Oleh: Muhammad Intania, SH. (Advocat)
“Jika masyarakat ingin tahu apakah daerahnya BAIK BAIK SAJA atau SEDANG TIDAK BAIK BAIK SAJA, maka bacalah LHP BPK atas Laporan Keuangan Daerahnya” – oleh M. Intania.
Bagaimana jika sebuah lembaga yang memiliki fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, akan tetapi justru di lembaga tersebut malah ada “catatan” atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ?, tentulah hal itu bagaikan pameo minang seperti ini: “Nan bajalan mambao suluah, kok indak hati-hati, tapuruak juo ka lubang”.
(Yang berjalan membawa obor, kalau tidak hati-hati, malah jatuh ke lubang juga).
Maknanya: Yang merasa menerangi (mengawasi), malah tersandung karena lalai, pura-pura tidak tahu, sengaja atau karena sebab lain.
Agaknya pepatah Minang diatas cukup relevan dengan kondisi lembaga DPRD Tanah Datar belakangan ini, alih alih bertugas menjalankan fungsi PENGAWASAN yang seharusnya dapat memperbaiki sistim dan kinerja lembaga eksekutif (dan lembaga DPRD itu sendiri), eh malah dalam lembaganya tersebut terdapat temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Sumatera Barat.
Nah, sembari menunggu keluarnya LHP BPK Tahun 2024, penulis akan membahas LHP atas Laporan Keuangan Pemkab Tanah Datar untuk tahun 2022 dan tahun 2023 (selanjutnya disebut: LHP Tahun 2022 dan 2023) yang sudah bisa diakses oleh publik yang peduli dengan kondisi Tanah Datar.
Karena LHP Tahun 2022 dan 2023 tersebut sangat tebal, maka tulisan kali ini penulis fokuskan pada temuan BPK atas lembaga DPRD Tanah Datar. Meskipun kecil, tapi tetap disebut temuan jika tak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pada Bab 1 LHP BPK Tahun 2022 tentang Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-Undangan disebutkan bahwa hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar Tahun 2022 mengungkapkan permasalahan permasalahan terkait KELEMAHAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN dan KEPATUHAN terhadap Ketentuan Perundang-undangan sebanyak 9 (Sembilan) temuan pemeriksaan.
Temuan tersebut diantaranya perihal KESALAHAN PENGANGGARAN BELANJA MODAL PERALATAN dan MESIN dimana disebutkan bahwa realisasi belanja modal tersebut TIDAK MENAMBAH NILAI ASET TETAP PERALATAN MESIN, diantaranya: a) Belanja Modal Peralatan dan Mesin pada Sekretariat DPRD sebesar Rp. 17.000.000.- berupa BED COVER dan BANTAL GULING. (Hal. 7).
“Yo sabana keren lembaga DPRD ko, Bed Cover dan Batal Guling masuk dalam pos kategori Belanja Modal Peralatan dan Mesin. Dimana mereka belajar? Bukankah mereka selalu studi banding keluar daerah dengan alasan membahas / konsultasi ini itu? Mengapa lembaga yang katanya terhormat ini dan telah diisi oleh orang orang lama, hal seperti ini masih salah posting? Apa tidak membahas pos Belanja Modal Peralatan dan Mesin ini di kabupaten/kota lain? Mana hasil kunkernya tidak pernah dipublikasikan ke rakyat?” sungut Wan Labai melihat kurenah orang orang di lembaga ini. Jadi untuk apa selama ini mereka kunker ke luar daerah?
Luar biasa juga ternyata Bed Cover dan Bantal Guling pun dibebankan kepada APBD / keuangan negara. Sungguh luar biasa privellege yang diperoleh mereka untuk mengalokasikan uang dari pajak rakyat ini untuk kepentingan mereka. Jangan jangan pakaian dalam para Pemimpin DPRD pun ditanggung oleh Negara. Wallahu’alam.
Selanjutnya pada LHP BPK Tahun 2023, Bab I Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan, terdapat 11 (sebelas) temuan pemeriksaan, dimana pada temuan No.2 perihal Kelebihan Pembayaran Belanja Bahan Alat Tulis Kantor (ATK), tim BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Barat menyebutkan bahwa Belanja ATK Pada Sekretariat DPRD Sebesar Rp. 17.211.241.- TIDAK SESUAI KONDISI SENYATANYA.
Disebutkan bahwa Belanja ATK pada Sekretariat DPRD antara lain dilakukan pada 5 (lima) penyedia yaitu Toko AY, Toko AN, Toko TS, Toko BI, dan Toko MC. Relisasi belanja tersebut yang dipertanggungjawabkan adalah sebesar Rp. 206.000.000.-
Hasil konfirmasi kepada penyedia/toko diketahui beberapa informasi sebagai berikut:
1) Hasil konfirmasi pemeriksa tanggal 28 kepada Toko AY dan Toko TS diketahui bahwa Nota Belanja yang terdapat dalam dokumen pertanggungjawaban DIBUAT OLEH PPTK/Staff PPTK yang merupakan NOTA KOSONG yang didapat dari penyedia;
2) Hasil konfirmasi lebih lanjut diketahui bahwa kuitansi belanja ATK yang dipertanggungjawabkan sebesar Rp. 17.211.241.- tidak sesuai dengan total belanja yang sebenarnya dibayarkan kepada Penyedia. Atas kelebihan pembayaran tersebut telah ditindaklanjuti dengan melakukan penyetoran ke Kas Daerah sebesar Rp. 17.211.241.- yaitu pada tanggal 5 April 2024; dan,
3) Hasil wawancara tanggal 18 Maret 2024 dengan PPTK kegiatan, diketahui bahwa selisih belanja yang dipertanggungjawabkan sebesar Rp. 17.211.241.- digunakan antara lain untuk belanja karangan bunga, pembelian box-box, dan pengeluaran lain yang tidak dianggarkan.
Maka menjadi pertanyaan mendasar bagi publik yang kritis dan peduli perihal temuan BPK di lembaga yang katanya terhormat ini, sbb:
- Kemana peran / fungsi pengawasan internal dari Sekretariat DPRD dan Pimpinan DPRD atas PENGENDALIAN dan PENGAWASAN operasional lembaganya sendiri? Apakah ini bentuk kelalaian / kesengajaan yang terstruktur? Karena modus penggunaan NOTA KOSONG adalah modus lama yang sudah dikenal publik yang kerap dilakukan oleh oknum tertentu.
- Kenapa ada alasan “pengeluaran yang tidak dianggarkan ?”, bukankah lembaga DPRD ini sudah beroperasi lama? Tentu sudah bisa diprediksi / dianggarkan pengeluaran tidak terduganya.
Alasan “pengeluaran yang tidak dianggarkan” sebenarnya juga tidak perlu terjadi karena sudah ada Pos Biaya Tak Terduga, kecuali biaya tak terduga tersebut sudah melebihi anggaran yang ditetapkan.
Lagi pula, kalau alasan tidak dianggarkan, kenapa harus dibeli dan diambil
dari pos ATK ? Berarti ada itikad / niat tidak baik dong!
Lemahnya fungsi Pengendalian dan Pengawasan di internal lembaga DPRD tersebut menjadi catatan tersendiri karena berpotensi membuka peluang penyelewengan anggaran, korupsi dan kolusi karena membuka peluang pihak lain untuk saling menutupi aib masing-masing. Akibatnya terjadilah “saling sandera kepentingan” yang berujung kepada “saling kompromi” (saling menutupi aib / kejahatan) satu sama lain yang bisa merugikan negara dan masyarakat Tanah Datar.
Apa jadinya kalau lembaga yang memiliki fungsi pengawasan atas kinerja instansi / OPD / SPKD dan lembaga lain justru dalam organisasinya sendiri “tidak baik baik saja”? Bagaikan usaha untuk membersihkan tubuh orang lain, tapi tangan sendiri malah berlumpur. Sungguh ironi!
Maka tidak salah kalau bejibunnya rekomendasi rekomendasi DPRD atas LKPJ Bupati hanya sebagai retorika dan gimmick politik saja karena mungkin “saling sandera kepentingan”?
Jikalau DPRD Tanah Datar benar benar berkualitas dan punya power, tentu bisa belajar dari profesionalitas BPK dimana setiap temuan / rekomendasi DPRD itu harus ada PEMANTAUAN TINDAK LANJUT REKOMENDASI DPRD TAHUN SEBELUMNYA, sehingga tahu apa yang sudah dikerjakan Bupati dan jajarannya, apa yang on progress, apa yang belum. Bukannya malah didiamkan saja seolah olah ada kompromi terselubung dibalik rekomendasi yang dikeluarkan.
Ingatlah bahwa wakil rakayt selain bertanggungjawab kepada Negara, juga bertanggungjawab moral kepada rakyatnya. Maka tidak salah kalau rakyat melakukan kontrol sosial kepada para wakil rakyatnya jika dianggap tidak amanah!
Semoga wakil rakyat Tanah Datar bukan seperti ucapan Wan Labai: “Usahlah kareh kareh bana, daerah kito defisit, daripado berdebat, rancak berkompromi sajo mambagi kue anggaran APBD tu! Lapeh tu pura pura manis sajo kepada rakyat!”.
Semoga saja anggota DPRD Tanah Datar periode 2024 – 2029 sudah mulai berubah. Untuk menjawab itu, kita tunggu LHP nya dari BPK. (*)