Pandangan Mahasiswa Sejarah Universitas Andalas dalam Menyikapi Fenomena Ujaran Kebencian di Media Sosial

Oleh: Gerta Prayoga. (Mahasiswa Jurusan Sejarah, Universitas Andalas Padang) email: prayogagerta30@gmail.com

Dampak yang ditimbulkan oleh ujaran kebencian di sosial media sangatlah serius dan tidak bisa dianggap remeh. Korban yang mengalami perundungan daring dapat merasakan penurunan harga diri yang signifikan, di mana mereka merasa tidak berharga atau tidak dihargai oleh orang lain.

Selain itu, perasaan kecemasan yang berlarut-larut juga bisa muncul sebagai akibat dari tekanan yang dirasakan korban, membuat mereka merasa tidak aman di dunia maya. Dalam kasus yang lebih ekstrem, perundungan daring dapat menyebabkan depresi yang dalam, yang berpotensi mengarah pada perasaan putus asa dan kehilangan minat terhadap kehidupan.

Bahkan, dalam beberapa kasus yang sangat mengkhawatirkan, ujaran kebencian di sosial media dapat berujung pada potensi bunuh diri, di mana korban merasa tidak ada lagi jalan keluar dari penderitaan yang mereka alami. Yang menjadi lebih berbahaya dari ujaran kebencian di sosial media adalah kenyataan bahwa bentuk perundungan ini tidak terbatas pada waktu dan tempat.

Berbeda dengan bullying konvensional yang biasanya terjadi di lingkungan fisik seperti sekolah atau tempat umum, ujaran kebencian dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Hal ini disebabkan oleh kemudahan akses ke media sosial dan platform digital yang memungkinkan siapa saja untuk mengirimkan pesan atau konten merugikan kepada korban kapan pun mereka mau.

Selain itu, sifat dunia maya yang anonim juga memberikan kenyamanan bagi pelaku untuk menyerang tanpa khawatir akan konsekuensi yang mereka hadapi, menjadikannya lebih sulit untuk dilacak dan dihentikan.
Karena sifatnya yang dapat terjadi tanpa batasan waktu dan tempat, ujaran kebencian menjadi lebih sulit untuk dihindari dan ditangani.

Baca Juga :  Bupati Tanah Datar Lantik 6 orang Pejabat Fungsional dan 22 Orang Kepala Sekolah

Korban sering kali merasa terjebak dan tidak tahu bagaimana cara melaporkan atau menghentikan tindakan tersebut, terutama jika mereka merasa bahwa pelaku adalah orang yang dikenal atau jika perundungan tersebut berlangsung dalam lingkup sosial media yang sangat luas dan sulit untuk dikontrol.

Namun bagaimana cara para mahasiswa dalam menanggapi masalah tersebut tentunya berbeda dengan bagaimana cara anak dalam menanggapi hal tersebut, tidak jarang para mahasiswa lebih mudah keluar dalam masalah tersebut dibanding remaja atau anak anak umur 15-17 tahun. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pola pikir yang cukup berbeda antara anak anak ,remaja dengan mahasiswa. Dimana pola pikir mahasiswa lebih terbuka dan kritis yang dapat membuat mereka bisa berfikir bagaimana cara agar terhindar dan tidak manjadi korban dari masalah ujaran kebencian di sosial media tersebut.

Menurut salah satu mahasiswa mengatakan bahwa ujaran kebencian disosial media itu adalah “prilaku seorang pengguna media sosial yang secara aktif dan sengaja melakukan prilaku negatif bisa berupa pelecehan verbal, pencemaran nama baik, dan menyebar berita hoak atau bohong kepada seseorang secara online melalui platfrom online”, kemudian mahasiswa tersebut melanjutkan bahwa “ujaran kebencian ini terjadi karena didasari oleh beberapa faktor seperti rasa tidak suka, benci terhadap seseorang dan lain lainnya” ujaran mahasiswa tersebut.

Namun mahasiswa lain juga mengatakan bahwa “mereka tidak terlalu memperhatikan masalah tersebut dikarenakan masalah tersebut pastinya akan menjalar kemana mana dan berlarut larut, kemudian mereka juga menambahkan bahwa algoritma fenomena ini seperti roda berputar ,dimana pelaku akan melakukan hal tersebut dan jika sudah terlalu menyerang personal maka pelaku akan melakukan klarifikasi minta maaf dan tiba tiba menghilang sementara dari media sosial”.

Baca Juga :  Kemenag Tanah Datar Launching Inovasi, Bupati dan Kanwil Ikut Hadir

Namun hal yang sangat disayangkan oleh mahasiswa adalah tidak adanya proses tindakan lanjut dari aparat kepolisian dan pihak terkait atas prilaku yang dilakukan oleh pelaku tersebut, karna jika pelaku sudah melakukan klarifikasi minta maaf namun dampak yang didapatkan oleh korban masih terasa dan tentunya akan membuat mental dan psikologi korban menjadi terganggu.

Fenomena ujaran kebencian ini sering terjadi di dua platfrom online yaitu tiktok dan instagram. Pelaku biasanya sering melakukan pelecehan verbal kepada korban seperti kata kata yang menyerang psikologi dan mental korban, namun tidak jarang juga dimana mahasiswa mengatakan bahwa jika masalah ujaran ini terjadi maka akan ada dua bagian atau kubu dari berbagai netizen, ada yang setuju pelaku dan ada juga yang mengecam prilaku yang dilakukan oleh pelaku tersebut.

Dampak nya para netizen yang tidak setuju, mereka akan menyerang akun pribadi pelaku baik akun tiktok maupun akun instagram dan jika sudah keterlaluan maka bisa akan mejalar ke keluaraga pelaku. Serangan awal yang biasanya dilakukan oleh netizen adalah mereka akan mengirim komentar miring dan negatif yang bisa menyerang secara personal maupun menyerang keluarga pelaku dari pengguna media sosial lainnya (para netizen netizen), biasanya para netizen akan menyerang pertama kali itu adalah akan tiktok pelaku kemudian jika akun nya telah di privat maka netizen akan lanjut menyerang pelaku melalui akun instagram pelaku dengan memenuhi kolom komentar di akun sipelaku. Akibat reaksi negatif dari berbagai netizen itulah yang membuat pelaku melakukan klarifikasi minta maaf atas kesalahannya.

Kemudian tambahan dari seorang Mahasiswi juga mengatakan mengenai permasalahan ini bahwa “ini fenomena yang dapat dikatakan lumrah di sosial media, yang menurut mereka pasti tiap tahunnya akan selalu ada masalah tersebut, bisa jadi pelakunya artis, selegram, influencer, tiktokers, maupun pengguna sosial media lainnya”.

Baca Juga :  Rombongan Wartawan Tanah Datar dan Humas "Nambah Ilmu" ke Dewan Pers di Jakarta

Kemudian ia menambahkan “seharusnya tatanan hukum dan undang undang yang mengatur fenomena ini harus lebih di ketatkan dan ditekankan, yang seharusnya pihak pihak terkain harus ambil bagian disaat ada korban atas masalah ini, supaya nantinya meminimalisir terjadinya kembali masalah yang sama dikemudian hari, tindakan lebih lanjut harus dilakukan terhadap pelaku, kemudian pembatasan penggunaan Handphone bagi anak yang blum cukup umur juga harus diperhatikan karena rata rata yang menjadi korban ujaran kebencian tersebut adalah anak anak dan remaja”. (*)