Sebuah Studi Kasus
Oleh: Muhammad Intania
(Penggiat Civil Society di Tanah Datar )
Akhir tahun 2020 publik Tanah Datar cukup dikejutkan dengan Laporan Polisi oleh pengusaha properti bernama HD, yang biasa dipanggil Ko Aseng / Ko Seng, seorang WNI Keturunan yang melaporkan mantan pekerjanya bernama RF (seorang ibu dengan 2 anak yang masih kecil) dengan tuduhan dugaan penggelapan senilai Rp. 28.650.000.-
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agar publik Tanah Datar khususnya semakin cerdas memahami hukum berikut seluk beluknya dan untuk penegakkan hukum yang adil serta tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari.
Awal tahun 2021 proses hukumnya tetap berjalan dan semoga menjadi kado terindah bagi pemerintahan Era Baru bapak Eka Putra, SE & bapak Richi Aprian, SH, MH yang dalam masa kampanye gencar mengkampanyekan kemajuan Tanah Datar dan akan mendatangkan investor-investor untuk memajukan Tanah Datar. Semoga kedatangan para investor nantinya adalah para investor yang berbudi luhur, tetap mendahulukan kearifan lokal dan tunduk kepada segala peraturan perundangan yang berlaku sehingga dapat meminimalkan perselisihan ketenaga-kerjaan nantinya.
Dari kajian penulis, kasus ini dapat dikategorikan kasus yang merujuk kepada hukum kausalitas (hukum sebab akibat). Bermula pada periode sekitar tahun 2018, menurut Sdri. RF, pihak pengusaha sudah tidak lagi memberikan (mencabut) tunjangan makan dan tunjangan transportasi serta pembayaran bonus penjualan rumah / ruko yang kepada Sdri. RF dan bahkan ada bonus penjualan yang belum dibayarkan sejak 2 tahun lalu. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya dugaan penyelewengan / penggelapan oleh Sdri. RF karena harus menalangi uang makan dan transport saat ditugaskan untuk menjual rumah / ruko di wilayah Tanah Datar, Padang dan Dharmasraya untuk mendukung operasional kerjanya.
Sdri. RF mulai bekerja di PT. ARB / PT. RB sejak Oktober 2014 hingga November 2020. Selama bekerja dapat dikategorikan pekerja yang berprestasi sehingga diberikan penghargaan melaksanakan umroh pada periode Oktober 2018. Akan tetapi pelaksanaan umroh tersebut dibatalkan sepihak oleh pengusaha Ko Seng sehingga membuat pekerja kecewa. Padahal uang umroh tersebut adalah uang hasil bonus penjualan Sdri. RF itu sendiri yang dialokasikan untuk biaya umroh dan malah disuruh minta ke istri Ko Aseng untuk menagihnya serta diberikan beban tambahan untuk menjualkan ruko terlebih dahulu dengan alasan uang umrohnya ada di ruko tersebut. Menurut pertimbangan penulis, perlakuan seperti itu merupakan cara-cara yang zalim dan tidak bermoral yang bisa menyebabkan pekerja demotivasi.
Mendapat perlakuan seperti itu dan sudah tidak tahan lagi, maka Sdri. RF memutuskan mengundurkan diri dan sudah mulai mengangsur uang yang terpakai kepada konsumen terkait. Tercatat dalam periode November 2020 sudah dikembalikan dana kepada 4 (empat) orang konsumen dan di bulan Desember 2020 telah dilakukan pengembalian dana kepada 2 (dua) orang konsumen lainnya. Akan tetapi Ko Aseng tidak juga membayarkan hak pekerja sehingga pekerja kesulitan untuk melunasi sisa kewajiban lainnya. Malah di tanggal 16 Desember 2020 tetap dilaporkan ke pihak kepolisian dan diduga Ko Aseng telah merayu / membujuk konsumen lain untuk turut melaporkan. Sungguh suatu tindakan yang sewenang-wenang / zalim kepada mantan pekerjanya.
Dalam dunia ketenaga-kerjaan, bila mana terputus hubungan kerja, maka masing-masing pihak harus menyelesaikan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itulah ada gunanya Perjanjian PHK. Dihitung hak dan kewajiban masing-masing. Misal, bila hak pekerja jauh lebih banyak dari kewajiban pengusaha, maka sisanya lah yang harus diselesaikan. Begitu sebaliknya. Jadi pengusaha tidak bisa semena-mena harus selesaikan dulu kewajiban pekerja, baru kemudian dibayarkan hak pekerja. Itulah gunanya perlu perlindungan hukum karena posisi pekerja senantiasa lemah menghadapi pengusaha.
Lebih lanjut penulis mendalami bahwa ada banyak hal dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha dalam menjalankan bisnisnya di Kabupaten Tanah Datar ini, diantaranya:
- Pekerja dibayar dibawah upah standar yang berlaku.
- Pekerja tidak didaftarkan untuk program JHT & Pensiun.
- Laporan ke BPJS TK diduga tidak benar sesuai upah sebenarnya.
- Pekerja tidak diberikan Kontrak Kerja / Perjanjian Kerja.
- Pekerja tidak diberikan slip gaji.
- Pekerja tidak diberikan Buku Peraturan Perusahaan.
- Pekerja tidak pernah diberikan sosialisasi tentang Peraturan Perusahaan
- Pekerja tidak diberikan SPT sebagai pekerja.
- Tidak ada LKS Bipartit
- Belum ada Serikat Pekerja.
Belum hal-hal lain terkait perijinan, perpajakan, dan manajemen K3, kegiatan CSR dll.
Sedemikian banyaknya dugaan pelanggaran terhadap UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dugaan pelanggaran terhadap Peraturan BPJS Ketenagakerjaan, maka patut untuk ditelusuri / diperiksa oleh instansi terkait karena dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat dengan ancaman hukuman denda dan kurungan dan/atau penutupan tempat usaha.
Maka perlu kiranya segenap pemangku kepentingan di Tanah Datar ini berperan aktif agar mekanisme ketenagakerjaan di negeri ini berjalan lancar dan harmonis.
Dari kronologis serta data dan fakta kejadian tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya:
- Timbulnya persoalan hukum ini tidak lepas dari kelalaian / kecerobohan pengusaha dan ketidak-profesionalan pengusaha dalam mengelola administrasi perusahaan sehingga membuka ruang bagi tindak pidana.
- Timbulnya persoalan hukum ini juga tidak lepas dari sikap perilaku dan tidak adanya itikad baik dari pengusaha kepada para pekerjanya dan telah mengabaikan hak-hak dasar pekerja.
- Timbulnya persoalan hukum ini karena kurangnya pengawasan / pembinaan dari instansi terkait.
- Siapapun yang bersalah tetap harus dihukum sesuai berat ringannya kesalahan.
- Siapapun warga negara harus diperlakukan sama di mata hukum. Tidak ada perlakuan istimewa.
- Kondisi diatas menjadi “early warning” bagi segenap pihak agar tidak timbul masalah ketenaga-kerjaan yang lebih besar dikemudian hari.
Sebagai tindak lanjut dari kasus tersebut perlu kiranya disarankan kepada stakeholder terkait beberapa hal sebagai berikut:
- Pemerintah Daerah Tanah Datar harus lebih peduli kepada dunia ketenaga-kerjaan dan lebih intensif dan tegas dalam melakukan pengawasan, pembinaan dan penindakkan kepada perusahaan yang tidak patuh.
- Pemerintah Daerah melalui instansi terkait agar rutin mengadakan sosialisasi UU Ketenaga-kerjaan kepada Pengusaha dan Pekerja agar tercipta Hubungan Industrial Pancasila yang harmonis.
- DPRD melalui Komisi yang membidangi ketenaga-kerjaan harus lebih peduli dan lebih berani mengeluarkan peraturan agar bisa mengimbangi program kerja pemerintahan Era Baru Eka-Richi.
- DPRD melalui Komisi terkait sudah bisa mengusulkan revisi peraturan atau setidaknya membuat Perda agar fungsi Pengawas ketenaga-kerjaan dikembalikan ke Kabupaten agar memudahkan fungsi pengawasan guna mencegah timbulnya persoalan TK.
- Instansi Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Tenaga Kerja, BPJS Ketenagakerjaan KCP Tanah Datar serta Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Batusangkar harus lebih aktif melaksanakan penyuluhan, sosialisasi, kunjungan/monitoring dll kepada Pengusaha & Pekerja.
- Penegak Hukum dan Lembaga Peradilan diharapkan mengedepankan konsep pendekatan restorative justice.
Sebagai penutup tulisan ini tak salah kiranya saya kutip sebuah kata kata bijak yang penuh makna. “Siapa yang menabur angin, dia akan menuai badai.” Semoga saja kasus kasus seperti ini tidak terulang kembali di Tanah Datar.(*).