oleh Bupati Eka Putra TENGGAT WAKTU CAPAIAN PENYELESAIAN, sehingga terkesan lemah manajemen organisasi dan terkesan kurang peduli atau bisa jadi karena “keras kepala” tidak memperdulikan rekomendasi rekomendasi DPRD Tanah Datar tersebut.

“manjago keutuhan Era Baru se indak mampu do, apo lai menjago keutuhan wilayah daerahnya sendiri” ujar Wan Labai sambil main domino di sebuah kedai kopi tua nan cukup ramai oleh berbagai kalangan.

DPRD sudah mengingatkan Pemda sejak April 2022 (2 tahun lalu) melalui SK DPRD, karena sengketa wilayah yang tidak kunjung diselesaikan ini juga merugikan Pemda itu sendiri, khususnya dalam penerimaan Bantuan Keuangan Pusat. Tentu saja Pemda sudah rugi untuk tahun 2022 dan tahun 2023 karena “ketidak-sanggupan / kelalaian” Pemda Tanah Datar dibawah kepemimpinan Eka Putra dalam menanggani isu ini.

4) DPRD secara resmi pada April 2022 sudah mengingatkan Pemda dibawah kepemimpinan Eka Putra untuk mengoptimalkan pembangunan di daerah daerah perbatasan. Apa tindak lanjut oleh Pemda Tanah Datar dalam realisasi mengoptimalkan pembangunan di daerah perbatasantersebut? Sudahkah ada realisasinya di anggaran perubahan tahun 2022 dan di anggaran tahun 2023? Atau kalau memang ada, tapi dalam kategori “asal ado?” Sampaikan kepada publik.

“Transparanlah kepada publik, jangan hanya share informasi tentang dapat penghargaan ini itu saja. Harusnya diupdate progress kerja Bupati Eka Putra dalam merealisasikan rekomendasi rekomendasi DPRD tersebut. Itu baru mantap. Terbaca Bupati fokus bekerja menindaklanjuti rekomendasi rekomendasi DPRD ” ujar Wan Labai disambut angguk angguk warga lapau.

Baca Juga :  Mengapa Caleg Terkesan Pelit dan "Ngerem" Sekarang?

Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dibawah kepemimpinan Eka Putra harusnya menyadari bahwa ada dampak politis lain bilamana terjadi “pembiaran” atas penanganan sengketa batas wilayah yang tidak terukur tenggat waktunya dan tidak dialokasikan anggaran untuk menyelesaikannya. Efeknya seperti ketika masyarakat perbatasan merasa di PHP, maka mereka lebih memilih berpihak kepada pemerintah kabupaten / kota tetangga karena adanya kemudahan mengurus administrasi pemerintahan, akses infrastruktur yang didapat lebih baik, dll.

Apa jadinya kalau akhirnya masyarakat perbatasan yang meminta memisahkan diri dari sentuhan Pemerintahan Kabupaten Tanah Datar dengan cara meminta masuk untuk diatur oleh pemerintah kabupaten / kota tetangga, atau malah meminta otonom dengan pemekaran wilayah sendiri jadi kota madya baru misalnya.

Peluang untuk berpisah dan memekarkan diri jadi daerah otonom sendiri sangat memungkinkan karena sudah ada regulasi dari pusat. Tentu masyarakat perbatasan akan lebih ingin “tagak surang” (otonom) dari pada berada dalam kekuasaan pemerintah kabupaten Tanah Datar tapi mereka sulit mendapatkan layanan pemerintah Tanah Datar.

Contoh di depan mata saja, untuk memudahkan layanan hukum masyarakat Malalo dan Sumpur atau masyarakat kecamatan Batipuh dan Batipuh Selatan, maka ditunjuk Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama serta urusan kepolisian ditangani di kota madya Padang Panjang. Begitu juga untuk perawatan kesehatan, masyarakat disana lebih memilih berobat ke Padang Panjang daripada ke RS Hanafiah di Batusangkar. Kenapa demikian? Karena akses dan layanan di kota Padang Panjang lebih baik!

Jadi jangan pula para pendukung Eka Putra berpikiran sempit dan menuding penulis melakukan upaya pecah belah karena mengangkat isu sensitif. Kenapa pendukung Eka Putra tidak menuding DPRD Tanah Datar yang membahas hal ini? Hehehe.

Baca Juga :  Sidang Perbuatan Melawan Hukum Dengan Tergugat Pemkab Tanah Datar Berlanjut, Saksi Mulai Diperiksa

Harusnya pendukung Eka Putra berpikir secara makro, jangan berpikiran sempit. Pejabat Bupati itu berganti setiap 5 tahun, mereka datang dan pergi. Pikirkan secara makro dan visioner untuk kemajuan anak nagari. Jika ada pemekaran, justru lebih baik karena anak nagari punya wakil rakyatnya sendiri berasal dari kecamatan itu sendiri, bisa kelola dana sendiri, punya DAK DAU sendiri dari Pemerintah Pusat, punya alokasi Dana Desa / Nagari sendir, bisa punya fasilitas RS sendiri, Pengadilan Negeri / Pengadilan Agama sendiri, punya Polres dan Kejari sendiri di wilayahnya sehingga mudah dan nyaman anak negeri berurusan dengan biaya murah di daerahnya karena tidak perlu menghabiskan uang datang jauh jauh ke Pagaruyung. Belum lagi dampak peningkatan ekonomi masyarakat dengan meningkatnya daya beli, naiknya harga tanah, berkembang daerahnya dari sebuah kecamatan menjadi sebuah kota madya. Plis deh ah, hahahaha.

“Kadang kita heran dengan kurenah para pendukung rezim, di saat wilayah kedaulatan kabupaten Tanah Datar digerogoti pihak lain, mereka terkesan tutup mata dan berdiam diri dengan cara “dinina bobokan” dengan beragam raihan penghargaan ini itu. Eh, ketika wacana pemekaran wilayah dikemukakan, malah teriak teriak menghujat seolah Kabupaten Tanah Datar adalah harga mati! Padahal mereka tidak berkaca kepada pemekaran di Kabupaten Agam misalnya, hehehe harap maklum, cuma segitu kualitas intelektualnya” ujar Wan Labai merasa senang dengan sikap kritisnya.

Lagi pula, bahwa DPRD Tanah Datar pada April 2022 (2 tahun lalu) telah meminta kepada Pemda untuk bernegosiasi dengan intens dengan Pemkab Solok, akan tetapi tidak terbaca tindak-lanjut upaya tim Pemda Tanah Datar untuk melakukan upaya diplomasi secara G to G tersebut sehingga sampai saat ini tidak diketahui adanya pertemuan 4 mata antara Bupati Eka Putra dengan Bupati Epyardi Asda.

Maknanya adalah minimnya inisiatif Bupati Eka Putra untuk menindaklanjuti permintaan DPRD tersebut dengan cara menginstruksikan jajarannya untuk mengatur pertemuan G to G dengan kepala daerah Kabupaten Solok. Inikah tanda kurangnya kemampuan berbicara (kemampuan diplomasi) dan kurangnya kompetensi lobi seorang Bupati Eka Putra yang katanya lama malang melintang di pusat? Wallahualam. Faktanya belum diketahui publik dan belum terbukti serta belum teruji kemampuan diplomasi Bupati Eka Putra head to head dengan Bupati Epyardi Asda.

Salam Perubahan