Lima Puluh Kota, Jurnal Minang. Berangkat dari kegelisahan jiwa para pemangku adat yang peduli dengan kondisi umat di ranah Minang dengan maraknya persoalan penyakit masyarakat seperti narkoba, judi online, LGBT, rentenir, dll serta tanggung jawab moral untuk menjaga pusako nagari dan upaya untuk menegakkan marwah ninik mamak, maka Ninik Mamak Nan XII Pasukuan Padang Kuniang, Nagari Situjuah Gadang, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota beserta perangkat mempertemukan para pemangku adat yang peduli se- alam Minangkabau dalam kegiatan bertajuk Duduak Salapiak Sa Alam Minangkabau. Kegiatan bertempat di Masjid Muslimin Jorong Padang Kuniang Nagari Situjuah Gadang pada hari Minggu, 26 Oktober 2025 dan dihadiri oleh ratusan ninik mamak dan pemangku adat.
Mengangkat tema Managakkan Marwah Sako jo Mampartahankan Pusako, Mambaliakan Pinang ka Tampuaknyo, Manyuruikan Siriah ka Gagangnyo, Panitia Pelaksana menghadirkan 3 (tiga) nara sumber yaitu 1). Ketua MUI Sumbar, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar, LC, M.Ag, Dt. Palimo Basa dan 2). Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Prof, Dr. Hj. Yulia Mirwati, S.H., C.N., M.H., serta 3). tokoh adat Basrizal Dt. Panghulu Basa dengan moderator Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H. untuk memberikan pandangan dan wawasan mengenai perlunya penguatan dan pengakuan atas eksistensi masyarakat hukum adat.
Moderator dalam pengantar diskusi menyampaikan bahwa sekarang ini kalimat Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK) hanya sebagai kalimat retorika saja. “Dia (ABS SBK red) hanya dinarasikan dalam kampanye politik dan pencitraan elit kekuasaan di Sumatera Barat” ungkap Wendra Yunaldi. Selanjutnya disampaikan Wendra Yunaldi bahwa “ABS SBK itu dimuliakan dalam kata-kata, diagungkan dalam tulisan, dikhianati dalam kebijakan”.
Buya Gusrizal Gazahar dalam paparannya menyampaikan tentang kedudukan harta pusaka tinggi dan pusaka rendah. Asal mula munculnya harta pusaka dan begitu pentingnya kedudukan tanah ulayat di Minangkabau. Terkait dengan wacana pensertifikatan tanah ulayat, MUI sepakat dalam perkara mendudukan dan menjelaskan duduk tegaknya bersama, tapi MUI Sumatera Barat tidak setuju mensertifikasikannya.
“Cukup pemerintah menolong melakukan registrasi dan mengakui keberadaan harta pusako tinggi” tegas Buya Gusrizal Gazahar.
Sementara itu dari perspektif hukum, Prof, Dr. Hj. Yulia Mirwati, S.H., C.N., M.H., memberikan pandangan kritis tentang hak bangsa Indonesia atas tanah adalah milik Bersama bangsa Indonesia, bukan milik negara. “Negara hanya mengatur, diberikan dengan kontrak sosial dari seluruh masyarakat Indonesia” tutur Hj. Yulia Mirwati.
Menurut Hj. Yulia Mirwati, perlahan lahan tapi pasti dari hak menguasai dari negara itu menjelma dia menjadi owning atau kepemilikan. Padahal dari Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) diakui hanya hak bangsa milik bersama, hak ulayat milik masyarakat hukum adat.
Terkait dengan entitas hak ulayat di Minangkabau, disampaikan oleh Hj. Yulia Mirwati bahwa masyarakat hukum adat jauh lebih dulu hadir daripada kehadiran negara. Oleh karena itu pasal 3 UUPA itu mengakui hak ulayat dari masyarakat hukum adat diakui sepanjang itu ada. Jadi selama adat Minangkabau ini ada, hak ulayat itu ada.
Selanjutnya tokoh adat Basrizal Dt. Panghulu Basa menyampaikan pandangan bahwa tidak ada sanggahan atas paparan yang disampaikan oleh Buya Gusrizal dan Prof. Yulia karena apa yang disampaikan berbasis kompetensi dalam upaya untuk melindungi eksistensi masyarakat hukum adat Minangkabau.
Terkait dengan kekhawatiran atas upaya upaya untuk mengeliminir eksistensi masyarakat hukum adat Minangkabau, Basrizal Dt. Panghulu Basa menyampaikan pandangan bahwa bukan tidak mungkin ada gerakan yang terorganisir untuk melakukan “etnosida ethnic” untuk menghapus identitas Minangkabau.
Musyawarah Duduak Salapiak Sa Alam Minangkabau tersebut melahirkan Deklarasi Situjuah Padang Kuniang disertai rencana aksi dan pernyataan sikap sebagai berikut:
- Menyerukan pengesahan segera UU Masyarakat Adat yang berpihak pada rakyat dan selaras dengan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Petani (UNDROP).
- Menyerukan Perda Propinsi dan Kabupaten di sesumatera Barat untuk melahirkan Perda yang melindungi dan mengayomi Masyarakat adat Minangkabau.
- Menolak segala bentuk perampasan tanah adat atas nama investasi, sertifikasi, atau proyek strategis nasional, yang mengorbankan ruang hidup masyarakat adat.
- Menegaskan bahwa tanah, hutan dan air yang dikelola masyarakat adat adalah bagian integral dari reforma agraria sejati dan kedaulatan pangan nasional.
- Menolak narasi negara yang menempatkan masyarakat adat sebagai ancaman, dan menuntut negara mengakui serta melindungi pengetahuan, tradisi, budaya, nilai nilai dan system pengelolaan agraria masyarakat adat.
- Mendorong penguatan aliansi masyarakat adat, sebagai bagian dari gerakan masyarakat adat yang menuntut keadilan agraria dan kedaulatan masyarakat adat terhadap tanah dan sumber daya alam, budaya, nilai nilai serta indentitas Minangkabau.
- Menolak berbagai bentuk penyimpangan sosial seperti: Narkoba, judi online, LGBT dan mendorong pemerintah untuk menindak secara tegas, karena penyimpangan yang terjadi bertentangan dengan Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Semoga saja pernyataan sikap ini didengar oleh seluruh pihak yang berkepentingan. Manjadi suluh dalam kegelapan bagi seluruh pengambil kebijakan. (M.Intania/Red.Jm)
