Sejarah Pengunduran Diri Sultan Sepuh VII Cirebon

Oleh: M.Taufan Riyanto. Mahasiswa Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas, Padang

Kasultanan Kasepuhan Cirebon memulai dasawarsa terakhir abad ke-18 dengan bergantinya pemimpin kesultanan. Pada tahun 1791, Sultan Tajun Ngaripin Muhamad Joharidin diangkat menjadi Sultan Sepuh VII Cirebon.
Ketika ia masih berusia 10 tahun, ia mulai memimpin kesultanan, ia didamping oleh dua Tumenggung, yaitu Tumenggung Wijaya Hadhiningrat dan Tumenggung Jayadhireja.

Sultan Sepuh VII memerintah selama 25 tahun. Ia menyaksikan pergejolakkan peristiwa, mulai dari skala lokal hingga internasional. Di awal kepemimpinannya, Sultan Sepuh VII sudah berhadapan dengan pemberontakan rakyat yang berdurasi panjang hingga dekade kedua abad ke-19.
Selama memerintah, Sultan Sepuh VII berurusan dengan lima gubernur jenderal dan satu letnan gubernur. Ketika Daendels berkuasa, Sultan Sepuh VII Cirebon mengaku tidak kuat menanggung beban dari kebijakan yang diterapkan dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk rakyatnya.

Kepasrahan Sultan Sepuh VII Cirebon kepada Raffles, tidak lepas dari kekejaman selama Pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda, Herman Willem Daendles yang memerintah dengan tangan besi.
Ketika itu, ketiga Sultan Cirebon diberikan pembagian wilayah, jumlah penduduk, hingga lahan pertanian garapan. Para Sultan harus menyetor upeti kepada VOC. Sementara masyarakat juga dikenai berbagai macam pajak. Kezaliman juga ditunjukkan Daendles dengan menerapkan pajak kepada setiap transaksi di pasar maupun pertanian.

Karena masa yang lalim di bawah kepemimpinan Daendles, karena itu wajar ketika Sultan Sepuh VII Cirebon lega dengan Raffles yang akan merebut Pulau Jawa dari Belanda.
Ketika ia hendak menulis surat, ia terinspirasi dengan Tengku Pangeran Siak yang menyampaikan surat kepada Thomas Stamford Raffles ihwal rencana Inggris merebut Jawa. Surat yang ditulis dengan menggunakan aksara Jawa terkandung informasi mengenai kerelaan Sultan Sepuh VII Cirebon untuk dipensiunkan dari jabatan publik. Surat itu ditulis pada tanggal 25 Rabiul Awal Tahun Alip 1739 (8April 1812).

Baca Juga :  Alek Pacu Jawi Kembali Digelar, Bupati Eka Putra Turut Hadir dan Membuka Acara

Berikut adalah surat Sultan Sepuh VII Cirebon kepada Letnan Gubernur Hindia Belanda, Sir Thomas Stamford Raffles.
Punika serat saking Sultan Carbon Wedhrahingkangsarta sadhayaning hurmat, ingkangmuga konjuking padha dhalem tuwaningkang ageng Thomas Stamford Raffles.
Sampeyan sampun appearing ing langkunging arta ingkang dhadhos balanja kaula serta sasemah pecil kaula, ing mangke arta kahidhupan kaula, wonten kawan nambang reyal selaka ing saban-saban tahun.
Ingkang punika, awit dening saking sih, sampeyan menggahing jasadh kaula boten wagedh amicanten malih. Dhening punika, dhadhos agunging pamuji trima kasih kaula, milahpanuhun kaula dhumateng salenggah sampeyan.
Muga apracentan menggahing atur trima kasih kaula pon medhal saking manah kaula ingkang leres serta baresih.
Ingkang punika tan wandos kendeling salami-lamine kaula gesang. Saking dhening kanga gung kahidhupan kaula wau.
Sakelangkunging dhadhos agenging manah kaula, saking sempun atampih ing pasiyun sampeyan ingkang sampun sampeyanparingaken dhumateng kaula serta anak rabi kaula.
Ing saban dinten tansah dhadhos sapakenget kaula serta pecile sama kaula saking dhening kapenedhan wau ingkang sampun kaparingaken dhateng ingjasadh kaula.
Kaula serya anake sama kaula, ing salebeting nuwala puniki, antipaken dhiri ing sih sampeyan, saking kapdnedhan sampeyan, angauban dhateng piyambek sadhaya.
Kalayan sadhayaning hurmat, kaula amalesthaning ing nuwala puniki Kaserat ing Carebon, kala ing Tanggal Ping 25: saking Sasih Mauludh Tahun Alip 1739: utawi Tanggal Ping 8: saking Sasih April Tahun 1812.”

Arti dari surat Sultan Sepuh VII Cirebon kepada Thomas Stamford Raffles adalah:
Teruntuk Yang Mulia Tuan Besar Thomas Stamford Raffles. Saya (menulis surat ini) tiada (maksud) lain, (kecuali) menyapa (Anda) dari hati nan bersih dan benar. Semoga Negeri Jawa ini (senantiasa dianugerahi) kesejahteraan dan kebaikan selama berada di bawah perintah Anda.
Selain itu, semoga kasih sayang Allah dan segala kesenangan hati menyertai Anda untuk selama-lamanya.
Selanjutnya, Saya –Sultan (Sepuh) Cirebon– telah meneguhkan diri (lalu memutuskan untuk) berkirim surat kepada Anda. Hati dan jiwa Saya merasa senang, atas nama segala kebaikan, lantaran Anda telah memberikan uang (yang begitu banyak) untuk (mencukupi) kebutuhan Saya (beserta) istri dan anak Saya, serta (sebagai) bekal kehidupan Saya
(Jumlahnya) mencapai 4.000 reyal selaka (rijkdaalder; uang perak) setiap tahun. Sebelumnya, atas kebaikan hati Anda, Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga Anda menerima ucapan terima kasih Saya, terbit dari lubuk hati yang benar dan bersih. (Bersama ini pula, saya) menyatakan mengundurkan diri untuk selama-lamanya.
Dengan besar hati, saya menerima (uang) pensiun yang telah Anda berikan. Kebaikan hati Anda (tersebut) akan selalu Saya ingat setiap hari.
Melalui surat ini, Saya beserta anak dan istri, menitipkan diri dalam cinta kasih dan kebaikan hati Anda. (Saya pun meminta Anda) melindungi semua orang. Dengan segala hormat, saya akhiri surat ini.
Ditulis di Cirebon pada Tanggal, 25 Bulan Maulud Tahun Alip 1739 atau Tanggal 8 April Tahun 1812.

Baca Juga :  Wako Sawahlunto Rangkul IWT untuk Terus Dongkrak Pembangunan Kota Warisan Dunia

Dari isi surat di atas, hanyalah secuil belantara nan luas informasi dari masa lampau, khususnya dalam naskah-naskah kuno. Oleh karena itu, sebagai saran saya kita harus terus menggali informasi dari khazanah kebudayaan masa lampau untuk melihat keadaan sekarang. Dengan melihat kepada khazanah masa lampau kita bisa ambil pelajaran dan menerapkannya di masa sekarang. (*)