Opini  

Pilkada: Masa Tenang yang Meresahkan

Oleh: Irwan Malin Basa

Setelah berakhirnya masa kampanye Pilkada pada tgl 5 Desember yang lalu semua aktivitas kampanye dinyatakan ditutup oleh peraturan dari penyelenggara Pemilu. Kini tinggal menunggu hari pemungutan suara dan disebut “masa tenang.”. Benarkah “masa tenang” itu benar benar tenang? Tidak! Justru sebaliknya pada masa tenang ini intensitas politik semakin tinggi.

Dari beberapa laporan, berita media serta postingan di berbagai medsos muncul sebuah “gejala baru” dimana postingan dan tagar “tolak politik uang” semakin menggema. Tentu gejala seperti ini menarik untuk disikapi dari berbagai perspektif keilmuan.

Dari segi komunikasi tentu pesan tersebut “hampir sempurna” karena memenuhi unsur komunikasi yang utama yaitu: 1) Pemberi pesan, 2) Pesan, 3) Media penyampaian dan 4) Penerima pesan. Mengapa saya katakan hampir sempurna? Mengapa tidak saya sebutkan kalau pesan tersebut sudah sempurna? Tentu ada aspek yang memiliki makna ataupun tujuan semu atau bias.

Pertama, pesan tersebut ditujukan kepada masyarakat luas yang semoga mau menolak politik uang. Masyarakat dididik untuk berdemokrasi dengan baik. Tetapi ada pesan terselubung yang mungkin ditujukan untuk para calon-calon kepala daerah yang mampu atau setidaknya dipandang mampu dan mau untuk melakukan politik uang tersebut.

Kedua, pesan ini seolah olah gambaran dan manifestasi rintihan dari para calon-calon kepala daerah yang “miskin” yang tidak memiliki kecukupan logistik lagi untuk mempengaruhi pemilih. Andai mereka masih memiliki logistik tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan nya.

Ketiga, sebagai kamuflase untuk melindungi politik uang. Artinya para calon kepala daerah yang benar benar ingin melakukan politik uang bersikap seolah olah mereka anti dengan politik uang. Kenyataannya, mereka tetap melakukan politik uang.

Baca Juga :  Suherman "Ditawarkan" Saja, Yang "Dijual" Nanti Tetap Richi Aprian?

Kalau kita flashback proses pencalonan dahulu, hampir semua calon mengeluarkan uang atau politik uang untuk mendapatkan rekomendasi dari parpol pengusung. Tidak ada penolakan yang masif dari bakal calon, dari partai politik maupun dari broker politik. Semua cara dilakukan agar rekomendasi diperoleh. Sikut kiri sikut kanan. Tidak ada perbedaan kesempatan antara kader dan non kader partai. Yang menentukan adalah besaran jumlah logistik yang ditawarkan.

Kini, mengapa harus terlalu resah menyikapi politik uang yang mungkin terjadi di masyarakat? Toh, masyarakat belum tentu “selapar” parpol yang meminta ratusan juta bahkan milyaran untuk selembar surat rekomendasi. Andai calon calon kepala daerah tidak mau memainkan politik uang, tentu masyarakat juga tidak akan terseret.

Alhasil, tak perlu resah di masa tenang. Alangkah baiknya ikhtiar politik selama ini dilengkapi dengan doa seraya bertobat atas politik uang yang sudah pernah digunakan sebelumnya oleh para calon. Tidak mesti berlomba lomba melarang masyarakat dan menghakimi masyarakat seolah olah masyarakat sendiri yang haus uang politik.

Tenang, tenang, tenang. Karena ini adalah masa tenang. Setelah pencoblosan tgl 9 Desember nanti kita akan kembali ke kehidupan masing masing dengan berbagai cerita yang menarik seputar pilkada. Semoga.