Tantangan dan Arah Kebijakan Pelestarian Songket Silungkang

Opini Oleh: Muhammad Dzaky Ramadhan
(Mahasiswa Departemen Ilmu Politik
Universitas Andalas)

Pelestarian warisan budaya bukan hanya sebuah tanggung jawab moral, tetapi juga merupakan strategi pembangunan daerah yang berkelanjutan. Kota Sawahlunto, melalui Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya, telah memiliki landasan hukum yang jelas untuk menjaga aset budaya berharga, baik yang bersifat berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible).

Salah satu warisan budaya yang menjadi sorotan adalah Tenun Songket Silungkang, sebuah produk kerajinan tangan tradisional yang tidak hanya memiliki nilai estetika tinggi, tetapi juga menyimpan identitas sejarah dan kultural masyarakat setempat. Namun, meskipun kerangka regulasi telah tersedia, realitas di lapangan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan ini masih menghadapi tantangan serius. Terutama pada aspek keberlanjutan seperti regenerasi pengrajin, modernisasi produk, dan optimalisasi dukungan anggaran.

Tantangan Implementasi: Dari Regulasi ke Realitas
Sebagaimana Perda No. 9/2016 tidak serta-merta menjamin terwujudnya pelestarian yang efektif. Pertama, keterbatasan anggaran menjadi hambatan utama. Anggaran yang dialokasikan untuk sektor kebudayaan sering kali kalah prioritas dibanding kebutuhan pembangunan fisik, sehingga pemeliharaan rutin dan kegiatan revitalisasi tidak berjalan optimal. Hal ini diperparah oleh minimnya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi khusus di bidang konservasi budaya, etnografi, maupun pemasaran produk kerajinan.

Kedua, rendahnya sinergi antar-stakeholder. Pelestarian cagar budaya idealnya mengusung model pentahelix menggabungkan peran pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media. Namun, di Sawahlunto, kolaborasi ini sering kali berjalan parsial dan tidak terkoordinasi. Program yang dilaksanakan oleh masing-masing pihak kerap tumpang tindih dan kurang mengarah pada visi bersama.

Ketiga, krisis regenerasi pengrajin. Profesi penenun songket kini dipandang kurang menarik oleh generasi muda karena dianggap tidak menjanjikan dari sisi ekonomi. Ditambah lagi, proses produksi yang memerlukan keterampilan khusus dan waktu yang lama membuat banyak anak muda enggan mempelajarinya.

Baca Juga :  Pandangan Mahasiswa Sejarah Universitas Andalas dalam Menyikapi Fenomena Ujaran Kebencian di Media Sosial

Dilema antara Tradisi dan Modernisasi
Pelestarian budaya tidak dapat dilepaskan dari tuntutan zaman. Dalam kasus Songket Silungkang, dilema yang muncul adalah bagaimana menjaga keaslian motif dan teknik tradisional sambil tetap mengikuti tren pasar. Tanpa sentuhan inovasi yang baik pada desain, kemasan, maupun strategi pemasaran, produk songket berisiko kalah bersaing di pasar global yang kompetitif.

Era digital menawarkan peluang besar melalui pemasaran daring dan media sosial. Penelitian Pratiwi (2024) membuktikan bahwa media seperti Instagram mampu memperluas jangkauan promosi produk kerajinan hingga menjangkau generasi muda dan pasar internasional. Namun, pemanfaatan teknologi ini belum sepenuhnya terintegrasi dalam strategi pelestarian Songket Silungkang.

Analisis Rekomendasi Kebijakan
Setelah melakukan survey berkala dan berjangka dalam melihat potensi tenun songket silungkang dan pendapat masyarakat sebagai penenun yang masih menggunakan alat tradisional. Ada beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diambil dari implementasi kebijakan Perda No. 9/2016 diantaranya:

Pertama, peningkatan alokasi anggaran dan kapasitas SDM bidang kebudayaan. Kedua, pengembangan program edukasi dan pelibatan komunitas berbasis inovasi. Terakhir, fasilitasi regenerasi pengrajin dan modernisasi produk songket.

Dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP), rekomendasi pertama dinilai sebagai prioritas tertinggi. Pertimbangan ini logis karena tanpa dukungan finansial yang memadai dan SDM yang kompeten, dua rekomendasi lainnya sulit terealisasi. Peningkatan alokasi anggaran memungkinkan pemerintah menyediakan fasilitas produksi yang memadai, mendukung riset motif tradisional, mendanai promosi, dan memberikan insentif bagi pengrajin.

Sementara itu, penguatan kapasitas SDM, baik di instansi pemerintah maupun komunitas pengrajin akan memastikan bahwa pengelolaan dan promosi produk dilakukan secara profesional.

Rekomendasi kedua menekankan pentingnya pendidikan budaya sejak usia dini. Integrasi materi songket dalam kurikulum muatan lokal, pelatihan terbuka (open studio), festival, dan lomba desain modern dapat menumbuhkan kecintaan generasi muda pada kerajinan ini.

Baca Juga :  Kantor Pertanahan Tanah Datar Terima Siswa PKL SMK Negeri 1 Batusangkar, Tegaskan Dukungan terhadap Pembelajaran Vokasi

Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Purwanto (2020) yang menegaskan bahwa pelibatan masyarakat adalah kunci keberlanjutan pelestarian budaya. Rekomendasi ketiga fokus pada strategi regenerasi dan modernisasi. Pemerintah dapat memberikan beasiswa atau insentif bagi generasi muda yang ingin menekuni profesi ini, serta menghubungkan pengrajin dengan desainer modern untuk menciptakan produk yang relevan dengan pasar kontemporer.

Pemilihan prioritas pada aspek anggaran dan SDM memang tepat, tetapi keberhasilan pelestarian Songket Silungkang tidak boleh berhenti pada dukungan finansial semata. Ada dua hal penting yang perlu ditekankan:

Pertama, transformasi model bisnis pengrajin songket. Pemerintah perlu mendorong pembentukan koperasi atau badan usaha bersama yang mengelola produksi, pemasaran, dan distribusi secara kolektif. Dengan model ini, pengrajin tidak lagi berjalan sendiri-sendiri, tetapi memperoleh keuntungan dari efisiensi skala dan jaringan pemasaran yang lebih luas.

Kedua, digitalisasi warisan budaya. Dokumentasi digital motif, teknik, dan sejarah songket tidak hanya berfungsi sebagai arsip, tetapi juga sebagai bahan edukasi dan promosi global. Platform daring dapat menjadi sarana untuk memasarkan produk sekaligus menyebarkan pengetahuan tentang nilai budaya yang terkandung di dalamnya.

Membangun Ekosistem Pelestarian yang Berkelanjutan
Pelestarian Songket Silungkang tidak dapat dipandang hanya sebagai tugas pemerintah, tetapi memerlukan ekosistem yang melibatkan berbagai pihak. Perda No. 9/2016 telah memberikan dasar hukum yang kuat, namun implementasinya membutuhkan sinergi, inovasi, dan komitmen bersama.

Peningkatan alokasi anggaran dan kapasitas SDM memang menjadi prioritas, tetapi harus diiringi oleh strategi edukasi, regenerasi pengrajin, dan adaptasi terhadap perkembangan pasar. Pelestarian yang berhasil bukanlah yang sekadar menjaga bentuk asli warisan budaya, melainkan yang mampu menghidupkan kembali nilainya dalam konteks kekinian, sehingga tetap relevan dan berdaya saing di tengah arus globalisasi.

Baca Juga :  Perempuan Minangkabau Menantu Idaman, Benarkah?

Dengan langkah-langkah strategis tersebut, Sawahlunto berpotensi tidak hanya mempertahankan warisan Songket Silungkang, tetapi juga menjadikannya ikon ekonomi kreatif yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat dan citra budaya Indonesia di mata dunia.

Referensi
ANTARA News Bengkulu. (2012). Songket Silungkang dikembangkan jadi tas dan sepatu. Diakses dari https://bengkulu.antaranews.com/berita/4000/songket-silungkang-dikembangkan-jadi-tas-dan-sepatu pada 5 Agustus 2025.
Dewi, T. N. R. (2018). Peran Pemerintah Daerah dalam Pelestarian Cagar Budaya. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 5(2), 123-135.
Pamekasan, B. P. C. B. (2021). Partisipasi Stakeholder dalam Pelestarian Kawasan Rindam IV/Diponegoro Kota Magelang sebagai Kawasan Bersejarah. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 9(2).
Pemerintah Kota Sawahlunto. (2016). Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya.
Pratiwi, N. K. A. (2024). Strategi Pemasaran Kain Songket Dengan Media Sosial Instagram di Desa Limbang Jaya II Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Mataram, 7(1).
Purwanto, W. I. (2020). Partisipasi Komunitas dalam Pelestarian Warisan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siri, H. (2021). Pelestarian Cagar Budaya Kota Parepare Melalui Pengelolaan Website. Jurnal Inovasi dan Pemberdayaan Masyarakat, 6(3).
Syahputra, S. H. (2023). Peran Anggaran Pemerintah dalam Pelestarian Cagar Budaya: Studi Kasus di Kota Tua Jakarta. Jurnal Konservasi Budaya, 8(1), 45-60.