Calon Tunggal di Pilkada 2024: Cerminan Kerusakan Demokrasi atau Pengaruh Oligarki Politik?

Oleh: Muhammad Dzaky Ramadhan
(Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas)

Fenomena calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menjadi sorotan penting dalam dinamika politik Indonesia. Dalam sistem demokrasi, partisipasi aktif berbagai elemen politik menjadi salah satu fondasi utama untuk menciptakan kompetisi yang sehat, mewakili aspirasi rakyat, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa semakin banyak daerah yang menghadapi Pilkada dengan calon tunggal, yang hanya menyisakan pilihan antara mendukung calon tersebut atau memilih kotak kosong.

Pertanyaannya adalah, apakah fenomena ini mencerminkan keterbatasan dalam demokrasi kita atau menjadi bukti semakin kuatnya cengkeraman oligarki politik di berbagai daerah?

Meningkatnya Jumlah Calon Tunggal di Pilkada
Sejak Pilkada serentak pertama kali digelar pada 2015, fenomena calon tunggal semakin marak. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa jumlah daerah dengan calon tunggal terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada Pilkada 2015, terdapat 3 daerah dengan calon tunggal. Angka ini melonjak menjadi 9 daerah pada Pilkada 2017 dan meningkat lebih signifikan pada Pilkada 2020, dengan 25 daerah melaporkan hanya satu pasangan calon yang maju. Tren ini berpotensi terus berlanjut atau bahkan meningkat pada Pilkada 2024, yang semakin memperkuat kekhawatiran terkait pembatasan ruang demokrasi lokal.

Kondisi ini mencerminkan berbagai persoalan dalam politik lokal, mulai dari minimnya partisipasi politik dari berbagai aktor hingga penguasaan partai politik oleh elite tertentu yang mengendalikan proses pencalonan. Calon tunggal seringkali muncul karena partai politik sulit menemukan figur yang dianggap kompeten atau memiliki daya tarik politik yang memadai untuk bersaing. Akibatnya, banyak partai politik memilih mendukung calon yang sama ketimbang mengajukan kandidat alternatif.

Baca Juga :  Rektor UIN Mahmud Yunus Batusangkar Lepas Kontingen Menuju Final OASE PTKI II 2023

Keterbatasan Demokrasi Lokal
Fenomena calon tunggal menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kualitas demokrasi lokal. Demokrasi yang sehat membutuhkan kompetisi politik yang terbuka, di mana calon-calon dengan visi dan program yang berbeda-beda dapat memaparkan gagasan mereka kepada pemilih.

Namun, dalam Pilkada dengan calon tunggal, elemen kompetisi ini hampir hilang, yang mengakibatkan pemilih kehilangan opsi nyata dalam menentukan pemimpin mereka. Kotak kosong, meskipun secara hukum diakui sebagai alternatif, jarang dianggap sebagai pilihan yang setara dengan calon nyata. Pemilih sering kali merasa terpaksa memilih calon yang ada karena khawatir jika kotak kosong menang, akan terjadi ketidakpastian atau kekosongan pemerintahan.

Di satu sisi, calon tunggal juga bisa dilihat sebagai tanda dari lemahnya oposisi di tingkat lokal. Ketika partai-partai besar berkoalisi dan mendukung calon yang sama, kekuatan oposisi yang berperan penting dalam memberikan alternatif suara rakyat menjadi terkikis. Hal ini berpotensi menciptakan monopoli kekuasaan di tangan segelintir elite politik, yang pada akhirnya melemahkan kontrol dan keseimbangan dalam pemerintahan lokal.

Oligarki Politik di Balik Fenomena Calon Tunggal
Salah satu faktor yang banyak disebut-sebut sebagai penyebab munculnya calon tunggal adalah oligarki politik. Oligarki dalam konteks politik Indonesia merujuk pada kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan kelompok kecil yang terdiri dari elite ekonomi dan politik, yang memiliki kendali besar terhadap keputusan politik di berbagai tingkatan, termasuk pencalonan kepala daerah.

Para elite ini seringkali mengendalikan partai politik dan memonopoli proses pengambilan keputusan, sehingga menghasilkan kandidat yang disepakati oleh koalisi besar partai-partai, tanpa memberikan ruang bagi figur-figur baru yang ingin bersaing.

Dalam studi yang dilakukan oleh Jeffrey Winters, seorang ilmuwan politik yang mendalami oligarki, Indonesia digambarkan sebagai negara di mana oligarki memainkan peran penting dalam membentuk lanskap politik . Fenomena calon tunggal di Pilkada lokal bisa jadi merupakan salah satu bukti kuat dari cengkeraman oligarki politik. Calon tunggal seringkali adalah figur yang didukung penuh oleh elite lokal atau nasional yang memiliki kekuatan finansial dan pengaruh besar.

Baca Juga :  Tanah Datar Kembali Raih Piala Adipura

Partai-partai politik lokal yang membutuhkan dukungan dana dan logistik cenderung mengikuti pilihan elite ini ketimbang berusaha mencari calon independen atau alternatif yang dapat bersaing.

Dampak Calon Tunggal terhadap Kualitas Kepemimpinan
Selain mempersempit ruang demokrasi, fenomena calon tunggal juga berdampak pada kualitas kepemimpinan di daerah. Tanpa adanya kompetisi, calon tunggal tidak teruji secara politik. Mereka tidak perlu menghadapi debat yang memadai tentang visi dan misi mereka, karena tidak ada penantang yang cukup kuat untuk mempertanyakan atau mengkritisi program-program yang ditawarkan.

Akibatnya, proses seleksi calon pemimpin daerah menjadi kurang transparan dan minim akuntabilitas.
Pemimpin yang muncul dari Pilkada dengan calon tunggal juga cenderung tidak memiliki insentif yang kuat untuk berinovasi atau mendengarkan aspirasi rakyat, karena mereka sudah mengetahui bahwa mereka tidak menghadapi tantangan berarti dalam proses pemilihan. Hal ini dapat menciptakan pemerintahan yang stagnan dan kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Alternatif Solusi dan Reformasi Politik.

Mengatasi fenomena calon tunggal dalam Pilkada membutuhkan reformasi politik yang lebih mendalam. Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki kondisi ini antara lain:

  1. Penguatan Sistem Partai: Partai politik harus diperkuat agar mampu menciptakan mekanisme internal yang lebih demokratis dalam pemilihan calon. Ini akan mendorong munculnya kandidat-kandidat berkualitas yang mampu bersaing, bukan hanya ditentukan oleh oligarki atau elite tertentu.
  2. Dukungan Bagi Calon Independen: Calon independen seringkali mengalami kesulitan dalam mengumpulkan syarat dukungan administratif. Reformasi aturan mengenai syarat pencalonan bagi kandidat independen perlu dilakukan agar mereka memiliki kesempatan yang lebih adil untuk ikut serta dalam kompetisi Pilkada.
  3. Pembatasan Koalisi Partai: Salah satu penyebab munculnya calon tunggal adalah adanya koalisi besar yang mendukung satu calon. Regulasi yang lebih ketat dalam pembentukan koalisi bisa menjadi solusi agar setiap partai memiliki insentif untuk mengajukan kandidat sendiri, sehingga kompetisi politik lebih terbuka.
  4. Pengawasan Terhadap Oligarki Politik: Penguatan peran lembaga independen dalam mengawasi proses Pilkada sangat penting untuk mencegah dominasi oligarki. Transparansi dalam pendanaan kampanye dan mekanisme pencalonan juga harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa kandidat yang maju benar-benar dipilih berdasarkan kapasitas dan integritas, bukan hanya karena koneksi politik.
Baca Juga :  Musibah Kebakaran Museum Istano Basa Pagaruyung, Sebagian Benda Bersejarah Selamat

Jika kotak kosong menang, siapa yang goblok? Perlu kita renungkan bersama!

Gambar: Sindonews.com. diambil dari google free access.

Print Friendly, PDF & Email