Oleh: STS.Dt.Rajo Indo, SH, MH
Pusako tinggi itu adalah suatu harta yang telah turun temurun. Yang terkait atas pusako Tinggi itu hanya memiliki HAK memelihara, HAK menikmati hasilnya serta wajib mewariskannya kepada generasil pelanjutnya. Kedudukan dan status Pusako Tinggi itu tetap dan tidak berubah rubah-rubah.
Pusako Tinggi itu dalam bahasa hukum adat disebut Ulayat, jika Pusako Tinggi itu tanah, maka itu adalah tanah Ulayat. Bagi orang yang mengetahui hukum adat jelas lah Ulayat bukan milik kita yang memelihara, bukan milik kita yang menguasainya.
Hak yang diberikan kepada yang memelihara dan yang menguasainya hanya menikma hasilnya menurut hukum. Sesudah itu wajib mewariskan kepada generasi penerusnya. Apalagi hukum adat tidak ada menyebutkan siapa pemilik Ulayat itu.
Justru Ulayat tersebut sebagai harta cadangan bagi anak cucu yang akan lahir mendatang. Hal itu menunjukan bahwa ninik moyang kita dulu “Alun pai alah baba liak” atau pandangannya sudah jauh kedepan.
Antara lain, anak cucu lahir tiap tahun. Justru setiap manusia butuh tanah untuk hidup. Maka kaplingan tanah yang ada dari masa ke masa akan mengecil luasnya, karena Alloh hanya satu kali saja membuat tanah untuk manusia. Oleh karena itu ninik moyang kita dalam mengantisipasi kekacauan menetapkan tanah cadangan.
Tanah cadangan itulah yang di dalam hukum adat disebut tanah Ulayat. Tanah Ulayat itu hanya 4 (empat) kelompoknya, sbb; 1.Ulayat Kaum, 2.Ulayat Suku, 3.Ulayat Nagari, 4.Ulayat Rajo.
Penetapan tanah Ulayat tersebut oleh ninik moyang kita dulunya adalah sebagai untuk mengantisipasi ketiadaan yang akan menimpa cucunya di kemudian hari. Orang bertambah banyak dalam hidup dan kehidupan yang membuat luas kaplingan tanah dari masa ke masa semakin berku rang. Sementara Alloh Tuhan Yang Maha Kuasa hanya satu kali saja membuat tanah.
Karena itulah ditetapkan secara hukum oleh ninik moyang kita atas tanah Ulayat hanya diberikan HAK memelihara dan HAK menikmati hasilnya saja. Hukum adat adalah “lex spesialis De rogat lex generalis”. Artinya, hukum adat itu adalah sebagai hukum spesialis. Maksudnya, tidak obahnya ibarat dokter, jika datang dokter spesialis, dokter umum menyingkir”.
Sehubungan dengan itu deklarasi persatuan bangsa-bangsa No.169/54 menyebutkan, ingin aman tentram, sejahtera dan hidup bermartabat aplikasikan adat istiadat setempat. Seiring dengan itu TAP MP RS II/1960 pun menegaskan pada lampi ran ‘A’ paragraf 402 bahwa hukum adat di tetapkan sebagai asas pembinaan atas hukum nasional.
Dari sini jelaslah, bahwa level hukum adat di atas dari hukum nasional. Bukan sebaliknya hukum nasional memporak porandakan hukum adat. Jika itu yang di lakukan, orang akan berkata pelakunya tidak menghargai jasa-jasa pahlawan dan tidak tertutup kemungkinan disebut sebagai pengkhianat. Sedangkan bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.
Ulayat itu adalah salah satu ciri khas Minangkabau termasuk yang namanya Kaum, Suku dan Nagari. Diantara ciri khas dan spesifik Minangkabau itu bila dihilangkan maka hilang lenyaplah Minangkabau.
Sedangkan Nagari saja oleh Belanda dari zaman “Saisuak” sudah dikatakan bagaikan Republik-Repbulik kecil.
Suatu penghargaan dari penjajah yang bukan kecil artinya. Kendatipun demikian akan dihapuskan Minangkabau gudangnya pahlawan nasional kita. Mensertifikatkan Ulayat berarti menghilangkan Hak generasi yang akan lahir. Bahkan hal itu membuka peluang persengketaan. Justru Hak yang harus diterimanya menurut hukum dihilang lenyapkan. (*)