Opini Oleh: Ladifa Putri Marisa
(Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas, Padang)
Demokrasi kerap dipahami sebatas pemilu dan pergantian kekuasaan. Padahal, esensi demokrasi jauh lebih dalam, yakni berupa adanya warga negara yang sadar, kritis, dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik. Demokrasi tidak akan berjalan hanya dengan adanya lembaga politik dan aturan hukum, melainkan juga memerlukan keterlibatan aktif masyarakat yang memahami hak dan kewajibannya.
Proses membangun kesadaran dan pemahaman inilah yang lahir dari sosialisasi politik, yang menjadi syarat penting bagi tumbuhnya demokrasi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Almond dan Verba (1963) dalam The Civic Culture, demokrasi hanya dapat bertahan apabila warga negara memiliki budaya politik partisipatif yang ditanam melalui proses sosialisasi politik.
Hal ini dipertegas oleh David Easton (1965) yang melihat sosialisasi politik sebagai mekanisme vital untuk menjaga keberlangsungan sistem politik, karena melalui proses inilah nilai dan orientasi politik diwariskan lintas generasi.
Terlebih di era digital saat ini, di mana cara masyarakat mengenal, mengakses, dan menyikapi isu politik telah mengalami perubahan besar. Hal ini membuka peluang baru sekaligus tantangan bagi kualitas demokrasi dan di sinilah peran sosialisasi politik menjadi semakin krusial. Era digital menghadirkan ruang yang lebih terbuka bagi proses sosialisasi politik.
Media sosial, portal berita daring, hingga platform diskusi publik memungkinkan informasi politik tersebar lebih cepat dan menjangkau kelompok masyarakat yang sebelumnya sulit terakses. Anak muda misalnya, kini dapat mengenal isu-isu politik melalui konten kreatif, kampanye digital, atau percakapan di media sosial.
Namun, keterbukaan informasi ini juga membawa sisi gelap: misinformasi, polarisasi, hoaks, serta maraknya politik identitas yang kerap dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Dengan demikian, sosialisasi politik di era digital tidak lagi sekadar persoalan menyampaikan informasi, melainkan juga bagaimana memastikan informasi yang diterima masyarakat bersifat edukatif, kritis, dan mampu memperkuat kualitas demokrasi.
Perubahan ini secara langsung memengaruhi cara generasi muda memahami politik dan berpartisipasi di dalamnya. Dengan akses internet yang begitu luas, mereka berperan sebagai aktor utama dalam proses sosialisasi politik di ranah digital. Generasi muda saat ini yang dikenal sebagai Gen Z, merupakan pengguna internet aktif atau yang sering disebut sebagai digital native.
Mereka dapat menyebarkan informasi secara luas dalam waktu singkat, mengajak diskusi dan memobilisasi partisipasi publik melalui platform media sosial seperti Instagram, Tik Tok, YouTube, atau X (Twitter). Hal ini membuka peluang demokrasi menjadi lebih inklusif, karena kelompok yang sebelumnya jarang terlibat kini memiliki akses untuk berpartisipasi.
Namun, tantangannya juga nyata, yakni generasi muda bisa lebih rentan terhadap berita palsu atau konten viral yang belum tentu kebenaran informasinya.
Selain itu, munculnya fenomena echo chamber di media sosial semakin memperumit proses sosialisasi politik. Algoritma platform digital cenderung menyajikan informasi yang sejalan dengan minat dan pandangan pengguna, sehingga perspektif tertentu terus diperkuat sementara pandangan yang berbeda jarang muncul.
Akibatnya, masyarakat cenderung berada dalam ruang gema yang memperkuat polarisasi politik dan mengurangi kemampuan untuk berdiskusi secara kritis.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, sosialisasi politik yang berorientasi pada literasi politik dan literasi digital menjadi kunci.
Melalui proses sosialisasi politik sejak dini, warga negara dapat diajarkan bagaimana menganalisis informasi, membedakan hoaks dari fakta, serta memahami isu politik secara kritis. Institusi pendidikan seperti sekolah dan universitas, bersama dengan organisasi masyarakat sipil, berperan penting dalam menanamkan keterampilan ini. Media massa dan platform digital pun harus diposisikan tidak hanya sebagai penyebar informasi, tetapi juga sebagai sarana edukasi publik yang mendorong diskusi politik yang sehat dan kritis.
Selain itu, negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan proses sosialisasi politik berjalan dengan baik melalui regulasi yang seimbang antara kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap disinformasi.
Membangun ruang diskusi publik yang inklusif juga menjadi strategi penting dalam sosialisasi politik. Forum daring, webinar, atau kanal interaktif memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan pendapat, mendengar perspektif berbeda, dan belajar dari interaksi yang konstruktif.
Proses ini memperkuat budaya politik partisipatif yang menjadi fondasi demokrasi, sekaligus menumbuhkan warga negara yang lebih kritis dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, generasi muda yang aktif di ruang digital memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak diskusi publik yang lebih kritis dan kreatif, mesikipun tetap diperlukan upaya menjaga kualitas percakapan agar tidak terjebak pada polarisasi atau penyebaran informasi yang menyesatkan.
Pemilu 2024 di Indonesia menjadi contoh nyata bagaimana media digital memengaruhi sosialisasi politik. Kampanye kandidat berlangsung tidak hanya di panggung fisik, tetapi juga di media sosial melalui konten kreatif, debat daring, dan interaksi dengan pemilih.
Penggunaan buzzer, influencer, serta tagar viral menunjukkan betapa besar pengaruh digital dalam membentuk opini publik. Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang digital mampu memperluas jangkauan sosialisasi politik, namun di saat yang sama berpotensi memunculkan disinformasi dan memperdalam polarisasi di tengah masyarakat apabila prosesnya tidak berlangsung dengan baik.
Dengan demikian, sosialisasi politik menjadi fondasi utama bagi keberlangsungan demokrasi, terutama di era digital yang sarat informasi. Demokrasi tidak hanya bergantung pada pemilu atau institusi politik, tetapi juga pada warga negara yang sadar, kritis, dan berpartisipasi aktif. Sosialisasi politik yang efektif, disertai literasi digital, regulasi yang tepat, serta ruang publik yang inklusif, akan memastikan informasi politik tidak hanya tersebar, tetapi juga mendidik dan memperkuat kualitas demokrasi.
Tanpa fondasi ini, demokrasi berisiko rapuh, terfragmentasi, dan mudah dimanipulasi. Oleh karena itu, memperkuat sosialisasi politik hari ini berarti menanamkan akar bagi masa depan demokrasi yang lebih kokoh dan berkelanjutan. Generasi muda sebagai digital native memiliki peran strategis, karena merekalah yang akan menjadi garda terdepan dalam menjaga agar demokrasi di era digital tumbuh dengan partisipasi yang aktif, kritis dan bertanggung jawab.
Sumber gambar: Pindo Merdeka. Diakses dari google free access.
