Ketika Mobil Dinas Diutamakan, Jalan Rakyat Dilupakan!

Opini Oleh: Al Mufasal (Mahasiswa Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, Padang)

Pembangunan daerah sejatinya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik yang merata. Namun, di beberapa kabupaten di Indonesia, masih sering kita jumpai ironi pemerintah daerah lebih sibuk mempercantik citra melalui pengadaan mobil dinas baru ketimbang memperbaiki infrastruktur dasar yang justru sangat mendesak.

Fenomena terbaru memperlihatkan bagaimana pemerintah kabupaten Pasaman Barat mengalokasikan dana sebesar 2 miliar untuk membeli 3 mobil dinas sekaligus. Pembelian mobil dinas tersebut diperuntukkan bagi Ketua DPRD, Wakil Ketua I, dan Wakil Ketua II.Beredsr kabar, Kepala Bagian Keuangan DPRD Pasbar, Robianto, membenarkan adanya pengadaan tiga unit mobil dinas baru tersebut. Menurutnya, pembelian ini memang diperuntukkan bagi kendaraan operasional pimpinan DPRD.

“Benar, tiga unit mobil baru dibeli untuk operasional pimpinan DPRD. Satu unit Toyota Camry untuk Ketua, serta dua unit Toyota Innova Zenix untuk Wakil Ketua. Nilainya sekitar Rp.2 miliar,” jelasnya saat ditemui di DPRD Pasbar, Simpang empat, Senin, 1 September 2025.

Ketua DPRD Pasaman Barat, Dirwansyah, menegaskan bahwa pembelian mobil dinas bukanlah tindakan pemborosan, melainkan kebutuhan operasional. “Sudah lama mobil operasional pimpinan DPRD tidak layak pakai. Pengadaan ini bahkan tertunda dari tahun 2024,” ujarnya dalam konferensi pers di Simpang Empat.

Namun, masyarakat menilai prioritas DPRD mungkin keliru. Sebab, warga Koto Sawah yang setiap hari melewati jalan rusak menilai perbaikan infrastruktur jauh lebih mendesak ketimbang pengadaan fasilitas bagi pejabat. Fakta ini menimbulkan keprihatinan sejumlah tokoh masyarakat maupun mahasiswa, yang menilai keputusan itu tidak tepat waktu dan tidak memiliki urgensi mendesak ditengah defisit anggaran.

Sementara beberapa jalan utama yang menjadi nadi pergerakan ekonomi warga dibiarkan rusak parah, salah satunya jalan di daerah koto sawah. Seperti kita ketahui jalan adalah tempat untuk kita lewati melakukan aktivitas sehari-hari, namun jalan ini jauh dari kata layak, apalagi kalau sedang hujan, air menggenang bak danau yang tidak ada jalur nya. Bagi masyarakat desa dan pelosok kabupaten, jalan adalah urat nadi kehidupan. Jalan yang baik memudahkan distribusi hasil pertanian, menekan biaya transportasi, serta menghubungkan akses pendidikan dan kesehatan.

Baca Juga :  Prestasi Anak dan Refleksi Diri Orang Tua: Sebuah Renungan

Namun kenyataan berkata lain, banyak jalan tersebut dengan kondisi lubang menganga, aspal mengelupas, bahkan sebagian jalan berubah menjadi kubangan saat hujan turun. Apalagi ketika musim panas, jalanan yang kering mengakibatkan debu bertebaran dimana-mana.

Awalnya jalan ini adalah aspal yang bagus namun karena sering nya truk yang bermuatan besar melebihi tonase lewat mengakibatkan jalan tersebut terkelupas dan lama-lama rata dengan tanah. Kerusakan ini semakin diperparah oleh aktivitas mobil sawit yang setiap hari mengangkut hasil tbs kelapa sawit dalam jumlah besar. Kendaraan dengan tonase berat jelas mempercepat kerusakan jalan.

Akibatnya, bukan hanya kendaraan pribadi warga yang sering rusak, tetapi juga menimbulkan risiko kecelakaan dan menambah beban ekonomi masyarakat. Ironi muncul ketika pemerintah daerah lebih memilih menggelontorkan anggaran untuk membeli mobil dinas. Padahal, mobil dinas sejatinya hanya dinikmati oleh segelintir pejabat, tidak memberikan manfaat langsung kepada masyarakat luas. Dalam perspektif kebijakan publik, keputusan ini mencerminkan kesalahan dalam mengurus prioritas anggaran.

Teori Prioritas Simbolik menyatakan bahwa dalam praktik kebijakan publik, terutama di tingkat daerah, keputusan sering kali dipengaruhi oleh kepentingan simbolik elit politik (status, citra, dan prestise), bukan kebutuhan substantif rakyat. Fenomena ini menghasilkan asimetri manfaat, menurunkan legitimasi, dan berpotensi menimbulkan instabilitas sosial.

Di sisi lain, David Easton dalam teori sistem politiknya menjelaskan bahwa keputusan pemerintah (output) dipengaruhi oleh tuntutan dan dukungan dari masyarakat (input). Ketika tuntutan rakyat (seperti perbaikan jalan) tidak dipenuhi, hal ini dapat menyebabkan penurunan dukungan dan kehilangan legitimasi pemerintah. Dari sini dapat kita simpulkan dominasi kepentingan simbolik dalam kebijakan publik mencerminkan terputusnya relasi substantif antara negara dan masyarakat. Dalam kerangka teori sistem politik Easton, kondisi ini menimbulkan ketidakseimbangan antara input berupa tuntutan masyarakat dan output berupa kebijakan, sehingga dukungan politik terkikis. Akumulasi ketidakpuasan tersebut berimplikasi pada delegitimasi institusional yang berpotensi menggoyahkan stabilitas sosial-politik.

Baca Juga :  Mengenal Arsitektur 'miring' Istano Pagaruyung yang Bersahabat dengan Alam

Mobil dinas memang penting untuk menunjang kinerja pejabat. Namun, apakah benar kebutuhan tersebut lebih mendesak dibanding memperbaiki jalan yang rusak? Jawabannya jelas tidak. Jalan yang baik justru merupakan fasilitas publik yang berdampak langsung terhadap kehidupan ribuan, bahkan jutaan orang. Anggaran publik seharusnya dikelola dengan prinsip efisiensi, efektivitas, dan keberpihakan kepada rakyat. Mobil dinas bukanlah kebutuhan mendesak, jalan yang rusak adalah masalah nyata yang harus segera diselesaikan.

Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa transparansi dan partisipasi publik dalam perencanaan anggaran adalah kunci agar kebijakan benar-benar berpihak kepada masyarakat. Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) bukan sekadar formalitas, melainkan wadah bagi rakyat menyuarakan kebutuhan yang mendesak.

Kebijakan publik pada akhirnya diukur dari sejauh mana ia membawa manfaat bagi masyarakat. Membeli mobil dinas di tengah kondisi jalan rusak adalah sebuah bentuk tidak prioritas terhadap kebutuhan rakyat. Jika pemerintah daerah benar-benar ingin membangun legitimasi dan meningkatkan kesejahteraan, maka perbaikan jalan harus menjadi prioritas utama, bukan mobil baru yang hanya menambah gengsi segelintir pejabat. (*)

Sumber gambar: Go Bengkulu. Diakses dari google free access.