Opini Oleh : Nandito Putra (Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Andalas)
Sumbangan kampanye adalah bahan bakar utama dalam mesin demokrasi modern. Tanpa dana yang memadai, calon-calon politik kesulitan menyampaikan gagasan dan programnya kepada masyarakat luas. Namun, pertanyaan yang harus kita renungkan bersama adalah: Apakah sumbangan kampanye selalu membawa dampak positif bagi proses demokrasi? Atau justru, di balik dukungan finansial itu, tersimpan risiko besar yang bisa merusak integritas politik dan keadilan dalam pemilu?
Regulasi resmi mengenai sumbangan dana kampanye di Indonesia diatur secara utama dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terbaru, khususnya PKPU Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum.
Berdasarkan Pasal 326 dan 327 UU No.7 Tahun 2017, sumbangan dana kampanye dapat berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non-pemerintah, dengan ketentuan bahwa sumbangan tersebut sah menurut hukum dan tidak berasal dari tindak pidana.
Batas maksimal sumbangan kampanye juga diatur secara jelas untuk mencegah dominasi dana yang berlebihan. Untuk Pemilu 2024, sumbangan dana kampanye dari perseorangan dibatasi maksimal Rp750 juta, sedangkan dari kelompok, perusahaan, dan badan usaha non-pemerintah maksimal Rp2,5 miliar. Sedangkan untuk calon presiden dan wakil presiden, batas sumbangan perseorangan adalah Rp2,5 miliar dan dari badan usaha Rp25 miliar.
Seluruh dana kampanye harus dikelola melalui Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) yang terpisah dari rekening pribadi dan partai politik, serta wajib dilaporkan secara transparan kepada KPU dalam bentuk laporan awal, laporan penerimaan, dan laporan pengeluaran dana kampanye.
Sanksi tegas juga diatur dalam Pasal 525 UU No.7 Tahun 2017 bagi pihak yang memberikan sumbangan melebihi batas yang ditentukan atau tidak melaporkan kelebihan sumbangan, dengan ancaman pidana penjara maksimal 2 tahun dan denda hingga Rp500 juta.
Selain itu, PKPU Nomor 18 Tahun 2023 mengatur mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye oleh Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk KPU untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana kampanye. Regulasi ini bertujuan untuk menjaga integritas pemilu, mencegah praktik politik uang, dan menjamin persaingan politik yang adil dan sehat.
Namun, sumbangan kampanye bisa datang dari berbagai sumber yang tidak terlihat. Sumbangan ini juga bisa berasal dari individu biasa, perusahaan besar, hingga organisasi tertentu yang nominalnya tidak dapat kita ketahui. Bayangkan sebuah pertandingan sepak bola di mana satu tim tiba-tiba mendapatkan sponsor besar yang membiayai seluruh perlengkapan mereka, sementara tim lawan hanya mengandalkan dana seadanya. Ketidakseimbangan dana ini tentu memengaruhi peluang kemenangan.
Di dunia politik, hal serupa terjadi. Ketika perusahaan besar atau kelompok dengan kepentingan ekonomi tertentu memberikan sumbangan besar yang tidak transparan, calon yang menerima dana tersebut bisa saja merasa “berutang budi”. Ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang serius.
Ada risiko bahwa calon yang didukung akan berkewajiban untuk mengakomodasi kepentingan donor tersebut jika terpilih, sehingga mengaburkan kepentingan publik yang seharusnya diutamakan. Alih-alih menjadi wakil rakyat yang bebas dan independen, calon terpilih bisa jadi lebih mementingkan kepentingan donor ketimbang aspirasi masyarakat.
Potensi konflik kepentingan ini menjadi masalah serius karena dapat memengaruhi independensi dan objektivitas pengambilan keputusan politik. Selain itu, adanya sumbangan dari pihak-pihak tertentu dapat menciptakan ketimpangan dalam kompetisi politik, di mana calon dengan akses dana lebih besar memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan pemilu, sehingga mengurangi prinsip kesetaraan politik (political equality)
Sumbangan kampanye yang besar dan tidak diawasi dapat mengubah wajah demokrasi menjadi sebuah transaksi ekonomi.
Contohnya, di beberapa daerah di Indonesia, ada kasus di mana perusahaan tambang atau pengusaha besar memberikan dana kampanye kepada calon kepala daerah. Setelah terpilih, kebijakan yang diambil cenderung menguntungkan perusahaan tersebut, seperti pemberian izin usaha yang longgar atau pengabaian dampak lingkungan.
Dampak sumbangan kampanye terhadap kebijakan publik sangat nyata. Kasus-kasus di berbagai negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa donor besar seringkali mendapatkan akses istimewa atau perlakuan khusus setelah calon yang mereka dukung terpilih. Hal ini berpotensi mengarah pada praktik korupsi dan nepotisme, serta kebijakan yang lebih menguntungkan kepentingan donor daripada kepentingan rakyat luas. Selain itu, ketidakadilan dalam representasi politik muncul ketika calon yang didukung oleh dana besar mendominasi proses pemilu, sementara calon yang kurang mampu menggalang dana terpinggirkan.
Kondisi ini mengancam demokrasi yang sehat dan inklusif, karena suara rakyat yang kurang berdaya secara ekonomi menjadi kurang terdengar
Untuk mengatasi dampak negatif sumbangan kampanye, regulasi yang lebih ketat dan transparan sangat diperlukan. Pengawasan yang intensif oleh lembaga penyelenggara pemilu dan masyarakat sipil harus ditingkatkan agar pelaporan dana kampanye dilakukan secara jujur dan terbuka.
Kewajiban publikasi nama penyumbang dan besaran dana yang diberikan harus menjadi standar agar potensi manipulasi dan politik uang dapat diminimalisir. Upaya menciptakan sistem pemilu yang adil dan bersih dari pengaruh dana kampanye yang tidak sehat adalah kunci untuk memperkuat demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, pemilu dapat benar-benar mencerminkan kehendak rakyat tanpa intervensi kepentingan ekonomi yang merusak proses demokrasi. (*)