Opini  

Dari Rantau untuk Kampung Halaman

Oleh: Optimal

Politisi Muda Tanah Datar


Merantau merupakan tradisi orang minang. Merantau bagi masyarakat Minang mencari bekal atau kekuatan yang pada akhirnya akan kembali ke daerah masing-masing untuk mengabdikan diri membangun kampung halaman. Tradisi ini tidak akan pudar dimakan zaman. Seperti pepatah yang tidak asing bagi masyarakat Minang bahkan mungkin sudah dikenal secara nasional, “satinggi-tinggi tabangnyo bangau, baliaknyo ka kubangan juo”, ini mencerminkan bahwa sejauh apapun perantauan orang Minang suatu saat akan kembali ke kampung halaman.


Kebiasaan merantau bagi masyarakat Minang semenjak dahulunya dalam rangka menuntut ilmu, dan ketika ada keuntungan yang menjadikan kehidupannya sejahtera itu bagian dari sebuah keberuntungan hidup di perantauan. Makanya melekat bagi masyarakat Minang itu sebuah pepatah yang juga tidak asing ditelinga, “Karatau madang dihulu babuah babungo balun, marantau bujang dahulu dirumah paguno balun”. Penggalan terakhir dari falsafah Minang ini menunjukkan bahwa bekal yang dicari ke perantauan itu adalah ilmu pengetahuan, wawasan, dan pengalaman sehingga nantinya dapat dimanfaatkan membangun kampung halaman.


Uraian tentang pencarian bekal yang dijelaskan di atas bisa juga dilihat dari sejarah para tokoh minang yang pergi merantau, baik ke luar daerah Minang, atupun keluar dari Tanah Air Indonesia. Bung Hatta contohnya, pergi merantau ke luar negeri demi mendapatkan ilmu pengetahuan dan wawasan sehingga bisa memerdekakan bangsa ini. Buya Hamka pergi merantau ke tanah Arab demi mendapatkan ilmu mencerdaskan anak bangsa, bahkan sampai mendirikan banyak sekolah, seperti MA KM Muhammadiyah di Padang-Panjang yang semakin berkembang pesat.
Sampai hari ini, begitu banyak tokoh muda yang merantau ke daerah lain demi mendapatkan ilmu pengetahuan, wawasan, dan pengalaman kemudian pulang ke kampung halaman untuk mengabdikan diri, membangun kampung halaman.

Baca Juga :  Membedah Postur Pendapatan Daerah di Zaman Era Baru: Iduik Sagan, Mati Tak Namuah?

Beberapa diantara anak muda dari bagian selatan Sumatera Barat, Bung Faldo Maldini, S.Si., M.Res, setelah menyelesaikan S1 di UI dan S2 di Inggris kemudian belajar politik di partai besar tingkat Nasional, beliau mencoba memunculkan nama sebagai Bakal Calon Gubernur Sumbar. Kemudian ada nama tokoh muda dari daerah timur Kabupaten Tanah Datar (Lintau), yaitu Bung Eka Putra, SE. Tokoh muda ini menuntut ilmu dan menuntaskan pendidikan S1 nya di Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Makassar. Setelah itu belajar banyak berpolitik di Partai Demokrat bahkan sampai diberi amanah mengelola keuangan Dewan Pimpinan Pusat Partai (DPP) yaitu sebagai Wakil Bendahara Umum, dan saat ini telah mendeklarasikan diri untuk maju sebagai calon Bupati Tanah Datar.


Dua tokoh yang dicontohkan ini kembali ke daerah bukan karena merasa sudah punya uang cukup banyak untuk bertarung dikontestasi politik daerah. Tidak sedikit tokoh sukses yang uangnya jauh lebih banyak daripada mereka, namun merasa tak sanggup menjadi kepala daerah, karena menjadi kepala daerah tak semata bermodalkan uang banyak. Pengalaman, wawasan dan jaringan yang bagus menjadi modal utama untuk membangun Daerah.

Untuk membangun Tanah Datar ini tentu perlu tokoh yang berpengalaman dan memiliki wawasan secara global. Memiliki akses ke seluruh lini agar daerah ini bisa maju. Jangan kita merasa dunia ini hanya ada di Tanah Datar saja sehingga kita bagaikan katak dibawah tempurung. Terlepas dari menang dan kalah di kontestasi pilkada nanti Tanah Datar tetap akan kita bangun bersama. Andai saat ini ada anak muda Milenial, berpengalaman secara nasional, ingin mewakafkan dirinya untuk Tanah Datar yang notabene kampung halamannya, mengapa tidak beri kesempatan? Mengapa kita selalu terjebak dalam leksikon “kampung” dan “rantau?”

Baca Juga :  Sekelumit Catatan Perbedaan Debus dan Tari Dabuih