Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
(Advokat & Pengamat Sosial Politik)
“Sio sio utang tumbuah. Nan kadikaja tuah sagadang pinjaik, marangkak cilako sagadang gunuang”. Agaknya itu lah padanan pepatah Minang yang sesuai untuk menggambarkan 2 (dua) putusan Pengadilan Tinggi (PT) Padang yang sudah final dan inkrah (putusan yang sudah benar dan memiliki kekuatan hukum tetap) atas terpidana Maulidia Siska, S.Sos, Kepala Bidang PMD pada Dinas PMDPPKB Kabupaten Tanah Datar dan atas terpidana Afrizon S.Ag Kepala Dinas (Kadis) Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Tanah Datar.
Sebagaimana diketahui bahwa PT Padang akhirnya memvonis Maulidia Siska, S.Sos untuk membayar denda Rp. 1 juta dan memvonis Afrizon, S.Ag dengan hukuman kurungan 1 (satu) bulan penjara dan denda Rp. 6 juta.
Kejaksaan Negeri Tanah Datar telah melaksanakan eksekusi atas terpidana Maulidia Siska, S.Sos berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor 481/PID.SUS/2024/PT PDG yang sudah menyerahkan denda kepada Penuntut Umum di Kejari Tanah Datar pada hari Rabu, 11 Desember 2024.
Sedangkan untuk terpidana Afrizon, S.Ag telah dilaksanakan eksekusi oleh Kejaksaan Negeri Tanah Datar pada hari Jum’at, 13 Desember 2024 berupa hukuman kurungan 1 (satu) bulan penjara di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Batusangkar dan denda Rp. 6 juta.
Selama satu bulan kurungan tersebut, Afrizon, S.Ag tentu menjalani suasana baru yang berlaku di dalam Rutan tersebut. Biasanya dicukur rambutnya dan menjalani masa pengenalan lingkungan (mapenaling) di sel kecil ukuran sekitar 1 x 2 meter selama lebih kurang 2 (dua) minggu, setelah itu baru dipindahkan ke sel yang lebih besar ukurannya. Selama dua minggu di sel mapenaling tersebut, terpidana tidak diperbolehkan dikunjungi oleh keluarga dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam sel tersebut, seperti tidur di atas matras, dilarang memakai kain sarung, apalagi selimut, melaksanakan aktivitas ibadah di dalam sel, dll. Selepas masa mapenaling, baru diperbolehkan untuk pindah ke kamar sel yang lebih besar dan berbaur / berinteraksi dengan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) lainnya.
Menurut Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Serang, Purkon Rohiyat menyebutkan “Keterlibatan ASN dalam politik praktis adalah pelanggaran serius yang dapat mencederai demokrasi”. (https://www.rri.co.id > pilkada-2024) 29 Agustus 2024.
Bak cando sudah jatuah ditimpo tanggo, agaknya berlaku kepada kedua oknum ASN tersebut karena keduanya bakal menerima hukuman / sanksi disipliner dari pejabat yang berwenang menghukum. Proses untuk Hukuman Disiplin tersebut diperoleh penulis dari pegawai yang berwenang di kantor Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Tanah Datar.
Merujuk kepada Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang dimuat oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada laman https://www.bkn.go.id tertanggal 31 Oktober 2023, bahwa perbuatan membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye; atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu, sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan Unit Kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat diklasifikasikan sebagai jenis hukuman BERAT.
Adapun Hukuman Disiplin Berat meliputi:
- Penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan,
- Pembebasan dari jabatannya menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan,
- Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.
Terlepas dari adanya latar belakang daerah asal seorang ASN atau karena adanya motif-motif lain seperti bujukan atau pemberian janji promosi jabatan atau mungkin saja adanya intimidasi, dll, keberpihakan kepada salah satu pasangan calon dalam pilkada adalah sangat tabu dan dilarang karena melanggar prinsip netralitas ASN. ASN yang berintegritas tentunya paham dengan kewajiban dan larangan bagi seorang ASN serta konsekwensi yang harus diterima bila melanggar prinsip prinsip netralitas ASN yang sudah ditetapkan.
Melihat jabatan yang diemban kedua ASN tersebut, ada kesamaan dimana keduanya terkait erat dengan tugas dan tanggung-jawab terhadap masyarakat banyak. Memang patut disayangkan bahwa jabatan yang diemban rentan dengan dugaan penyalahgunaan jabatan yang berujung kepada ketidaknetralan seorang ASN yang dapat menguntungkan paslon tertentu dan disisi lain dapat merugikan paslon tertentu.
Nasi sudah menjadi bubur, tidak perlu disesali, cukup diambil hikmah positifnya dan menjadi pembelajaran berharga bagi segenap ASN lain di lingkup pemerintahan kabupaten Tanah Datar bahwa hukum adalah panglima tertinggi, bukan kekuasaan yang sifatnya sementara.
Apa jadinya kalau Sanksi Disiplin ASN harus diterapkan dimana sanksi / hukuman tersebut justru ditanda-tangani oleh pejabat yang didukung selama ini? Bak makan buah simalakama!
Rakyat dan netizen mungkin saja akan melakukan kontrol sosial yang ketat agar Sanksi Disipliner ASN tersebut benar benar diterapkan tanpa pamrih dan dilaksanakan secara professional demi untuk menegakkan regulasi yang sudah ditetapkan Pemerintah Pusat.
Semoga kasus ini menjadi pelajaran terbaik bagi seluruh ASN di Tanah Datar khususnya. Tidak ada yang kenal hukum jika aturan benar benar ditegakkan. Pimpinan daerah maupun atasan pegawai hendaknya jangan memerintahkan kepada bawahannya untuk melakukan hal hal yang dilarang. (*)