Oleh: Adinda (Mahasiswa Sastra Minangkabau FIB Univ.Andalas Padang)
Tambo merupakan kisah yang disampaikan secara lisan oleh tukang kaba, yang diucapkan oleh juru pidato pada upacara adat. Tambo salah satu warisan kebudayaan Minangkabau yang penting. Umumnya orang mengelompokkan tambo itu dalam dua jenis. Yaitu Tambo alam, yang mengisahkan asal-usul nenek moyang serta bangunan kerajaan di Minangkabau, dan Tambo adat yang mengisahkan adat dan sistem aturan pemerintah Minangkabau pada masa lalu.
Dalam menyampaikan kisah Tambo tidak ada teknik sistematika tertentu. Cara mengikisahkannya pun disesuaikan dengan keadaan dan keperluan. Sepotong kisah tambo dapat saja dikisahkan dengan terulur panjang. Ada masanya dikaitkan dengan adat monografi suatu nagari, tempat tambo itu sedang di kisahkan.
Terkadang terkait dengan sejarah Melayu, sejarah Majapahit, bahkan juga sejarah Islam. Bukanlah suatu hal yang tidak mungkin jika Tambo dipandang sebagai karya sastra yang menjadi milik umum dimana isi kisahnya dapat berubah-ubah menurut kesenangan pendengarnya. Di suatu Tambo ditulis dan dicetak dalam suatu bentuk buku, kebiasaan tukang kaba berkisah dilanjutkan dan diteruskan oleh penulisnya.
Kisah tambo tidak mengenal jarak waktu, tetapi pada umumnya dimulai dari keberangkatan Maharaja Diraja ke Minangkabau. Tokoh yang dikisahkan berpusat pada Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang yang dimitoskan sebagai pendiri dua sistem pemerintahan Minangkabau yang didampingi tokoh lain yang bernama Cati Bilang Pandai. Sedangkan raja – raja yang bersemayam di Pagaruyung. selain Bunda Kandung, tidak pernah disebut – sebut dalam tambo.
Kisah tambo juga melukiskan kedatangan raja raja asing yang mencoba menaklukkan mereka. Akan tetapi. nama raja- raja dilukiskan dengan sindiran sebagai hewan. seperti rusa dari laut yang tanduknya bercabang – cabang dan Anggang dari laut yang telornya jatuh di tanah Minangkabau atau nama – nama lain yang di kiaskan dengan nama yang samar.
Pada awal mula tambo dikisahkan tiga orang putra Sultan lskandar Zulkarnain. Yang tertua Maharaja Alif menjadi raja di benua Ruhum. Yang tengah Maharaja Depang, menjadi raja di benua Cina. Yang bungsu bernama Maharaja Diraja, berlayar ke selatan. Bersama Maharaja Diraja. selain istri- istrinya ikut pula Cati Bilang Pandai seorang yang arif bijaksana. Dalam pelayarannya, mahkota Maharaja Diraja terjatuh ke laut dan tidak dapat diambil lagi karena mahkota itu dililit naga laut yang sangat ganas.
Cati Bilang Pandai menurunkan kaca dan dari pantulan kaca itulah ia membuat tiruan mahkota persis seperti yang asli. Selain permaisuri, Maharaja Diraja membawa juga empat perempuan Iainnya Harimau Campa, Kucing Siam, Kambing Hutan dan Anjing Mualim. Nama- nama itu diberikan sesuai dengan tingkah lakunya.
Setelah sekian lama berlayar sampailah dia ke suatu tempat yang bernama Lagundi nan Beselo (Legundi yang bersila), seterusnya sampai ke Gunung Merapi, yang semula sebesar telur itik lalu menyentak naik, sedangkan laut menyentak turun. Kemudian dibangunlah sebuah nagari di lereng Gunung Merapi itu, yang diberi nama Pariangan. Karena penduduk semakin bertambah. dibangun lagi nagari kedua, yakni Padang Panjang.
Setelah kedua nagari itu semakin ramai berpindahlah penduduk mendiami tanah yang luas di sekitar Gunung Merapi. Tanah yang luas tempat kediaman baru itu dinamakan luhak. Tanah sebelah barat dinamai Luhak Agam, sebelah utara Luhak Lima Puluh dan sebelah timur Luhak Tanah Datar. Ketiga tanah itu dengan menggunakan perumpamaan dilukiskan sangat subur, yaitu untuk Agam dikatakan bahwa buminya hangat, airnya keruh. dan ikannya liar. Untuk Lima Puluh dikiaskan bahwa buminya sejuk, airnya jernih, dan ikannya jinak. Sedangkan untuk Tanah Datar dikiaskan bahwa buminya nyaman, airnya tawar, dan ikannya banyak.
Asal usul nama Minangkabau, pada suatu masa datanglah bala tentara yang dipimpin Anggang dari Laut yang hendak menaklukkan mereka. Melihat kekuatan pasukan itu, mufakatlah Datuk yang Berdua (Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang) beserta Cati Bilang Pandai untuk mencari akal bagaimana menangkal kedatangan musuh. Akhirnya didapat kata sepakat bahwa untuk melawan pasukan yang kuat itu haruslah dengan tipu muslihat. Muslihat yang dipilih ialah mengadu kerbau. Kerbau siapa yang menang, itulah yang memenangkan pertempuran. Usul diterima oleh panglima pasukan yang datang itu.
Pihak musuh mendatangkan kerbau yang sangat besar. Jarak kedua ujung tanduknya empat hasta. Untuk menandinginya tidak ada kerbau yang sepadan. Lalu dirundingkan lagi. Cati Bilang Pandai mengajukan saran agar kerbau besar itu dilawan dengan anak kerbau yang lagi hasrat menyusu. Sebelum dilepas ke gelanggang, anak kerbau itu beberapa hari tidak dibiarkan menyusu pada induknya. Pada hidungnya diikatkan sepotong besi yang runcing dan tajam. Besi itu disebut Minang.
Demikianlah, pada hari yang ditetapkan, pihak musuh melepaskan kerbaunya yang besar itu, ke gelanggang. Kemudian pihak yang menanti melepaskan anak kerbau yang kecil itu. Ketika melihat seekor kerbau besar di gelanggang, anak kerbau itu menyangka itulah induknya. Berlarilah anak kerbau itu dan menyeruduk ke perut kerbau besar untuk menyusu, lalu tembuslah perut kerbau besar itu. Kerbau besar itu lari kesakitan.
Di suatu kampung tersimpuruik (terburai) isi perutnya. Lalu kampung itu dinamakan Simpuruik (Simpurut). Namun, kerbau besar itu berlari terus dan sampailah ia ke kampung lain. Kerbau kemudian rebah dan mati. Kulit kerbau itu diambil oleh penduduk. Dan kampung itu dinamakan (Sijangek sijangat = kulit). Sejak kemenangan itu, tempat gelanggang itu menjadi kampung yang dinamakan Minangkabau.