Oleh: StS. Dt.Rajo lndo S.H, M.H
Setiap sesuatunya yang terjadi di Alam ini ada sebabnya. Maupun kedudukan dan fungsinya terangkai menjadi suatu sejarah. Bila rangkaian itu hilang atau dihilangkan maka lupalah akan jasa-jasa pelakunya.
Misalnya, sebab terjadinya tanah Ulayat di Minangkabau, dulunya karena ninik moyang orang Minangkabau memikirkan cucu dan cicitnya akan kekurangan tanah di kemudian hari.
Kekurangan tanah itu karena Alloh hanya satu kali membuat tanah untuk keperluan manusia. Sementara kelahiran manusia tidak henti-hentinya tiap tahun.
Justru itu luas kaplingan tanah bagi manusia akan berkurang dari tahun ke tahun.
Disamping itu kesusutan tanah darat akibat hantaman ombak di pantai yang tidak henti-hentinya. Hal itu sebagaimana ungkapan. “Lapak-lapak sandaran bodie, panembak ondan di Muaro – Nan bak ombak parang jo pasie, musim pabilo kasalasainyo.
Oleh sebab itu ninik moyang orang Minangkabau melahirkan ketentuan atas tanah sebagai Hak bersama. Tanah yang Hak bersama itu dinamainya tanah Ulayat. Tanah Ulayat itu dengan status sebagai Pusako Tinggi.
Kedudukan tanah Ulayat tersebut “tetap”. Bahwa tetap itu dalam arti, tetap milik bersama. Tidak boleh dipindahtangankan dari suatu kelompok kepada kelompok lainnya. Pemindahan Hak tanah Ulayat itu dalam bentuk apapun tidak dibenarkan oleh hukum adat Minangkabau.
Karena tanah Ulayat itu tidak milik seseorang dan tidak milik sekelompok orang. Melainkan menurut hukum adat hanya yang didapat dari tanah Ulayat itu hasilnya, Hak memelihara. Jadi tidak ada Hak Milik seseorang atau Hak Milik sekelompok orang atas tanah Ulayat tersebut.
Setelah menikmati hasil dari tanah Ulayat itu muncul kewajiban mewariskan kepada generasi pelanjut Minangkabau. Begitulah tata cara atau ketentuan atas tanah Ulayat secara turun temurun di Minangkabau. Aturan hukum adat ini adalah sebagai dasar dari hukum nasional atau hukum negara.
Bahkan deklarasi persatuan bangsa-bangsa (PBB) No.169 tahun 1954 diantara isinya menegaskan, “Ingin aman tentram, hidup sejahtera dan bermartabat aplikasikan adat istiadat setempat”. Seiring de ngan itu TAP. MPRS No.II tahun 1960 menyatakan hukum adat dasar pembinaan dari hukum nasional.
Berbicara Kaum di Minangkabau adalah nama dari sekelompok orang yang berasal dari satu lbu. Ibu dalam bahasa adat dise but “Bundokanduang”. Artinya, seorang wanita yang telah melahirkan kandungannya. Bahkan setiap Ranji (Rangkaian jiwa) di Minangkabau selalu nama lbu yang paling di atas/Bundokanduong (Ibu).
Hal itu salah satu bukti bahwa orang Minangkabau telah menyatakan, lbu yang tertinggi dan lbu yang terhormat. Bahkan atas penghormatannya itu sampai kepada jari, disebutnya lbu jari. Pada Kota, lbu Kota, di Negara, lbu Negara dan belum didengar namanya bapak jari, bapak kota maupun bapak negara.
Rangkaian dari kejadian maupun peristiwa itu disebut sejarah. Bila rangkaian tersebut dihilangkan, maka sama artinya hilang lah jasa-jasa ninik moyang kita orang Minangkabau. Sedangkan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawanya.
Sementara menurut adat Minangkabau dapat dikatakan, menghilangkan jasa-jasa ninik moyang sama artinya, tidak menghargai jasa para Pahlawan. Apalagi meng hilangkan tanah Ulayat di Minangkabau. Bagi pencetus dan pelaku yang menghilangkan itu belum tertutup kemungkinan akan disumpahi oleh anak cucu orang Minangkabau. Semoga. (*)