Resiko Pilkada Head to Head, Masyarakat Terbelah?

Oleh: Ahmad Rizal Caniago (Akademisi dan Peneliti)

Setelah berakhirnya pendaftaran bakal calon bupati dan wakil Bupati serta bakal calon gubernur dan wakil gubernur pada tgl 29 Agustus 2024 yang lalu, terdapat beberapa kategori jumlah pasangan yang mendaftar. Khusus untuk pilbup dan pilwako di 19 kabupaten/Kota di Sumbar jumlahnya bervariasi pula walaupun ada yang sama.

Di beberapa kabupaten/kota ada yang dua pasang, tiga pasang, dan empat pasang. Ada dua fenomena yang menarik yaitu ada satu pasang calon saja yang mendaftar yaitu di Kabupaten Dharmasraya. Lebih menariknya lagi, pasangan bupati dan wakil Bupati ini keduanya perempuan. Sementara di kota kecil Payakumbuh, terdapat lima pasang calon walikota yang mendaftar.

Dalam tulisan ini penulis ingin membahas apa dampak pilkada head to head dalam kehidupan bermasyarakat.

Pertama, dampak bagi masyarakat adalah masyarakat nantinya akan terbelah dengan jelas menjadi dua kelompok pendukung. Sebab pilihan hanya dua. Masyarakat yang tidak suka dengan kedua pasangan calon tersebut tentu tidak akan memberikan hak suara mereka.

Kedua, resiko bagi komunitas atau kelompok masyarakat di nagari adalah dalam hal dukung mendukung pasangan calon. Tidak diharapkan masyarakat membuatkan dukungan kepada salah satu pasangan calon saja karena jika pilihan mereka kalah nanti, maka nagari akan beresiko “dicuekin” oleh pasangan yang menang. Jadi, dibagi dua saja suara nya.

Ketiga, tingkat kecurigaan masyarakat selama kampanye sangat tinggi. Jika ada satu kelompok berkumpul, maka mereka akan memata matai dengan siapa kelompok tersebut berafiliasi atau bekerjasama. Jika beda dengan satu kelompok maka akan muncul kelompok tandingan.

Keempat, pertarungan antar tim sukses semakin tajam. Perang media dan opini akan menjadi jadi untuk saling menjatuhkan. Saling klaim dan saling melempar isu negatif yang cenderung ke arah black Campaign.

Baca Juga :  Fenomena Polarisasi Politik: Konflik yang Tidak Bisa Diabaikan?

Kelima, cost politik cukup besar karena hanya dua pasang yang bertarung. Jika satu pasang misalnya lemah dalam finansial maka kelompok kelompok masyarakat akan cenderung ke pihak yang memiliki finansial yang cukup.

Sedangkan resiko bagi calon adalah mereka akan bulan bulanan oleh masyarakat yang sengaja membuat isu untuk mencari keuntungan sesaat. Tim sukses calon harus berhati hati dalam memainkan isu dan strategi. Tawaran tawaran “ikhlas beramal” tidak akan laku.

Mengapa? Karena masyarakat Minang sebagian masih pragmatis dan ingin mendapatkan keuntungan sesaat saja. Hanya sedikit sekali masyarakat Minang memiliki jiwa fanatisme terhadap tokoh atau pasangan tertentu. Lagi pula, kondisi ekonomi saat ini yang semakin sulit membuat masyarakat merasa mendapatkan sesuatu ketika pilkada berlangsung. Visi dan misi calon tidak akan terlalu berpengaruh.

Untuk Tanah Datar, apakah faktor finansial akan berpengaruh? Atau jiwa fanatisme yang akan menentukan kemenangan? Kita lihat hasilnya nanti. (*)

Gambar: diambil dari google free access (Jawa pos)