Oleh: STS.Dt.Rajo Indo, SH, MH
Adat dan budaya Minangkabau semenjak dicetuskan oleh arsitekturnya menjadi pedoman dalam hidup dan kehidupan. Patokan itu membuat bumi sanang padi manjadi, taranak bakambang biak. Bahkan mande kayo bapak barado nan mamak dihormati urang pulo, kini. Oleh karena itu lumrahlah hak-hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Budaya nasional dibentuk bila ada budaya lokal yang membahayakan persatuan bangsa. Justru setiap yang akan merusak harus ditiadakan dari bumi persada ini. Sebaliknya yang terjadi dewasa ini sebagaimana pantun adat. Bulek guluangnyo daun nipah, bulek nyato bapasagi. Diliek lipek indak barubah, di dalamnyo lah tabuok-tabuok tiok ragi.
Sehubungan dengan itu dari acara silaturrahmi antara limbago adat Minangkabau di rumah Dt. Bandaro Kuniang, Minggu, 29 Juni 2025 ada cuplikan. Dalam acara itu para peserta mendukung pengadministrasian tanah "Ulayat" dan menolak pendaftaran tanah "Ulayat". Disamping itu akan mengajukan draf hukum pidana adat Minangkabau ke-Gubernur.
Pendukungan dan penolakan tersebut berkumandang dari peserta yang bukan oleh pemangku adat Sumatera Barat saja. Akan tetapi juga dari peserta yang datang dari Provinsi lain. Karena yang Minangkabau hampir meliputi 5 (lima) Provinsi menurut administrasi pemerintahan. Antara lain hadir Raja dari Kerajaan Negeri Padang Tebing Tinggi Sumatera Utara Tengku M.Khuzamri Amar Dt.Mufti. Dt.Rajo Dubalai dari Muaratakus Provinsi Riau, Dt.Setiawangsyah dari kedatuan Batu Bara, Yayat dari Sek.Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar. IR.Shadiq Pasadigoe selaku anggota DPRI dll nya.
Peserta yang melimpah ruah itu hingga tidak tertampung oleh rumah adat tersebut sampai ke tenda-tenda yang disediakan panitia penuh oleh peserta. Malah ada yang duduk diatas batu, duduk diatas rumput mendukung pengadministrasian tanah Ulayat itu. Bahkan ada yang sambil tegak dan berdiri menyatakan mendukung pengadministrasian tanah Ulayat tersebut.
Hal itu bertolak dari pemaparan makalah oleh Dr.Wendra Yunaldi, S.H, M.H. yang menyangkut dengan tanah Ulayat. Karena pencatatan tentang data fisik akan memberi petunjuk untuk generasi mendatang. Makanya para peserta mendukung pengadministrasian itu dengan segala kearifannya.
Sebaliknya dampak negatif terhadap pendaftaran tanah Ulayat yang berembrio akan menghilangkan nikmat hasil dari pemeliharaan tanah Ulayat itu bagi generasi mendatang ditolak. Sebab siapa lagi yang akan membentengi, menjaga dan memelihara anak cucu yang akan kehilangan hak menikmati pada masa mendatang itu.
Generasi yang akan lahir itu tidak obah nya dengan generasi yang menjaga, memelihara dan menikmati hasil dari pemeliharaan itu dewasa ini. Berikutnya wajib mewariskan tanah Ulayat tersebut kepada generasi pelanjutnya. Justru hukum adat tidak ada menyatakan Hak Milik atas tanah Ula yat.
Oleh sebab itu terjadilah penolakan atas pendaftaran tanah “Ulayat” tersebut karena bakal memberi tampuk atas tanah “Ulayat” itu untuk dijinjing. Orang yang menjinjing itu akan membuat status dan fungsi tanah Ulayat bergeser dari yang ditentukan oleh hukum adat.
Sementara Psl 18 “B” ayat (2) dari Undang-undang dasar (UUD) negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Karena itu spanduk acara bertemakan “Sirieh pulangkan ka-gagangnyo, Pinang pulangkan ka-tampuoknyo. Tujuannya, agar Minangkabau tidak rusak binaso. Se lanjutnya keutuhan limbago adat Minang kabau dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya secara utuh.
Tanah Ulayat itu statusnya tetap dan posisinya sebagai harta pusako tinggi. Pusako Tinggi itu tidak dibolehkan oleh hukum adat untuk dibagi-bagi. Apalagi disertifikat kan yang di dalam sertifikat itu sudah pasti ada nama pemiliknya dan itu yang membuat hilangnya Hak generasi penerus dalam menikmati hasil dari tanah Ulayat.
Disamping itu Dr.H.Roberia, S.H, M.H, mengatakan, sekarang peluang nyata untuk kepastian hukum adat dalam inisiasi peraturan daerah (Perda) tindak pidana adat. Dijelaskannya tentang hukum adat yang berkaitan menyangkut tingkah laku yang memiliki sanksi namun tidak dikodifikasikan.
Hukum adat itu hidup dan berkembang di masyarakat. Hukum adat itu mempunyai sanksi dan memiliki akibat hukum. Hukum adat sebagai kumpulan dari aturan yang diimplementasikan melalui keputusan- keputusan.
Menurut putra Luhak Agam itu UU No.1 tahun 2023/KUHP Pasal 1 ayat (1) tidak ada menyebutkan suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi pidana kecuali atas kekuatan peraturan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu. Disamping itu Pasal 2 ayat (1) dari UU 1/2023 KUHP tersebut tidak ada pula mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum yang tidak tertulis namun masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan.
Oleh karena itu menjelang diberlakukan UU 1/2023 KUHP kita diberi waktu untuk melahirkan ketentuan hukum pidana adat. Dari itu tidak perlu disia-siakan peluang besar yang diberikan. Peluang emas itu hanya datangnya satu kali saja, jika tidak di manfaatkan akan menimbulkan kekecewaan setidak-tidaknya bagi generasi sesudah kita.
Berkaitan dengan itu Dr.Efrizon Dt.Inaro sebagai nara sumber ke-3 mengatakan, pembentukan NKRI tidak dapat dilepaskan dari atas bersatunya komunitas-komunitas masyarakat hukum adat. Salah satu kelengkapan dalam pengurusan diri sendiri adanya sistem peradilan sendiri baik berupa peradilan adat. Hal itu sebagaimana diatur Psl 130 IS, Psl 3 lnd Staats blad 1932 No. 80.
Namun dewasa ini penyelesaian konflik melalui jalur judisial sering berbenturan dengan status legal masyarakat adat. Baik sebagai subjek hukum maupun dalam status kepemilikan masyarakat adat atas objek asal usulnya. Bahkan mekanisme penyelesaian masalah pada internal masyarakat adat pun makin terguras, kata tokoh intelektual itu.
Karenakan penggunaan hukum formal semakin meminggirkan peran hukum adat dan kelembagaan adat dalam penyelesai an masalah di tingkat komunitas masyarakat adat. Dampaknya semakin dilupakan nya hukum adat dan lembaga adat. Sementara Hak asal usul yang melekat pada masyarakat adat berkaitan langsung dengan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam.
Hak ini bahkan sudah diakui secara konstitusional hingga penting memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat dalam pelaksanaan hak-hak tersebut. Kendatipun melalui keputusan kepala daerah Bupati, Walikota atau Gubernur dan juga hal yang sama dilakukan oleh Menteri ATR/Agraria.
Sehubungan dengan itu diketahui 10 daerah sudah punya Perda tersebut di lndonesia Sbb; 1.Papua dengan Perda Provinsi nya No. 22 thn 2008. Ke-2, kab.Malinau dengan Perdanya No.10 th 2012. Ke-3 Kab. Sanggau dengan Perda Kab.No.1 th 2017. Ke-4 Kab.Sorong dengan Perdanya No.10 th 2017. Ke-5 Kab.Kapuas Hulu dengan Perdanya No.23 th 2018.
Yang ke-6.Kab.Bengkayang dengan Perdanya No.4 th 2019. Ke-7 Kab.Luhu Utara dengan Perdanya No.13 th 2018. Ke-8 Provinsi Kalimantan Selatan dengan Perda nya No.2 th 2023. Ke-9 Kab.Pulau Pisang dengan Perdanya No.1 th 2023. Ke-10 Kab.Tanah Bumbu dengan Perdanya No.2 th 2024. Sumbar dengan 19 Kab/kota memang ketinggalan. Kendatipun landasan hukumnya konstitusi yang digodok dan dilahirkan oleh mayoritas orang Minangkabau.
Bahwa kehidupan masyarakat Minangkabau dalam falsafah “Adat basondi syarak – Syarak basondi kitabullah” (ABS-DBK). Apa yang dikatakan oleh adat disondi oleh syarak/lslam kecuali adat yang muntanik. Arti nya, semua prilaku dalam kehidupan sehari-hari baik secara individu maupun berkelompok harus berada dalam bingkai ABS-SBK.
Kendatipun beberapa sistem, I).Pemerintahan Desa yang berbeda dengan ruang lingkup wilayah adat, II). asal usul masyarakat adat tentang tatacara mengatur/hukum adat, hak limbago adat dan hak kebendaan adat. III).Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat berada dalam tatanan hukum yang tumpang tindih, sektoral dan lain-lainnya yang memicu berbagai permasalahan.
Adapun kesatuan masyarakat hukum adat ada hak atas segala perlakuan dan diberikan kesempatan untuk berkembang sebagai subsistem NKRI yang maju. Tidak terkecuali hak-hak tradisional yang diakui dan dijujung tinggi meliputi hak Ulayat. Bahwa pengakuan itu jelas sudah merupakan pengukuhan dari pengakuan. Bukti dan landasan dari rekomendasi ini adalah konstitusi untuk dipertimbangan lahirnya Perda yang dimaksud dan dapat diujudkan.
Begitulah diantaranya dari acara yang diketuai Gunadi Dt.Kondo Marajo bersama anak muda yang akrab dipanggil Anes. Acara itu digelar dalam memikirkan warga Minangkabau terutama sekali terhadap generasi mendatang di negeri gudangnya pahlawan Negara. Semoga. (*)
