Oleh: Dr.Pramono
(Dosen FIB Universitas Andalas)
Salah satu surau di Minangkabau yang memesona dengan khazanah manuskrip tasawuf adalah Surau Latiah. Surau ini terletak di Kelurahan Kampai Tabu Karambia, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok. Surau yang didirikan oleh Syekh Husain bin Mahmud atau yang lebih dikenal dengan nama Syekh Sialahan pada tahun 1902 ini bercorak Naqsyabandiyah.
Sejak wafatnya, pada 9 Muharram 1336 H, surau ini tetap menjalankan aktivitas sufistik (suluk) hingga tahun 2001. Beberapa bukti intelektual yang diwariskan oleh Syekh Sialahan hingga saat ini adalah khazanah manuskrip yang jumlahnya mencapai 50 bundel (123 teks dan 11.438 halaman).
Teks yang terkandung di dalam khazanah manuskrip peninggalan Surau Latiah sangat beragam, seperti tafsir, fikih, ushul fikih, hadis, ilmu kalam, ushuluddin, gramatikal arab, tauhid dan tasawuf. Di antara keragaman teks ini, teks tasawuf paling banyak ditemukan di Surau Latiah adalah teks tasawuf. Dari teks-teks tasawuf tersebut, mayoritas berisi pembahasan tentang tasawuf falsafi yang menjadi corak dari tarekat Syattariyah di Minangkabau.
Dari beberapa teks tasawuf tersebut, terdapat salinan karya-karya ulama besar Aceh yang berfokus pada tasawuf falsafi atau yang dikenal juga dengan konsep wujudiyah. Karya-karya tersebut seperti Tanbîh al-Mâsyi, Daqâ’iq al-Hurûf, Skarat al-Maut karya Syekh Abdurrauf Al-Sinkili; Tubayyin Mulâhazhah al-Muwahhid wa al-Mulhid fi Dzikr Allâh, Jawhar al-Haqâ’iq, dan Fadilah Tahlil karya Syekh Syamsuddin Sumatrani; dan, Murâd al-‘Ishq dan Asrâr al-Insân karya Syekh Nuruddin al-Raniri.
Karakteristik teks-teks tasawuf yang ditemukan di Surau Latiah memiliki corak yang berbeda dengan tarekat yang dikembangkan di Surau Latiah. Surau Latiah terkenal dengan tarekat Naqsyabandiyah yang berfokus kepada tasawuf akhlaki, bukan tasawuf falsafi sebagaimana mayoritas teks yang terdapat di Surau Latiah. Akan tetapi, jika dilihat dari geneologi keilmuan Syekh Sialahan memang pernah belajar kepada guru yang menganut tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat Syattariyah.
Syekh Sialahan pernah belajar ke daerah Tanah Datar kepada Angku Angin di daerah Sialahan dekat dengan daerah Simabur. Di SImabur ini, Syekh Sialahan diduga belajar kepada Angku Angin penganut tarekat Naqsyabandiyah. Hal ini karena salah seorang tokoh ulama terkenal tarekat Naqsyabandiyah adalah Syekh Ismail Simabur yang menjadi sosok penting sebagai mediator tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah orang Minangkabau di Jabal Abi Qubis.
Dari sinilah Syekh Sialahan mendapatkan gelar Sialahan. Terakhir Syekh Sialahan berguru kepada Syekh Aminullah, cucu dari Syekh Supayang yang mengajarkan dan menyebarkan tarekat Syattariyah. Meskipun tarekat yang diajarkan dan dikembangkan oleh Syekh Sialahan adalah tarekat Naqsyabandiyah, diduga Syekh Sialahan juga menganut tarekat Syattariyah, berdasarkan corak teks yang terdapat di Surau Latiah. Pada salah satu teks memang dijelaskan perpaduan silsilah antara tarekat Naqsyabandiyah dengan tarekat Syattariyah. Berdasarkan hal itulah Syekh Sialahan mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah dan Syattariyah.
Penting dikemukakan juga di sini bahwa karya Syekh Abdurrahman Bawan “Tuhfat al-Ahbab” juga ditemukan di antara naskah-naskah koleksi Surau Latiah. Syekh Abdurrahman Bawan adalah ulama Minangakabau yang masih misterius karena belum terungkap biografinya. Naskah “Tuhfat al-Ahbab” berisi tasawuf dan penting dalam konteks dinamika wujudiyah di Nusantara. Naskah ini merupakan salah satu bahan kajian disertasi yang dirampungkan oleh Yusri Akhimuddin (almarhum) di UIN Syarif Hidayatullah.
Menariknya juga, di surau ini juga ditemukan naskah yang ditulis oleh Syekh Sialahan. Hal ini diketahui dari naskah dengan kolofon berikut ini. “Ini kitab dinamai dengan sarah pada hari Senin waktu zuhur pada dua puluh empat bulan Jumadil Akhir pada tahun ba pada hijrah Nabi alf tsulatsi mi’ah wa sab‘un wa tsalasa (seribu tiga ratus tujuh puluh tiga) pada tahun ba dan pemilik kitab ini Tuanku Sialahan negeri Solok kampung yang makmur, Tabu tempat Latiah”. (*)